Rabu, 20 Agustus 2008

Pesan Terkirim Anwar Putra Bayu

Ungkapan Birahi Sang Nyonya Lirik?

MAUT dan kematian, bagi banyak orang merupakan peristiwa seram dan menakutkan. Terutama bagi mereka yang tak siap menghadapi hal tersebut, tentu akan sangat takut mengalaminya. Padahal, bagi orang hidup, kematian adalah peristiwa pasti yang akan melanda siapa pun. Tidak ada makhluk hidup yang tidak mati pada akhir riwayat mereka.

Tapi bagi penyair, keseraman kata maut atau ungkapan mati, secara konotatif merupakan pintu masuk yang sangat indah bagi perpindahan hamba Tuhan. Benarkah demikian?

Proses sakaratul maut (menjelang kematian) seperti yang dituturkan di atas, digambarkan penyair Anwar Putra Bayu dalam puisinya bertajuk, Pesan Terkirim. Tapi penggambaran itu tidak seseram seperti perasaan seseorang yang tak siap menghadapi kematian. Justru, penggambaran sakaratulmaut dalam puisi itu dikemas dalam bahasa puitis yang kaya jebakan persepsi. Bahkan kehadiran sang nyonya lirik dalam puisi itu tergambar begitu bergairah menumpahkan birahinya.

Tapi untuk memahami isi puisi tak segampang ketika kita membaca karya fiksi seperti cerpen, cerber, atau novel. Banyak karya fiksi seperti cerpen, misalnya, format penyajiannya selalu menggambarkan peristiwa secara bertutur, sehingga pembaca akan langsung dapat menangkap maksud pengambaran cerita yang disajikan penulis.

Bahkan, si pembaca terkadang bisa langsung mencerna isi cerpen kendati ia belum menuntaskan bacaannya. Tapi untuk mengerti maksud pada larik-larik (kalimat) puisi, seseorang perlu membedah atau melakukan pendekatan empirik untuk memahami pikiran penyairnya. Lantas, bagaimana orang bisa menerobos masuk ke makna dunia puitika?

Guru besar Rijks-Universiteit Utrecht, Dr TH Fischer mengatakan, masuk ke dalam rumusan budaya pikir seseorang atau masyarakat, perlu mengenal kehidupan mereka sehari-hari. Dengan begitu akan dapat diketahui rumusan pola pikirnya mengenai perkembangan sesuatu hal yang ia tulis (halaman 10 buku.. Enleiding Tot De Culturele Anthropologie Van Indonesie terbitan PT Pembangunan 1953).

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, budaya puisi (baca: pantun) selalu terkait dalam kehidupan sehari-hari mereka. Maka itu andai-andai (bahasa perumpamaan) yang digunakan selalu tercermin dalam berbagai pola idiom. Karenanya, kekayaan puisi modern terhadap idiom yang disajikan lewat kata-kata pilihan (diksi), selalu menggambarkan kekayaan pola pikir sang penyair. Sebab, ia mampu meneropong beragam persoalan melalui kiasan alam, wujud Tuhan lirik, serta kepribadian sang penyair yang lebur sebagai aku lirik.

Tentu saja, idiom dan diksi tidak mungkin akan tergambar jika ide yang muncul dalam gagasan seorang penyair tidak ia kelola dengan pengalaman batin yang mengendap sebagai residu yang kental. Jika tidak demikian, akan terjadi kekaburan makna (misinterpretasi). Kekaburan makna ini tidak mampu mengangkat kekuatan karyanya untuk dijadikan pokok bahasan, karena ketidakjujuran sikapnya sendiri.

Seorang penyair seperti Anwar Putra Bayu (APB) yang sudah saya kenal sejak sama-sama berkecimpung dalam dunia sastra pada awal 1980-an, seringkali memiliki ide-ide nakal yang dinamis. Karenanya, sejumlah karyanya kerapkali menggelitik minat untuk dipahami sebagai karya yang perlu dianalisis.

Dalam puisinya berjudul Pesan Terkirim yang direlease tahun 2005, penyampaiannya mengacu ke soal pengiriman SMS pada seseorang dalam lirik. Tapi dari lirik-liriknya yang nakal membuat puisi itu menjadi menarik, karena ada rasa dan ‘’rangsangan’’ gagasan.

Dalam konteks itu pula kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana, mengatakan keelokan puisi APB tergambar dari kebinalan ide dan keberaniannya mematok diksi aneh, sehingga menarik untuk dianalisis dan dibaca.

‘’Padahal idenya sangat sederhana. Seperti puisi Pesan Terkirim, misalnya. Tapi karena APB cukup berpengalaman mengolah ide menjadi karya yang nakal, maka sejumlah puisinya menjadi sangat kuat dan seringkali menjadi pokok bahasan di berbagai media massa dan perguruan tinggi,’’ kata Maman.

Apa yang melatarbelakangi seorang APB menulis puisi Pesan Terkirim? Bentuk apapun ide yang muncul, maka itulah bahan yang harus digarap sekuatnya, sesuai dengan tahap kemampuan dan pengalaman sang penyair.

Andaikan saya mencoba mengupas puisi Pesan Terkirim menurut analisis yang terbatas dan sesuai dengan sudut pandang saya sendiri, itulah maksud tujuan sang penyair. Lantas, apakah hasil analisis saya tentang puisi Pesan Terkirim itu sesuai makna yang tepat?

Kritikus sastra, HB Yassin (alm) sendiri tidak berani mengatakan bahwa analisanya terhadap sebuah karya puisi merupakan analisis yang tepat. Sebab, kandungan interpretatif dalam wilayah jangkau puisi memiliki areal pemahaman yang sangat luas. Meski demikian, kedalaman dunia interpretasi pada sastra puisi, tersedia sebuah ruang bagi pembedah untuk memberikan nilai pemaknaan (apresiasi) sesuai sudut pandang yang ia kuasai.

Ada hal menarik yang perlu dicermati pada kandungan majas puisi Pesan Terkirim. Pada bait pertama terdapat empat larik, Sesenja ini kau tiba di depan pintu, nyonya/ seraya menggincu bibir kau pun berkata:/ Aku telah datang/ siapkah kita terbang sayang? Sepintas kita disuguhi penafsiran tentang kegenitan seorang wanita yang datang kepada.. (aku lirik).

Kemudian kegenitan dan kebinalan itu berlanjut pada bait kedua, Kau jilati tubuhku setelah merayu/ lalu kau raba serta mencium ubun-ubun./ Nyonya sabarlah/ Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar. Pada bait kedua ini keberanian sang nyonya lirik menumpahkan segenap rasa birahinya kepada sang aku lirik benar-benar mengikat persepsi para penikmat puisi. Terutama pada larik pertama dan dua (bait kedua), gambaran yang disajikan benar-benar aduhai.

Dapat dibayangkan, ketika larik-larik itu menjelaskan ekspresi birahi sang nyonya lirik (Kau jilati tubuhku setelah merayu/lalu kau raba serta mencium ubun-ubun). Pada larik ketiga (bait kedua), aku lirik mencoba meredakan rangsangan birahi sang nyonya lirik, Nyonya sabarlah. Justru larik keempat, aku lirik menjebak persepsi kita dengan kalimat, Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar.

Dalam bait empat, APB meningkatkan persepsi yang kian menanjak, misalnya, Lewat udara bergelombang/ Sejak kau datang/ Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Wah, dia (APB) begitu pandai menggiring persepsi kita pada jebakan interpretatif kebirahian. Memasuki bait lima (tiga larik), persepsi birahi jadi pecah. Coba kita simak, Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. Apakah di bait ini ada puncak persetubuhan persepsi yang begitu binal? Pertanyaan itu kian tak terjawab setelah bait enam (tiga larik) menutup kelengkapan puisi Pesan Terkirim,.. Telepon genggam masuk di kepala merusak jaringan/sinyal berbunyi: Pesan terkirim.

Benarkah puisi Pesan Terkirim ini bertutur tentang kebinalan seorang nyonya (lirik) yang selalu mengumbar birahinya? Bisa jadi ini sebuah jebakan. Jebakan-jebakan persepsi secara interpretatif di dalam ruang puisi ini menarik kita untuk menerobos masuk ke lorong persepsi.

Maka itu, untuk mencari pintu masuk ke ruang interpretatif sebuah puisi, kita perlu membaca keseluruhan majas puisi tersebut. Dengan begitu, secara semiotik, kita dapat melakukan pendekatan terhadap kata per kata yang dipapar dalam larik-larik puitika.

Saya menangkap, ketika seorang APB mulai merelease Pesan Terkirim, maksud sesungguhnya bukan menuturkan ’’kebinalan birahi’’ sang nyonya lirik. Pengaburan persepsi ini merupakan jebakan puitika yang paling banyak dilakukan penyair. Kekayaan konotasi dalam ide dan gagasan karya seperti itu merupakan kreatifitas yang dinamis dari sang penyair ketika mengungkapkan keutuhan bentuk dan isi puisinya. Maka itu corak karya APB ini (Pesan Terkirim) perlu disimak secara hati-hati.

Pesan Terkirim, setidaknya mengingatkan kita kepada konteks person tertulis melalui telepon genggam. Entah, hanya sang penyair sendiri yang tahu persis ketika ia mengembangkan idenya dari telepon genggam. Tapi, tentu saja maksudnya bukan itu. Gambaran estetik yang terang-terang buram dalam puisi Pesan Terkirim, menyirat tentang sebuah peristiwa sakarultmaut (kehadiran malaikat pencabut nyawa) pada diri sang aku lirik.

’’Kengerian’’ peristiwa itu dijelaskan pada bait ketiga dan keempat,...Lewat udara bergelombang/Sejak kau datang/Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Kemudian berlanjut pada tiga larik di bait keempat.. Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. Pada bait selanjutnya dari puisi Pesan Terkirim itu makin memperjelas peristiwa tersebut.

Coba kita simak, ..Ledakan napas terhenti (larik kedua bait empat) menjelaskan tentang kematian sebenarnya. Tiga larik di bait terakhir, keperkasaan malaikat maut (ajal) begitu berkuasa. Bagaimana keperkasaannya merusak segala metabolisme hidup aku lirik yang mampu mencabut nyawa setelah seluruh jaringan tidak berfungsi..sinyal berbunyi: Pesan terkirim..(nyawa lepas dari jasad)

Begitu bergetarnya pengalaman religusitas yang mengerikan aku lirik ketika menghadapi sakaratulmaut memenuhi panggilan Tuhannya dalam Aras sanubari yang dekat tapi terasa jauh, jauh namun teramat dekat (..jika ada yang bertanya tentang Aku, katakan ya Muhammad.., Aku tidak jauh dari urat lehermu...: Hadist Qudsi). Anto Narasoma

Lomba Baca Puisi

Senin, 4 Agustus 2008 lomba Pembacaan Puisi Tingkat SLTP dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan tahun 2008 sedang berlangsung. Lomba Pembacaan Puisi ini diberi sambutan langsung oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan Bapak Drs. B. Trisman, M.Hum. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa Lomba Pembacaan Puisi Tingkat SLTP ini merupakan ajang kreatifitas dan pembelajaran siswa agar mereka dapat mengapresiasikan puisi dengan sebaik-baiknya.

Lomba ini diikuti oleh 29 peserta dari SLTP Se-Sumatera Selatan. Masing-masing peserta membacakan satu puisi wajib dan satu puisi pilihan dari empat puisi yang disediakan panitia. Peserta sangat bersemangat dan antusias sekali dalam membacakan puisi. Mereka mempunyai teknik dan apresiasi pembacaan puisi yang berbeda-beda, sehingga kita dapat melihat daya kreatifitas, pemahaman dan imajinasi mereka dalam membacakan puisi.

Tidak kalah pentingnya juri lomba adalah juri yang sudah berpengalaman di bidang pembacaan puisi, di antaranya: Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu dan Jaid Saidi. Ketiga juri tersebut selain akan menentukan pemenang lomba dari juara I, II, III dan harapan I, II, dan III juga memberikan pengarahan tentang bagaimana cara atau teknik pembacaan puisi yang baik.

Lomba Pembacaan Puisi Tingkat SLTP berjalan dengan lancar mulai pukul 09.00 sampai 12.00. Keputusan pemenang lomba yang telah diputuskan, langsung dibacakan oleh salah satu juri yaitu Anto Narasoma. Pemenang lomba pembacaan puisi adalah sebagai berikut:

Juara I dengan total nilai 266, nomor undi 28 diraih oleh Wulan dari SMP Kartika 2-1. Juara II dengan total nilai 247, nomor undi 17 diraih oleh Dian Firdiyanti dari SMPN 9 Palembang. Juara III diraih oleh Bebbi Arisya dengan total nilai 243, nomor undi 5 dari SMPN 6 Kayuagung. Sedangkan untuk Juara Harapan I diraih oleh Olive Mutiara Alzena dari SMPN 9 Palembang dengan total nilai 234, nomor undi 16. Juara Harapan II diraih dengan no undi 12, total nilai 228 dengan nama Rahma Putri Utami dari SMPN 24 Palembang. Dan sebagai Juara Harapan III adalah Ria Mayanti dengan nomor undi 8, total nilai 226,5 dari SMPN 6 Kayuagung.

Masing-masing juara akan mendapatkan hadiah berupa tropi dan uang pembinaan dari Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan yang akan diberikan pada saat acara penutupan Bulan Bahasa dan Sastra tahun 2008 pada tanggal 22 Oktober 2008. (am)

Senin, 24 Maret 2008

Saya Menulis, 1



Dialog Keserasian Sosial dan Konflik Atambua
Oleh Anto Narasoma
PROGRAM dialog Keserasian Sosial yang dilaksanakan Dinas
Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Sumsel di Hotel Carissima pada Jumat (22/9)
lalu, menarik untuk disorot. Apalagi menghadirkan sejumlah tokoh agama berbeda
yang duduk rembuk bersama itu, baru kali pertama dilaksanakan Dinkesos Sumsel.
Menariknya dialog Keserasian Sosial itu, karena persoalan yang
diperbincangkan berkisar pada konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia. Menariknya lagi, lantaran peserta yang dilibatkan dalam dialog
Keserasian Sosial itu melibatkan unsur tokoh Islam (Majelis Ulama
Indonesia-MUI), Budha (Walubi), Kristiani (Persatuan Gereja Indonesia-PGI),
Dinas Sosial, serta PMPB se-kabupaten/kota.
Dari runtutan dialog, ternyata semua unsur dalam kegiatan itu
menginginkan suasana damai (perdamaian). Apalagi pertikaian sosial di daerah
konflik seperti Aceh, Poso, Ambon, serta Papua, menyisakan setumpuk
keprihatinan yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. Akibat dari pertikaian
sosial yang berkepanjangan, selain harta benda ratusan nyawa manusia jadi
korban sia-sia.
Yang jadi pertanyaan, apa penyebab terpicunya kemarahan sosial di
beberapa wilayah konflik? Pasti, jawaban umum yang sering terlontar adalah
agitasi sentimen suku atau perbedaan keyakinan (agama) yang tajam. Benarkah ?
Logika di lapangan memang begitu. Tapi sebenarnya, jawaban di balik
konflik tak sesederhana seperti jawaban umum yang tidak memberikan jalan
keluar. Karena mata rantai persoalan sosial yang memicu konflik ditunggangi
banyak kepentingan.
Contohnya, belum tuntas pelaksanaan dialog Keserasian Sosial versi
Dinkesos Sumsel di Hotel Carissima, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang
selama ini dikenal masyarakat kita anteng-anteng (tentram) saja, ternyata pada
Jumat lalu (22/9) kondisi sosial di sana bergolak hebat. Rumah dinas dan kantor
Kejaksaan di Atambua dirusak, serta gedung Pengdilan Negeri Maumere hangus
dibakar massa. Dalam aksi di Atambua, ribuan pendukung Tibo CS pun membobol
Rumah Tahanan (Rutan) Atambua. Akibatnya 205 tahanan dan narapidana kabur.
Kerusuhan hebat seperti itu terpicu lantaran protes massa terhadap tiga
pidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39),
dan Marianus Riwu (48). Jika kita cermati, ekses sentimen membabi buta
seperti yang dilakukan pendukung Tibo Cs itu dapat menghancurkan persatuan kita.
Itu artinya, kita perlu menyikapi persoalan ini secara serius. Sudah mati
saja, eksistensi Fabianus Tibo CS itu dapat memicu kemarahan massa. Apalagi
ketika ia hidup secara hokum dinyatakan sebagai dalang kerusuhan Poso, tentu
keberadaannya di Poso sangat mengkhawatirkan.
Seolah kelompok satu dengan yang lainnya selalu menciptakan akses ''balas
dendam'' yang dapat merusak hubungan kebangsaan antarkita. Jika konflik itu
berbau SARA, tentu dampaknya sangat runcing. Sekali tersentuh, akibatnya dapat
memantik api konflik di daerah lain. Kondisi inilah yang mengkhawatirkan kita.
Padahal secara nasional, kita pun pernah menggelar dialog yang sama
(seperti dialog Keserasian Sosial) di Jakarta. Dalam dialog itu dihadirkan
tokoh-tokoh agama yang berpengaruh. Tapi pertikaian sosial di wilayah konflik
tetap saja bergejolak.
Menurut Kasubdin Jaminan Bantuan Sosial (Jabansos) Dinkesos Sumsel yang
juga Ketua Pelaksana dialog Keserasian Sosial, Drs Ms Sumarwan MM, membangun
watak manusia tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi menyadarkan
mereka dari perbedaan keyakinan, tentu membutuhkan waktu dan kesabaran yang
tidak sebentar.
Itu artinya, untuk membangun watak manusia yang baik dibutuhkan strategi
dan logika yang masuk akal. Dengan kata lain, konsep yang difloor tidak
melukai kepercayaan pihak manapun. Sisi inilah yang sangt sulit untuk dilempar
kepada masyarakat yang tengah dilanda konflik.
Meski forum dialog Keserasian Sosial ini belum tentu efektif untuk
meredam konflik di berbagai daerah rawan sosial, namun paling tidak, katanya,
dialog seperti ini dapat mengurangi ketegangan sosial di masyarakat.
''Kita sudah terlalu lelah dihadapkan kepada berbagai pertikaian sosial
di wilayah konflik. Selain merugikan persatauan kita, coast (biaya pemulihan
sosial) yang dikeluarkan pemerintah pun begitu besar. Jika kondisi konflik
terus terjadi di berbagai daerah, maka potensi chaos dapat membahayakan
persatuan kita. Selain itu, keuangan pemerintah akan terkuras sia-sia. Padahal,
kondisi keuangan negara kita masih dalam keadaan krisis,'' ujar Sumarwan.
Barangkali, dengan keprihatinan itulah Dinkesos Sumsel menggelar dialog
Keserasian Sosial dengan cara menghadirkan sejumlah tokoh dari berbagai agama.
Meski aktivitas itu tidak seratus persen meredakan pertikaian sosial di
berbagai daerah konflik, paling tidak, kita dapat mengetahui bahwa kehidupan
beragama yang ada di Indonesia mencintai suasana damai, serta berusaha dapat
saling membantu mengatasi berbagai kesulitan yang dirasakan bangsa ini (hasil
kesepakatan dialog Keserasian Sosial ).
Mencermati kerusuhan di Atambua dan Maumere dalam dua hari terakhir,
benar-benar mengerikan. Keberingasan massa yang membabibuta itu telah
membutakan hati nurani mereka. Apakah dengan cara membakar PN Atambua dan
merusak rumah dinas dan kantor kejaksaan setempat dapat menghidupkan kembali
jasad terpidana mati Tibo Cs?
Ekseskusi mati terhadap Tibo Cs merupakan wujud penegakan hukum yang
dinilai lamban. Tertundanya pelaksanaan eksekusi terhadap tiga tersangka
kerusuhan Poso, ada kesan dari masyarakat bahwa pelaksanaannya ''diintervensi''
banyak kepentingan politis. Tapi dengan berani, penegak hukum di sana tetap
melakukan eksekusi terhadap ketiga orang tersebut. Eksekusi itu sebuah
keputusan yang hebat. Kita wajib memberi acungan jempol. Tapi tentunya kita
berharap penegakkan hukum seperti itu harus diberlakukan tanpa pandang bulu.
Artinya, dengan kelompok manapun, jika mereka melakukan pelanggaran yang
merusak tatanan sosial, mereka harus ''ditikam'' dengan mata hukum yang
tajam. Itulah sebuah sikap. Sikap tegas untuk memperlihatkan mata hukum yang
berkilat tajam, sehingga dapat menumbuhkan efek takut atau jera. Terobosan
seperti itu memang pahit. Risikonya terjadi kekerasan di Atambua dan Maumere.
Tapi kepalang tanggung, pertajam lagi mata hukum kita untuk memberangus para
perusuh yang menjadi otak dalam insiden tersebut.
Tapi penegakkan hukumnya tidak hanya diberlakukan terhadap bromocorah
kelas keroco saja, sedangkan pejabat yang melakukan korupsi miliaran rupiah,
misalnya, bisa duduk manis di rumah, tanpa sedikitpun ada sentuhan hukum.
Keadaan ini tentu memunculkan kecemburuan sosial yang dapat menciptakan
ketidakstabilan hidup di negeri ini.
Dengan kepastian hukum yang tegas, lambat laun akan muncul kepatuhan
masyarakat terhadap eksistensi hukum di negeri ini. Setelah itu, barulah kita
gelar berbagai dialog seperti Keserasian Sosial. Dampak baiknya tentu akan
menumbuhkan kesadaran betapa kehidupan kita yang saling berdampingan dengan
beragam perbedaan itu membutuhkan kesamaan pandang untuk membangun negeri ini.
Di samping upaya penegakkan hukum itu kita laksanakan secara kaffah,
dialog Keserasian Sosial merupakan upaya positif untuk membangun kepribadian
rakyat Indonesia yang dulu dikenal masyarakat luar sebagai bangsa yang ramah
dan luhur budi. Sebelum Uni Sovyet bubar, Mikhail Urinov (pengamat politik dan
budaya) pernah menyatakan, bangsanya terdiri dari latar belakang budaya dan
kepercayaan. Jika kebijakan pemerintah (hukum dan tatanan sosial) tidak
menyentuh ke aspek yang adil terhadap keragaman tradisi bangsanya, persatuan
Uni Sovyet akan hancur. Ternyata sejarah membuktikan itu.
Karena pemerintah Uni Sovyet hanya ''mengedepankan kepentingan'' Rusia
dibanding Kazakstan dan Bosnia Herzegovina, misalnya, maka ketika ada gesekan
kepentingan politik internasional, kerawanan sosial di sana menjadi bom waktu
yang mengerikan. Ini yang perlu menjadi renungan kita bersama.

Penulis adalah:wartawan SKH Sumatera Ekspres

Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (9)

Kim Hok Lay



NAMA itu menjadi buah bibir masyarakat. Dia seorang pengusaha muda. Parlente, ganteng, dan mempunyai rasa sosial yang BEGITU tinggi di masyarakat. Tak heran, ketika di daerah ini terjadi musibah kebakaran atau kejadian apapun yang mengorbankan masyarakat, Kim Hok Lay tampil duluan dengan memberi santunan bernilai ratusan juta ke para korban.
Seperti terhadap korban Tsunami di Aceh, bantuan Kim benar-benar membelalakkan mata semua orang. Selain uang, Kim juga membantu masyarakat Aceh dalam bentuk natura (baju baru, obat-obatan, dan makanan) yang disuplai lewat kapal laut yang ia sewa melalui pengusaha di Medan.
Namun akhir-akhir ini nama itu menjadi ‘sumbang’ ketika orang-orang membaca kiprah pengusaha muda itu di koran lokal dan surat-surat kabar nasional. Pokoknya santer. Nama Kim Hok Lay disebut-sebut sebagai pembobol bank pemerintah di kota ini.
‘’Ah, aku tidak percaya,’’ tukas Parjan.
‘’Masalahnya bukan percaya atau tidak, tapi berita di koran pagi ini membeberkan tentang dia yang telah membobol Bank Cempedak senilai 125 triliun,’’ sergah Tarsak memperlihatkan koran yang dibacanya.
‘’Wah, aku benar-benar tidak percaya’’.
‘’Sama. Aku pun begitu. Tapi bukti koran ini menyebutkan tentang kiprahnya sebagai pembobol bank’’.
‘’Iya juga, ya’’.
‘’Iya. Kalau selama ini Kim Hok Lay bersikap baik kepada masyarakat, barangkali itu hanya sekadar kompensasi kepribadiannya untuk menutupi watak aslinya’’.
‘’Maksudmu?’’.
‘’Kebaikan yang diumbar hanya untuk tujuan tertentu’’.
‘’Hmm, masuk akal juga’’.
‘’Nah, akibat dari kejahatan intelektualnya, negara dirugikan 125 triliun’’.
‘’Jadi, bagaimana cara Kim Hok Lay melakukan pembobolan uang negara sebesar itu?’’.
‘’Saya pikir, sebelumnya dia mengajukan sejumlah proyek fiktif yang masuk akal kepada pihak Bank Cempedak. Iming-iming proyek besar ini dapat memberi keuntungan sangat besar, baik kepada pihak bank, maupun keuntungan bagi Kim Hok Lay sendiri. Tentu saja, untuk mencairkan uang dari bank tersebut, Kim harus bekerja sama dengan oknum orang dalam. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia dapat menggondol uang haram sebanyak itu,’’ ujar dia mencoba memprediksi persoalan itu.
‘’Wah, benar-benar luar biasa. Lantas, sekarang dia kabur?’’.
‘’Maka itu, kalau ingin tahu kasusnya secara menyeluruh, kau mesti baca koran. Jangan cuma mendengar cerita dari orang lain. Akibatnya bisa dibodoh-bodohi orang lain’’.


****

Kontroversi nama baik Kim Hok Lay menjadi perbincangan yang tidak pernah putus di masyarakat. Di satu sisi, masyarakat yang pernah merasakan bantuan Kim, akan mati-matian membela pengusaha muda itu. Tapi bagi kalangan lain, Kim dianggap sebagai penjahat (koruptor) kelas kakap yang pantas dijebloskan ke penjara.
‘’Dia pantas dikerangkeng di Nusa Kambangan. Gara-gara si pembobol bank, rakyat jadi sengsara,’’ ujar seseorang dengan emosi tinggi.
‘’Weh, berita itu kan belum final. Artinya, apakah dia itu koruptor atau bukan, yang menentukan secara yuridis adalah pengadilan. Kalau Pak Kim sudah diadili, baru dapat dikatakan bahwa dia itu koruptor -- pembobol Bank Cempedak,’’ jawab yang lainnya.
‘’Lha, seorang wartawan, menulis berita sesuai fakta dan data yang akurat. Mereka investigasi ke lapangan, dengan mewawancarai pihak-pihak terkait dalam persoalan itu. Jadi kalau sementara orang menuding Kim Hok Lay sebagai koruptor kakap, itulah kabar terbaru yang patut kita benarkan untuk saat ini’’.
‘’Tapi yang memutuskan bersalah atau tidak, itu hak pengadilan kan’’.
‘’Tidak salah. Di negeri ini asas praduga tak bersalah kita junjung tinggi. Tapi dari data dan persoalan yang berkembang, ada dugaan Kim Hok Lay dapat dijadikan tersangka dalam kasus tersebut. Apalagi dikabarkan dia menghilang tanpa diketahui kemana ia pergi. Ingat kasus Adrian Woworuntu?’’.
‘’Iya’’.
‘’Nah, tokoh yang satu ini pernah dinyatakan kabur ke Amerika setelah didakwa sebagai pembobol Bank BNI. Kalau dia tidak bersalah, mengapa harus lari dari kenyataan itu? Begitu juga dengan Kim Hok Lay. Kalau dia tidak merasa membobol Bank Cempedak, mengapa harus menghilang? Mestinya ia harus mengklarifikasi nama baiknya ke Polda setelah tindak kejahatannya dibeber di surat-surat kabar’’.
‘’Lantas?’’
‘’Ya, dengan menghilangnya Kim, dugaan orang pasti mengarah ke dia. Meski belum pasti, tapi orang-orang pasti memvonis dia sebagai pembobol uang rakyat. Begitu kan?’’.
‘’He’eh’’.
‘’Nah, itulah hukum sebab akibat. Kalau yang diperbuat itu nilainya baik, maka imbasnya pun akan baik. Tapi kalau buruk, maka dampaknya pasti menyengsarakan orang banyak. Begitu pun kasus Kim Hok Lay’’.
Yang lain hanya diam. Mereka cuma menganggukkan kepala tanpa komentar apa-apa. Bahkan, untuk memahami kasus Kim Hok Lay, mereka harus membaca koran itu berkali-kali.

****
Setelah menonton berita siang di televisi swasta, perasaan Gendon terguncang. Ia begitu gelisah. Karena Kim Hok Lay --big boss PT Siang Malam-- dinyatakan menghilang terkait kasus pembobolan Bank Cempedak.
PT Siang Malam adalah perusahaan kayu lapis tempat Gendon bekerja. Apakah setelah Kim menghilang perusahaannya akan tutup? Itulah yang menggelisahkan perasaan anak muda itu.
‘’Mak, Pak Kim menghilang. Ia dinyatakan terlibat dalam kasus pembobolan Bank Cempedak,’’ kata Gendon.
‘’Lha, jadi bagaimana, Ndon?’’ tanya Mak Katiyem.
‘’Saya ndak tau, Mak. Saya khawatir perusahaan tempat saya bekerja akan tutup kalau Pak Kim tidak ada,’’ jawab Gendon.
Mak Katiyem tak dapat bicara apa-apa mendengar informasi anaknya. Pikirannya menerawang jauh ketika pertama kali ia mengenal Kim Hok Lay.
Dua tahun lalu, pada saat Mak Katiyem berusaha meminjam uang kepada seseorang, secara kebetulan ia ketemu dengan Kim Hok Lay.
‘’Untuk apa Mak meminjam ‘uang panas’ sebesar Rp 4 juta?’’ tanya Kim Hok Lay ketika itu.
‘’Saya mau membiayai pemagaran tanah kosong peninggalan mediang suami saya,’’ jawab Mak Katiyem.
‘’Luasnya?’’
‘’Kalau ndak salah, sekitar lima hektare’’.
‘’Wah, uang segitu tidak cukup untuk membangun pagar tanah seluas itu. Lagi pula, Mak tahu nggak orang yang mau dipinjami uangnya itu seorang lintah darat?’’
‘’Nggak, tuh’’.
‘’Kalau Mak jadi pinjam duit ke dia, nanti susah sendiri’’.
‘’Lho, kenapa?’’
‘’Yah, selain bunganya besar, pinjaman dasarnya tidak pernah habis-habis, meskipun sudah bertahun-tahun Mak bayar secara mencicil,’’ kata Kim Hok Lay menghantu-hantui orang tua itu.
‘’Jadi bagaimana, ya?’’
‘’Begini. Mak punya anak laki-laki dewasa yang belum bekerja?’’
‘’Ya ada. Anakku hanya semata wayang. Ia sudah tiga tahun tamat ES-EM-A. Dan, sampai sekarang dia belum bekerja. Dulu, sebelum meninggal, suami saya anggota veteran. Harta yang ditinggalnya cuma tanah itulah,’’ beber Mak Katiyem.
‘’Di mana lokasi tanah itu, Mak?’’
‘’Di Jalan Batu Megalit’’.
Wah, ternyata tanah orang tua ini berada di kawasan elit. Kim Hok Lay tersenyum penuh arti.
‘’Mak mau mendengar saran saya?’’
‘’Apa itu?’’
‘’Begini, mak. Saya ini seorang pengusaha kayu lapis. Saya perlu tambahan modal’’.
‘’Lantas, apa hubungannya dengan saya? ‘’
‘’Anak mak kan belum bekerja’’.
‘’He’eh’’.
‘’Saya mau ngajak dia bekerja di perusahaan saya. Bila perlu saya posisikan dia sebagai kepala gudang dengan gaji yang lumayan. Bagaimana?’’.
‘’Ya, saya setuju saja,’’ jawab Mak Katiyem dengan mata berbinar.
‘’Tapi saya juga perlu bantuan Mak’’.
‘’Apa yang dapat saya bantu?’’
‘’Saya perlu tambahan modal. Nah, bagaimana kalau sertifikat tanah Mak kita agunkan ke bank. Uangnya untuk memagar tanah Mak, selebihnya kita modalkan buat usaha kayu lapis. Selain anak Mak dapat bekerja di perusahaan saya, Mak pun akan saya bagi bonus tahunan jika laba perusahaan kita diperoleh sesuai target. Mak setuju?’’
Mak Katiyem tidak buru-buru menjawab. Tapi karena tawaran Kim Hok Lay begitu menjanjikan, akhirnya Mak Katiyem menganggukkan kepala.
‘’Kalau Mak setuju, besok sertifikatnya segera kita agunkan. Dan, mulai hari ini anak Mak saya catat sebagai karyawan PT Siang Malam,’’ ujar Kim Hok Lay.
Sampai di situ lamunan Mak Katiyem buyar. Ia dan anaknya Gendon begitu kaget mendengar di halaman rumahnya datang beberapa orang berpakaian seragam polisi. Selain itu, datang pula satu regu petugas polisi pamongpraja, dua tentara, lima petugas Bank Cempedak, dan dua orang juru sita dari Pengadilan. Sedangkan di pinggir Jalan Batu Megalit terdapat satu unit ekskavator, mobil polisi, mobil bank, dan kendaraan petugas transtib.
‘’Lha, ada apa bapak-bapak ini datang kemari?’’ tanya Mak Katiyem seperti orang bodoh. Alisnya yang mulai putih itu bertaut.
‘’Kami petugas Bank Cempedak. Kedatangan kami ke sini akan menyita tanah serta bangunan yang ibu tempati,’’ jawab petugas bank dengan wajah angker.
‘’Lho, inikan tanah dan rumah saya. Kenapa saudara mau menyita harta benda kami?’’.
‘’Sekarang sudah menjadi milik Bank Cempedak’’.
‘’Kok bisa begitu. Apa dasar hukumnya?’’.
‘’Ya. Dua tahun lalu, ibu penah meminjam uang kepada bank kami dengan agunan sertifikat tanah ini. Tapi karena ibu tidak pernah melunasi pembayaran pinjaman serta bunganya selama transaksi dilakukan, maka dengan terpaksa kami harus menyita tanah dan bangunan rumah ini,’’ kata petugas bank itu.
‘’Lho, yang meminjam uang di bank itukan Kim Hok Lay. Bukannya saya. Lantas mengapa saya yang harus bertanggung jawab mengenai itu?’’.
‘’Dalam berkas pinjaman di bank kami, Sdr Kim Hok Lay dinyatakan sebagai perantara. Maka itu sanksi dan tanggung jawabnya langsung ke ibu sendiri sebagai peminjam. Karena di surat transaksi peminjaman itu dibubuhi tanda tangan ibu’’.
‘’Ah, ndak bisa. Saya tidak pernah dan tak merasa menandatangani surat itu. Apalagi menerima uang pinjaman dari bank. Ini gila. Pokoknya, sampai mati pun saya tidak akan keluar dari rumah ini. Saya akan pertahankan tanah dan rumah warisan mendiang suami saya. Apalagi sebelum itu saya tidak pernah diberi tahu oleh pihak bank mengenai persoalan sebenarnya’’.
‘’Sudah. Untuk ibu ketahui, sudah tiga kali surat peringatan tentang pinjaman yang belum dilunasi itu dilayangkan lewat Sdr Kim Hok Lay. Bahkan, perintah penyitaan pun sudah kami beritahukan minggu pekan lalu melalui Sdr Kim. Ini ada surat tindasan mengenai itu,’’ ujar petugas bank tersebut sembari memperlihatkan berkas utang-piutang dan eksekusi penyitaan dari map plastik yang ia kempit di ketiaknya.
‘’Weeh, taik. Dasar hukum macam apa itu. Itu namanya tidak adil. Terserah. Hidup atau mati, saya akan tetap bertahan di sini. Jika bapak-bapak berani mengusik satu patahan jarum pun yang ada di sini, jangan salahkan saya jika berbuat kasar kepada anda sekalian,’’ begitu ancam Mak Katiyem dengan nada tinggi. Orang tua itu mengambil pacul yang terletak di kiri pintu masuk rumahnya.
Melihat itu, seorang polisi maju ke depan. ‘’Ibu, sebelum kami lakukan dengan cara paksa, sebaiknya ibu berkemas-kemas dan keluar secara baik-baik dari bangunan ini. Kalau ibu tidak mematuhinya, kami terpaksa bertindak tegas,’’ hardik polisi itu dengan mimik garang.
Melihat kondisi ibunya dalam tekanan petugas, Gendon marah. Ia masuk ke rumahnya dan keluar dengan sebilah parang terhunus. Dengan cara membabi-buta Gendon menyabetkan parang itu ke arah petugas. Karena merasa terancam, petugas itu mencabut pistol dan segera membidikkan ke kaki kiri pemuda itu. Letusan senjata api membelah udara. Gendon tersungkur dan kakinya berlumuran darah. Parang berkilat yang ada di tangannya direbut petugas.
Melihat anaknya jatuh berlumuran darah, Mak Katiyem menjerit histeris lalu terkulai ke bumi. Orang tua itu pingsan di pelukan petugas. Sementara ekskavator yang ‘bertangan besi’ segera dioperasikan untuk merobohkan bangunan rumah Mak Katiyem. Di sisi lain, dengan tangan diborgol, Gendon segera dilarikan ke rumah sakit.
Sementara Mak Katiyem belum siuman, rumah tempat tinggalnya sudah rata dengan tanah. Sedangkan perabot rumah tangga dan sejumlah penghargaan berupa medali dan piagam milik mendiang suaminya sebagai pejuang kemerdekaan, berserak tanpa daya. Papan penyegelan pun segera ditancapkan di atas tanah itu.

Catatan: Nama tokoh dan cerita ini hanya rekaan semata.

Cerpen (8)

Racun



Sejak menderita disentri, bobot tubuh Soleh merosot tajam. Wajahnya pucat dan menyiratkan penderitaan yang disembunyikan. Kalau bisa, orang lain, termasuk istrinya sendiri, tak perlu tahu mengenai penyakit yang ia derita. Biarlah ia sendiri yang menanggung semua penderitaannya. Kalau anak dan istrinya tahu mengenai penyakitnya, mereka bakal ikut-ikutan susah. Apalagi sepeser pun ia sudah tidak punya lagi uang simpanan
Tapi dengan sikapnya yang seperti itu, istrinya jadi tidak ambil pusing. Bahkan, tuntutan kebutuhan rumah tangganya pun kian membebani pikiran dan perasaannya. Akibatnya, kondisi kesehatan Soleh kian terpuruk.
Akibat dari suasana yang tidak bersahabat seperti itu, kondisi kesehatannya kian terpuruk. Setiap kali buang air, kotorannya berbaur dengan cairan darah berlendir yang begitu parah. Ketika jongkok di toilet, perihnya bukan main. Kalau bisa menangis, Soleh ingin meraung-raung mengungkapkan penderitaannya. Tapi kepada siapa?
Buktinya, sudah genap tiga bulan ia mengidap disentri, ia merasa, tak seorang pun yang peduli dan menyatakan prihatin atas nasibnya. Justru, dengan keadaan seperti itu, istrinya menganggap Soleh pemalas dan sudah tidak peduli lagi dengan tanggung jawabnya untuk menafkahi dan membiayai kebutuhan keluarga. Dampak dari tekanan psikis yang dideritanya, hingga sekarang disentrinya tak kunjung sembuh, meski sudah beberapa kali digempur dengan obat dokter dan minum ramuan tradisional.
Padahal dia sudah beberapa kali pergi ke dokter. Dan, sejumlah resep dengan harga obat yang tak masuk akal pun, telah menguras isi sakunya. Tapi semua itu seolah sia-sia saja. Penyakit berak darah itu masih betah mencengkeram kesehatannya. Apakah dia akan mati karena penyakit itu?
‘’Ya Allah, jangan Kau siksa aku lebih lama lagi. Aku sudah tidak tahan dengan penyakit ini. Kalau Engkau ingin mengambil nyawaku, ambillah. Aku ikhlas, Tuhanku,’’ keluhnya di ranjang dengan perasaan putus asa. Airmatanya kembali meleleh ke pipi. Entah, sudah berapa kali ia menangis karena menanggung rasa perih yang melilit perut dan duburnya.
Akibat menebus resep obat dari dokter itulah modal usahanya amblas. Ia sudah tidak punya modal lagi untuk mengambil barang dagangan (ikan laut) dari agen yang biasa memberinya peluang berusaha. Sedangkan lima koli ikan segar (sekitar 300 Kg) yang diambilnya dua bulan lalu pun, belum ia setor ke agen.
Dengan kondisi seperti itu, istri dan anaknya benar-benar menderita dan merasa diabaikan laki-laki ini. Bahkan, Rodiah (istrinya) menggerutu berkali-kali, karena anaknya minta uang SPP. Kemarin, dia disuruh pulang oleh guru kelasnya lantaran sudah dua bulan belum membayar uang sekolah.
‘’Titin malu sekali, Mak. Soal uang SPP yang belum dibayar, membuat teman-teman di sekolah selalu mengolok-olok Titin dengan kata-kata yang menyakitkan hati, Mak,’’ ujar anaknya pulang dari sekolah dengan airmata meleleh ke pipi.
Tak tahan dengan kondisi seperti itu, Rodiah harus pulang ke rumah orang tuanya. Ia mengajak kedua anaknya. ‘’Daripada melok Kak Soleh yang berbulan-bulan seperti ini, lebih baik aku pulang dulu ke orangtuaku. Aku stres dengan keadaan begini. Apakah kita akan terus-terusan menderita seperti ini, Kak?’’ begitu istrinya menggerutu dengan airmata bercucuran. Ia segera mengemasi baju dalam buntalan kain sarung.
‘’Terserah, Kak Soleh mau apa. Untuk sementara, aku dan anak-anak akan pulang dulu ke rumah Abah’’. Rodiah bergegas ke luar rumah. Sementara Soleh bungkam dengan roman wajah tak karuan. Ia tidak mampu mencegah kepergian istrinya. Ia sadar bahwa sudah dua bulan ia tidak dagang ikan di pasar 16 Ilir. Selain sakit, ia sudah tidak punya modal lagi. Sedangkan utangnya di agen sudah melilit pinggang.
Dengan kondisi sesulit itu, apakah ia dapat memberi nafkah untuk dua anak dan istrinya? Selain itu, kontrakan rumahnya untuk tahun ini belum dibayar. Pemilik rumah sudah menanyakan itu dengan kata-kata ketus dan tak berperasaan sama sekali.
Ya Allah, betapa beratnya cobaan ini. Mau tak mau, Soleh hanya bisa menangis tanpa suara di tempat tidurnya sendirian. Tanpa istri dan anak-anaknya di rumah, perasaannya begitu rawan. Kesepian begitu panjang dan menyiksa. Kalau begini ia bisa gila. Oh Tuhan..
Setelah dua jam istrinya pergi, Soleh bangkit dari tempat tidur. Biasanya ia akan buru-buru ke toilet. Tapi ternyata tidak. Perutnya ia ikat dengan kain sampang putih untuk mengurangi lilitan rasa sakitnya. Dengan berjalan gontai ia keluar dan mengunci pintu depan.
‘’Mau kemana Dik Soleh. Sudah beberapa hari terakhir saya tidak melihat anda. Sibuk?’’ tanya ustadz Rahmat, tetangga sebelah rumahnya. Soleh agak kaget mendengar sapaan itu.
‘’Oo, Pak Ustadz. Saya mau ke pasar, Pak,’’ jawab Soleh sembari menyembunyikan rasa sakit.
Meski begitu, Ustadz Rahmat bisa memmbaca keadaan laki-laki ini. Selain pucat, kondisi Soleh tidak seperti biasanya. Ia kelihatan kurus, kuyu, dan lesu.
‘’Dik Soleh sakit?’’.
‘’Tidak, Pak. Saya hanya kurang tidur,’’ ujar Soleh mencoba berbohong.
Ustadz bersorban putih ini tersenyum. Ia bisa membaca bagaimana stamina tetangganya ini. ‘’Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu. Nanti, kalau Dik Soleh perlu bantuan, jangan sungkan-sungkan. Bicara saja ke saya, ya. Saya mau buru-buru ke Masjid Al Jannah, mau ngisi ceramah di sana. Saya doakan agar Dik Soleh selalu sehat-sehat saja. Assalamualaikum,’’ tukas Ustadz Rahmat tersenyum. Ia berjalan lain arah dengan langkah Soleh.
‘’Terima kasih, Pak Ustadz’’. Soleh segara bergegas ke Pasar 16 Ilir. Ia ingin melihat keadaan pasar, apakah ia bisa mencarter sisa dagangan kawan-kawannya untuk dijual kembali. ‘’Dapat untung sedikit tak apalah. Yang penting aku harus mencoba berusaha dari bawah lagi. Kalau bisa istri dan anak-anakku pulang lagi ke rumah,’’ begitu tekadnya.

****

Lama juga Soleh berdiri di atas jajaran kotak iwak (peti es) tempat pedagang menyimpan ikan laut dagangannya. Jika disimpan di peti itu, kesegaran ikan laut dagangan mereka akan terjaga dan dapat bertahan hingga beberapa hari.
Hidung Soleh sudah terbiasa dengan aroma pasar yang busuk menyengat. Bagi dia, aroma itu tak lebih dari ‘’keharuman syurga’’ yang memberi berkah bagi kehidupan keluarganya.
Tapi hari ini barang dagangan sedang kosong. Peti-peti es milik pedagang ikan di sana terlihat melompong.
‘’Sedang angin barat. Jadi nelayan tak berani melaut. Makanya, barang dagangan hari ini kosong, Leh. Lagi pula ada agen yang punya simpanan beberapa kilogram ikan tenggiri, mahalnya minta ampun,’’ kata Ujang Ompong ketika melihat Soleh berdiri di atas peti es ikan miliknya.
‘’Pantas saja tak ada teman-teman lainnya’’.
‘’Yah, mereka sudah pulang sejak tadi. Kok kau kelihan kurus dan pucat. Kau sakit?
‘’Iya, Jang. Sudah tiga bulan ini aku kena disentri’’.
‘’Pantas saja dalam beberapa minggu terakhir aku tidak melihat kamu. Tidak ke dokter?’’.
‘’Wah, aku sudah tiga kali berobat ke dokter, Jang. Bahkan, segala ramuan tradisional sudah aku minum, tapi belum sembuh juga’’.
Ujang mengangguk sembari mengingat-ingat ramuan apa yang pernah ia ketahui untuk membantu Soleh. ‘’Oo, aku baru ingat. Coba kau minum air sagu dicampur gula merah. Obat tradisionalini bagus kau minum setiap pagi,’’ tukas Ujang dengan mimik serius.
Meski menganggukan kepala, tapi Soleh tak bereaksi dengan anjuaran temannya. Tampaknya ia sudah tidak berminat lagi merespons obat tradisional seperti itu, karena sudah banyak anjuran serupa yang ia turuti, tapi penyakitnya tak kunjung sembuh juga.
Sementara Ujang asyik melayani pembeli ikan, Soleh kembali hanyut dengan lamunannya. Ia kecewa terhadap nasib buruknya. Di saat kondisinya sakit seperti ini, barang dagangan sedang kosong. Karena semangat untuk mengais rejeki itulah rasa perih yang menghentak sejak tadi tak ia hiraukan. Hanya dari gambaran raut wajahnya saja rasa sakit itu ia tahan-tahan. Harapannya, kalau Ujang masih banyak stok barang ia akan mencarternya. Siapa tahu dengan cara itu ia memperoleh sedikit untung untuk mengatasi kesulitannya. Ternyata harapan itu sia-sia setelah ia melihat di pasar, barang dagang temannya sedang kosong.
Saat kondisinya sedang labil, tiba-tiba seorang pejual racun tikus botolan lewat. ‘’Racun, racun. Racun tikus, nyamuk, dan kepinding (kutu busuk), dalam sekejap akan binasa,’’ seru penjual racun tikus itu.
‘’Mang, berapa sebotol racun tikus ini?’’ tanya Soleh.
‘’Wah, murah saja, Pak. Hanya Rp 2.000. Tapi kualitasnya ampuh sekali. Anda boleh coba,’’ kata penjual racun tikus itu. Maksud ‘’coba’’ menurut penjual itu adalah menjajalnya untuk membunuh tikus.
Soleh mengamati botol racun tikus tersebut. Lama sekali ia menatap cairan hitam kecoklatan dalam botol itu. Hm, kemasannya tidak ditutup lapisan seng. Pada mulutnya hanya tertutup dengan sempalan gabus diselimuti lapisan lilin merah.
‘’Lho, bapak jadi membeli racun ini?’’ penjual racun itu bertanya. ‘’Saya akan mengedarkan dagangan ini ke tempat lain,’’ ujarnya.
Soleh tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tapi senyumnya sulit ditafsir. Tiba-tiba, tanpa ekspresi Soleh menenggak cairan berbahaya dari botol tersebut. Penjual racun itu kaget. Ia panik setengah mati melihat Soleh minum racun dagangannya.
‘’Tolong, bapak ini minum racun saya,’’ begitu penjual racun itu berteriak panik. Ia segera meninggalkan barang dagangannya dan langsung lari ke pos polisi di muara Pasar 16 Ilir.
Serta-merta, para pedagang di sekitar kejadian heboh melihat tubuh Soleh yang tergolek di atas peti es ikan laut milik Ujang Ompong. Tubuhnya berkelojotan. Dari mulutnya keluar busa. Sedangkan botol racun itu jatuh ke lantai pasar dan pecah berhamburan bersama cairan racun tikus yang menebarkan aroma menyengat.
Tak lama kemudian polisi dan penjual racun itu tiba di tempat kejadian. Tubuh Soleh diangkut ke mobil dinas patroli polisi dan segera dilarikan ke rumah sakit.
Dalam kondisi hiruk-pikuk begitu, Soleh membuka matanya. Ia heran, tubuhnya begitu ringan. Seluruh persediannya seolah diselusupi gas helium yang ringan dan dapat menerbangkannya ke udara.
Lambat-lambat tubuhnya yang ringan membumbung dari mobil patroli polisi yang meraung-raung membawa dirinya. Ia begitu kaget. Dari ketinggian, tatkala memandang ke bawah, ia melihat tubuhnya tergeletak di bangku belakang dengan alas kertas koran. Ia menjerit sekuat-kuatnya ke arah dua polisi yang duduk di sebelah tubuhnya. Tapi sia-sia.
Bahkan, tubuhnya kian jauh membumbung, dan mobil patroli polisi itu semakin mengecil dari pandangannya dan akhirnya hilang di balik gedung sebuah hotel. Sedangkan di udara lepas, Soleh menangis. Ia rindu keadaan sehari-hari. Kagen dengan istri dan dua anaknya.
Dalam pengembarannya di negeri kamuflase, ia banyak melihat hal-hal yang menggambarkan kebaikan dan keburukan. Ia ngeri menghadapi itu. Apakah ia telah mati? Apa yang menyebabkan dia jadi seperti sekarang? Mengingat itu, ia menangis meraung-raung seperti anak kecil, agar suaranya didengar semua orang, terutama didengar istri dan dua anaknya. Tapi tak ada gunanya. Ia tetap berada dalam suasana asing yang menyekapnya dalam kesendirian.
Entah, sudah beberapa hari ia tersekap di dunia kamuflase. Yang jelas, ia berada dalam kondisi yang tidak ada daya sama sekali. Padahal, untuk membebaskan diri dari cengkaraman itu, semua kekuatannya sudah ia kerahkan. Tapi sia-sia. Ia pun pasrah.
Saat kerawanan itu memcapai puncaknya, Soleh kaget setengah mati. Suara istrinya yang tengah membacakan surat Yassien itu secara tiba-tiba membuka pintu kesendiriannya. Dengan kecepatan tak terhingga, tubuhnya jatuh dari ketinggian dan menimpa jasad yang mirip dirinya. Soleh menjerit. Orang-orang di sekitarnya begitu bersyukur.
‘’Alhamdulilah. Kesadaran Pak Soleh sudah kembali, Bu,’’ kata dokter sembari melihat monitor detak jantung dan memperlancar tetesan cairan di selang infus.
Istri Soleh bersyukur. Ia memanjatkan doa bagi kesembuhan suaminya. Seminggu diopname di rumah sakit, akhirnya kondisi Soleh pun pulih setelah mengalami masa kritis selama tiga hari. Selama tidak sadarkan diri, keluarganya sudah ikhlas jika bapak dua anak ini dipanggil Sang Pencipta.
Bahkan, lantunan surat Yassin di rumahnya sudah dibacakan istri dan orang kampungnya berkali-kali. Ternyata, ajal belum menjemputnya. Setelah kondisinya pulih, disentrinya pun sirna. (*)

Cerpen (7)

Tamu Malam Hari



Sejak harga BBM naik, dagangan Bahar benar-benar anjlok. Omset dagangannya yang semula diperoleh Rp 1.000. 000 sehari, kini hanya Rp 250 ribu saja. Ah, pendapatan itu tak sesuai dengan ongkos operasional sehari-hari.
Bahar benar-benar bingung. Sudah banyak cara untuk mempertahankan usahanya agar omset dagangannya tetap stabil, tapi upaya itu sia-sia. Sebulan setelah kenaikan BBM, usahanya ambruk. Padahal bulan depan istrinya akan melahirkan anak kedua.
‘’Dimana aku harus mencari ongkos bersalin istriku? Ah, gawat sekali,’’ begitu hati Bahar berbisik. Perasaannya begitu gundah. Di teras rumahnya, ia kelihatan gelisah. Tak terasa, sudah tiga batang rokok yang diisap tanpa ia nikmati sama sekali.
Lampu petromak yang sejak magrib tadi ia pompa, cahanya mulai redup. Bahkan, tiupan angin dari pintu depan mulai mengganggu cahaya penerangan lampu tradisional itu.
Ia segara menurunkan petromak dari gantungan di ruang tamu. Kemudian ia pompa lagi, sehingga cahanya memancar ke sekitar ruang tamu serta menerobos ke pintu depan yang belum ia tutup. Bahar melihat ke arlojinya. Hm, hari sudah pukul 9.00 malam. Sedangkan lepas salat Isya tadi, istrinya sudah pulas bersama Nurhayati –-anak pertamanya-- yang kini sudah berusia lima tahun.
Bahar duduk di beranda depan. Rumah panggung yang terbuat dari kayu beratap daun rumbia itu merupakan satu-satunya harta warisan ayahnya. Seperti rumah (gubuk) kampung lazimnya, di beranda depan terdapat tempat duduk dari bambu.
Di bangku panjang itulah Bahar dan kerabat kampung seringkali mendiskusikan segala persoalan warga. Tapi tak seperti biasanya, ternyata malam ini benar-benar sepi. Ia tak melihat seorang pun yang lewat di depan rumahnya. Padahal Bahar sudah berjam-jam duduk di bangku beranda.
Wah, malam ini seperti sedang ada pesta lelembut (setan dan jin) yang membuat semua orang takut ke luar rumah. Sepi dan membuat bulu roma berdiri. Aneh. Ada apa ya? Wah, keadaan ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Meski begitu, ia tidak merasa takut sedikit pun.
Selagi Bahar tenggelam dalam pikirannya, dari balik gerombol semak belukar di bawah pohon kelapa yang tumbuh di halaman rumah, seseorang menyapanya.
‘’Assalamualaikum,’’ sapa orang itu dari sekitar sepuluh meter di halaman depan. Bahar tidak segera membalas salam orang itu. Dengan perasaan tak menentu ia mencermati laki-laki yang berjalan mengarah ke rumahnya. Wah, siapa itu? Pakaiannya parlente sekali. Kelihatannya ia orang kota dan bukan penduduk kampung ini. Lelaki itu kembali menyampaikan salam kepada Bahar.
‘’Wa’alaikum salam,’’ jawab Bahar.
‘’Kau masih ingat aku, Mas Bahar?’’ tanya orang itu setelah tiba di bawah tangga. Bahar kembali mencermati sosok orang itu lebih dalam. Lama sekali ia memandang tajam ke sosok pendatang yang belum ia ketahui identitasnya. Orang ini berpakaian rapih sekali. Ia pasti orang kaya yang datang dari kota. Bersepatu kulit warna cokelat berkilat dan menenteng kopor echolac hitam. Setelah samar-samar mengingat figur orang itu, Bahar kaget dan mengatakan,’’Lho, kalau tidak salah, bukankah anda ini Mas Hasan anaknya Mang Jemain?’’.
Lelaki itu tertawa ngakak. Tanpa disuruh naik, ia segera meniti tangga dan menyalami serta memeluk tubuh Bahar yang kerempeng. Aroma tubuh Hasan begitu harum. Ia pasti memakai parfum melati, karena wanginya begitu lembut dan harum seperti ramuan orang mati. Bahar sempat merinding.
Wah, dari penampilannya saja Bahar dapat memastikan bahwa teman lamannya ini sedang dalam kondisi yang bagus. Ia pasti bekerja di sebuah perusahaan yang memberi gaji besar. Ia yakin, Hasan tentu sedang memiliki banyak uang. Tapi Bahar heran, dari dulu perangai Hasan tidak berubah. Ia sangat periang dan baik hati. Suara ketawanya yang lantang membuat istri Bahar terjaga dari tidurnya.
‘’Ada tamu darimana Mas,’’ tanya Mbak Narti keluar dari kamar tidur. Ia melangkah ke beranda, sembari mengucek-ucek matanya.
‘’Wah. Dik Narti, coba kau amati. Siapa tuan besar ini. Ayo, coba tebak,’’ kata Bahar dengan senyum terkembang.
Lama sekali Narti memandangi Hasan. ‘’Lho, inikan Dik Hasan. Wah..wah, ngganteng sekali. Perasaanku sudah lima tahun kita tidak ketemu, eh, datang ke sini sudah jadi boss,’’ tukas Mbak Narti menyambut salam tangan Hasan.
‘’Apa kabar, Mbak?’’ tanya Hasan.
‘’Kalau soal kabar sih, baik-baik saja. Tapi sejak harga BBM naik, usaha Mas Bahar gulung tikar. Keadaan kami sedang susah, Dik. Padahal, bulan depan nanti Mbak mau melahirkan anak kedua. Yah, nasib keponakanmu yang kukandung ini tampaknya kurang beruntung,’’ jawab Mbak Narti.
‘’Itulah risiko hidup di zaman gila seperti sekarang, Mbak. Cobaan hidup datang bertubi-tubi. Musibah terjadi di mana-mana. Namun terlepas dari semua itu, tiap orang pasti mengalami cobaan dari-Nya. Yang penting kita sabar, karena Tuhan tidak akan lalai memberi rizki kepada setiap orang yang selalu berusaha sebisanya,’’ ujar Hasan.
‘’Caramu berpikir jauh lebih dewasa ketimbang lima tahun lalu. Syukurlah. Dik Hasan tampaknya berhasil mengatasi sulitnya kehidupan ini. Coba bantu Mas Bahar, ya. Kau bekerja di mana, Dik?’’.
‘’Saya kebetulan dipercaya menjadi pengawas di sebuah perusahaan konstruksi. Kebetulan saat ini perusahan kami sedang mengerjakan proyek jalan di pedalaman kabupaten ini, Mbak. Kalau Mas Bahar bersedia ikut bekerja di perusahaan kami, saya akan daftarkan dia sebagai pekerja harian. Siapa tahu, nantinya ia bisa diangkat sebagai karyawan tetap. Kami butuh banyak tenaga kerja, Mbak’’.
Mendengar penawaran itu, Bahar segera menyambutnya. ‘’Wah, kalau memang ada lowongan, tolong ajak aku, San,’’ Bahar memohon.
‘’Tapi Mas Bahar harus ikut ke proyek di pedalaman kabupaten ini. Bagaimana, apa anda bersedia?’’.
‘’Lho, kenapa tidak. Kalau memang harus ke sana, aku ikut kamu,’’ tukas Bahar bersemangat.
‘’Ayo. Segeralah berkemas. Siapkan pakaian ganti beberapa stel, nanti di sana Mas Bahar akan diberi busana trainingspack (pakaian kerja lapangan),’’ kata Hasan.
‘’Hah, sekarang?’’.
‘’Lha, kapan lagi’’.
‘’Tapi saya belum siap, karena saya mesti meninggalkan uang makan Mbakmu selama kita bekerja di sana,’’ ucap Bahar dengan wajah sedih.
‘’Tak perlu khawatir. Uang belanja untuk Mbak sudah saya siapkan. Ini Mbak, terima saja,’’ ujar Hasan seraya mengeluarkan seikat uang ratusan ribu rupiah dari kopor hitamnya yang segera diberikan kepada Mbak Narti.
Bahar dan Mbak Narti kaget melihat uang sebanyak itu. Kedua suami istri itu tertegun menerima uang dari Hasan. Keduanya seolah bermimpi menerima uang sebanyak itu.
‘’Lho, kok melongo seperti orang tolol? Ayo ambil, Mbak. Saya tak bisa lama-lama di sini. Kalau Mas Bahar bersedia ikut, mari kita pergi sekarang juga karena saya ditunggu oleh pimpinan di ujung jalan kampung ini’’.
‘’Tidak minum kopi dulu, Dik Hasan?’’.
‘’Nggak usah, Mbak’’.
Setelah menyiapkan beberapa stel baju ke dalam tasnya, Bahar pergi mengikuti Hasan dalam kegelapan malam. Namun sebelum pergi, Bahar berpesan agar istrinya selalu menjaga kesehatan kandungan serta kehormatan rumah tangganya.

****

Sudah sebulan Bahar bekerja sebagai operator mesin aspal curah pada proyek jalan yang dipimpin Hasan. Sebagai orang yang dipercaya Direktur Utama PT Mengkudu Hijau, Hasan benar-benar dipuji sebagai pimpro yang piawai dan sangat disayang para pekerjanya. Justru itu, selama 30 hari bekerja di sana, Bahar begitu betah merintis jalan baru di sepanjang hutan lintas utara.
Soal kesejahteraan dan menu makanan, ternyata sangat sehat dan bervariasi. Apalagi di proyek itu terdapat beberapa tenaga ahli teknis dari Jerman dan Amerika, tentu servis menu makanan dan minuman tersedia dengan standar empat sehat lima sempurna.
Malam itu, ia kebetulan off dan posisinya sebagai operator mesin aspal curah digantikan Parto, teman sekamarnya. Karena itu, kesempatan libur sehari semalam itu dimanfaatkan Bahar sebaik-baiknya agar setelah bekerja seharian penuh kemarin, tubuhnya bugar kembali.
Dalam keremangan lampu proyek, alat-alat berat seperti buldoser, ekskavator, mobil kern, serta sejumlah truk yang diparkir di pemondokan, terlihat seperti sosok kamuflase yang menyeramkan. Apalagi Bahar istirahat sendirian di kamp, tentu membuat perasaannya menjadi agak seram. Namun ia mencoba menepiskan rasa takut dalam hatinya.
Malam kian larut. Sekitar satu kilometer dari kamp tempat ia mondok, terdengar suara mesin aspal curah bergemerasak serta sorak-sorai teman-temannya yang sedang bekerja menyelesaikan pengaspalan jalan yang kemarin malam belum tuntas seluruhnya. Karena itu ia tak dapat memejamkan mata. Lewat jendela terval, pandangannya diarahkan ke langit lepas. Di cakrawala, bulan bersinar separuh bayang. Dari balik gugusan awan, samar-samar terlihat awan putih kehitaman berarak ke arah utara. Dalam buntalan awan yang bergerombol, Bahar seolah melihat wajah istrinya yang tengah hamil tua menatap dan senyum ke arahnya. Ia benar-benar rindu kepada Narti dan anaknya. Harus ia akui, selama 30 hari di hutan, kerinduan itu sudah begitu menumpuk.
‘’Kenapa, Mas Bahar rindu kepada Mbak Narti dan anak semata wayang di rumah?’’ tiba-tiba suara Hasan membuyarkan perasaan rindunya pada anak dan istrinya di kampung.
Karena itu ia cukup kaget mendengar suara teman akrabnya ini. Yang ia ketahui, saat itu Hasan tengah mengontrol pekerjaan teman-temannya di front utara. Kok, secara tiba-tiba ia ada di kamp? Naik kendaraan apa dia sehingga tiba di kamp tanpa ia ketahui sama sekali? Hm, aneh.
‘’Lho, Mas Hasan tidak melakukan pengontrolan ke front utara?’’ tanya Bahar dengan kening berkerut.
‘’Ndak masalah. Untuk sementara tugas pengontrolan saya percayakan kepada Pak Prawiro. Ia juga orang lama yang bisa dipercaya’’.
Bahar hanya mengangguk. Kemudian ia minta sebatang rokok, karena kebetulan Hasan sedang menyulut rokok kretek di bibirnya.
‘’Saya melihat sikap Mas Bahar, tampaknya sedang dilanda kerinduan terhadap Mbak Narti dan anak di rumah,’’ tukas Hasan seraya menghirup asap rokoknya dalam-dalam.
‘’Secara jujur, ia San,’’ jawab Bahar.
‘’Nah, kejujuran itulah yang aku suka dari anda. Besok Mas Bahar punya rencana pulang ke kampung?’’.
‘’Lha, tapi pekerjaan kita belum rampung, kan’’.
‘’Tak masalah. Esok pagi, direktur keuangan datang ke lokasi kerja kita. Mas Bahar boleh mengambil gaji dan insentif uang lembur. Saya perkirakan selama sebulan ini anda mendapat total upah sebesar Rp 8 juta’’.
‘’Wah, alangkah besarnya Mas Hasan,’’ sergah Bahar kaget setengah mati. Masakan kerja baru sebulan sudah memperoleh uang gaji sebanyak itu. Rasanya tidak masuk akal.
‘’Itu bukan perkara masuk akal atau tidak. Kami menilai, anda termasuk pekerja yang kreatif dan menguntungkan perusahaan. Jadi wajar andaikata perusahan ini memberi gaji dan insentif yang sesuai dengan keahlian Mas Bahar,’’ kata Hasan.
Bahar mengucapkan rasa syukur yang dalam ke hadirat Sang Pemberi Rezeki. Dalam salat tahajud dari dua pertiga malam itu, doa syukur dan lafal dzikir meluncur dari bibirnya yang kebiru-biruan akibat candu rokok.
Paginya, setelah ia menerima uang sebesar Rp 8 juta, ia mohon izin kepada direktur keuangan untuk menengok istrinya yang sedang hamil tua.
‘’Silakan Pak Bahar. Saya sudah memberikan rekomendasi untuk anda lewat kewenangan Pak Hasan,’’ kata direktur keuangan itu dengan wajah ceria. Kumis tipis di atas bibirnya, menambah ketampanan Pak Direktur tersebut.
Bahar benar-benar gembira. Sebelum meninggalkan ruang kerja direktur keuangan, ia menyalami pimpinannya. Rasa hormat serta rendah hati pribadi Bahar itulah yang membuat dia cepat memperoleh tempat di hati teman-teman sekerjanya.
Di kamp, ia sudah ditunggu Hasan. ‘’Mas Bahar boleh langsung pulang ke kampung. Saya akan mengantar anda hingga ke batas kelokan jalan aspal baru dengan motor dinas. Setelah itu anda boleh meneruskan perjalanan hingga ke ujung jalan aspal yang kita kerjakan. Di sana banyak kendaraan umum yang lewat. Mas Bahar bisa naik kendaraan umum di sana. Ingat, selama Mas Bahar berjalan untuk mencapai ujung jalan aspal ini, anda tidak diperkenan menoleh ke belakang,’’ begitu Hasan memberi nasihat.
‘’Kenapa, San?’’.
‘’Itu pantangan bagi masyarakat yang hidup di daerah ini,’’ jawab Hasan dengan mimik serius.
Sementara itu, laju motor yang dikendari Hasan meluncur cepat. Setelah Hasan menurunkan sahabatnya itu di kelokan jalan aspal baru, Bahar diingatkan kembali untuk tidak melanggar pantangan yang sudah disebutkan tadi.
Bahar pun patuh terhadap pantangan itu. Setelah tiba di antara ruas jalan lama dengan ujung jalan aspal baru, ia pun menoleh ke belakang. Astaghfirullah. Bahar kaget setengah mati, karena jalan yang sudah ia lalui tadi tiba-tiba hilang tak berbekas.
Yang ia lihat hanyalah kerimbunan semak belukar dan pepohanan meranti yang belum terjamah para perambah hutan. Ia mengucek-ucek matanya. Apakah ia tengah bermimpi? Kemudian Bahar mencubit kulit lengannya. ‘’Ah, aku ini tidak sedang bermimpi. Ya, Allah. ini fakta. Wah, kondisi seperti ini bisa membuat aku gila,’’ celotehnya seperti berbicara dengan diri sendiri.
Ketika kesadarannya penuh, ia segera membuka tasnya untuk melihat apakah uang gaji yang ia peroleh dari PT Mengkudu Hijau tidak raib seperti jalan aspal baru yang ia lalui tadi. Bahar pun kembali dikejutkan oleh situasi yang tak masuk akal. Bukan saja uang itu masih utuh, tapi jumlahnya pun bertambah menjadi Rp 10 juta.
Setelah ia mengingat-ingat tentang masa lalu sahabatnya Hasan, ternyata ia baru sadar bahwa teman karibnya itu tewas lima tahun lalu, karena tertimpa tiang listrik bertegangan tinggi yang roboh akibat angin kencang. Bulu romanya merinding.
Wuih, nasib Hasan memang naas. Tapi jauh sebelum ia meninggal, Hasan dan Bahar pernah membuat kesepakatan dengan cara ikrar darah di pergelangan tangan mereka. Barangkali ikrar itulah yang menyebabkan Hasan masih berusaha membantu kesulitan Bahar setelah dagangannya pailit akibat harga BBM membumbung tinggi. Masya Allah!

6 Maret 2007

Cerpen (7)

Gadis Panggilan di Kelokan Jalan



Baru tiga kali ketemu gadis itu, aku merasa simpati pada sikapnya yang sederhana. Selain tidak banyak meminta, cara berpikirnya pun begitu dewasa. Suatu ketika, saat aku mengajaknya jalan-jalan di taman kota, ia lebih banyak bercerita tentang nasibnya. Padahal, siang itu aku mencoba menawarkan diri untuk mengajaknya ke rumah makan sederhana di pinggiran kota, tapi dengan cara halus ia menolak.
‘’Ndak usah, Mas. Saya masih kenyang. Pagi tadi, sebelum ke luar rumah, aku nyarap nasi liwet yang kubeli dengan Mbok Inem di dekat tempat tinggalku. Wah, banyak sekali aku makan Mas, karena sejak kemarin sore aku belum makan apa-apa,’’ ujar gadis itu dengan senyum terkembang. Dua dekikan memikat yang menghiasi kanan-kiri pipinya membuat senyumnya begitu mempesona. Ah, manis sekali gadis ini.
Namun sejauh ini, aku tidak berani bertanya siapa namanya. Apalagi ia pun tak pernah ingin mengetahui siapa aku. Jadi biarlah. Persahabatan seperti ini lebih murni daripada aku harus masuk ke lorong pribadinya yang tak perlu aku ketahui. Aku merasa lancang andaikan aku harus lebih banyak bertanya hana-hene mengenai dia.
Jadi biarlah bersahabat seperti ini. Pokoknya aku bahagia. Persetan dengan bisikan teman-teman yang memberitahuku tentang dia. Toh, aku tidak pernah berpikir macam-macam mengenai profesinya sebagai apa.
Apa ruginya berteman dengan seorang wanita seperti dia. Orang bisa saja memojokkan nasib seseorang. Menjelek-jelekan posisi orang lain. Padahal, ketika ditelusuri, apakah dirinya lebih terhormat dibanding nasib seorang wanita panggilan? Sedangkan dia sendiri sering nyelonong ke lokasi pelacuran? Ah, taik kucing. Sok suci!
Aku mengenal gadis itu bukan untuk dijadikan konsumsi seks liar. Justru dia bisa dijadikan teman ngobrol yang asyik tanpa harus diwarnai sikap saling curiga dan kurang ajar. Dari perbincangan kami selama tiga hari terakhir, aku banyak ide untuk menulis tentang nasib dan kehidupan orang lain. Bahkan, ide brilian yang aku dapati dari gadis itu, direspons pimpinan saat rapat proyeksi di redaksi. Itu artinya, gadis itu telah menguntungkan karir jurnalistikku.
Seperti artikel yang kutulis pada terbitan dua hari lalu tentang korban gusuran di Kecamatan Dawuh, ternyata sangat berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah. Akibat tulisan itu, perusahan pengembang yang bertanggung jawab dengan sekian banyak nasib korban gusuran, harus membayar ganti rugi sesuai yang diminta masyarakat. Akibatnya, para preman yang membacking perusahaan pengembang begitu benci ketika namaku disebut-sebut Sekwilcam Dawuh pada saat menghitung luas tanah warga yang harus diganti rugi oleh pengembang. Biar saja. Yang penting, sebagai seorang jurnalis, aku harus membela kebenaran yang kebetulan kebenaran itu berpihak pada kepentingan orang kecil di Kecamatan Dawuh. Persetan dengan preman dan pengembang yang seenaknya merampas tanah rakyat.

****

Gerimis masih mencucur ke bumi. Aku meninggikan kerah jaketku. Ih, cuaca dingin sekali. Dengan berlari kecil, tas hitam berisi block note, tape recorder kecil, serta kamera digital delapan megafixel di pundak, terpaksa kutenteng untuk menghindari curah gerimis yang cukup membasahi.
Jika tak ada urusan, rasanya malas keluar dalam cuaca seperti ini. Lebih baik nulis berita di kantor atau membuat tulisan apa saja. Tapi, seperti janjiku kemarin, aku harus menemui dia di kelokan jalan itu, karena seperti biasanya, aku memang seringkali ketemu dia di sana. Sedangkan sepeda motorku kuparkir sekitar seratus meter dari kelokan jalan itu. Biarlah, Arif (penjaga parkir di sana) selalu menjaga motorku dengan baiknya. Bahkan, seringkali aku mencoba membayar biaya parkir, Arif selalu menolak menerima uangku.
‘’Nggak usah, Mas. Anda sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Biarlah, kalau Mas Anton mau parkir di sini, silakan saja. Mas ndak perlu pusing memikirkan biayanya. Bagi saya, uang Mas Anton nggak laku,’’ ucap Arif tertawa.
Kalau sudah begitu, aku tak dapat berkata apa-apa. Namun aku sangat bersyukur, karena dimana-mana aku selalu disambut siapa pun dengan sikap yang bersahabat. Ah, terima kasih Tuhan!
Tak terasa, aku tiba di kelokan jalan. Dan seperti biasanya, aku menunggu dia di depan toko buku Pak Johari. Pemilik toko buku itu ramah dan sangat hafal melihat roman wajahku. ‘’Silakan duduk di meja baca, Nak,’’ ujar Pak Johari, sesaat setelah ia melihat bayanganku di luar tokonya. Wajahnya begitu ceria.
‘’Terima kasih, Pak. Biar saja. Saya menunggu di sudut tembok toko Bapak,’’ jawabku.
‘’Yah, sudah. Bapak masuk dulu, ya,’’ katanya.
Aku hanya mengangguk dan pandanganku segera kulayangkan ke segala arah. Tak kulihat bayangan gadis itu. Di tengah hujan rintik-rintik itu aku hanya melihat orang-orang berlari-lari kecil mencari tempat berteduh. Ah, kemana dia? Sudah lebih dari sejam aku menantikan dia di sini, tapi dia tak muncul juga. Padahal dia selalu datang tepat waktu jika berjanji.
Setelah lebih dari dua jam aku berdiri di sudut tembok toko Pak Johari, akhirnya aku tak tahan juga. Kejenuhan pun menyiksa perasaanku. Tanpa pamit kepada Pak Johari, aku segera hengkang dari sana. Setelah mengambil motor dari areal parkir, aku tancap gas ke Jalan Melati. Di sepanjang wilayah jalan inilah tanah kosong milik warga Kecamatan Dawuh dicaplok PT Bagus Kencana. Kabar terakhir yang kudengar, tanah itu akan dibuat komplek perumahan mewah. Hm, seenaknya saja mempermainkan nasib orang lain.
Aku memacu motorku secara perlahan. Jalan ini sepi sekali. Karena di kiri-kanan jalan masih terdapat banyak belukar. Apalagi saat cuaca tak bersahabat seperti sekarang, kawasan itu tak lebih seperti ruang luas tempat ‘’jin membuang anak’’. Wajar andaikan pihak berwajib sering mendapat laporan warga tentang penemuan mayat korban pembunuhan yang dibuang di sini.
Selagi aku tenggelam dalam pikiran sendiri, tiba-tiba dari kejauhan di depan sana, sebuah Nissan Terano hitam berkilat melemparkan sesosok tubuh ke jalan. Aku tak sempat mencermati plat nomor polisinya. Secara reflek aku segera mengejar mobil tersebut, tapi tak berhasil. Kecepatan lari mobil itu seperti kendaraan setan. Merasa tak menang melawan kecepatan mobil tersebut, aku segera kembali ke tempat tubuh yang tergetak di pinggir jalan tadi.
Sebelum kusentuh, aku mencermati tubuh itu. Ah, tubuh seorang wanita muda dan ia masih hidup. Perutnya yang kembang-kempis itu pertanda sosok tersebut masih bernapas. Untuk menyelamatkan jiwa wanita itu, aku segera menelpon ambulans dan melarikannya ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, aku segera mengurus administrasinya. Biaya perawatan wanita itu menjadi tanggung jawabku. Biarlah. Aku sangat iba melihat kondisinya.
Selama tiga bulan tugas di kota ini, aku belum memiliki induk semang, kecuali ibu pemilik rumah kostku yang begitu baik dan perhatian sekali. Ia seorang janda tua yang tidak memiliki anak. Maka, sepulang dari rumah sakit, kepada ibu kost aku ceritakan tentang nasib perempuan yang dilempar seseorang dari sebuah mobil jeep hitam di Jalan Melati. Ia masih hidup dan dirawat di rumah sakit.
‘’Ooo. Jadi wanita tersebut dilempar begitu saja di jalan yang sepi itu?’’.
‘’Iya, Bu,’’ jawabku.
‘’Kurang ajar. Semoga kualat orang itu. Seperti membuang kain lap kotor saja. Ee.., wanita itu masih muda atau tua seperti ibu?’’.
‘’Saya belum sempat mencermatinya, Bu. Tapi tampaknya ia masih muda’’.
‘’Kamu belum dapat laporan dari rumah sakit mengenai identitasnya?’’.
‘’Belum’’.
‘’Yah. Kalau dia sudah sembuh dan tidak ada seorang pun yang mengakuinya sebagai keluarga, bawa saja ke sini. Biar ibu yang merawatnya. Kasihan, nak. Anggap saja kita berbuat amal,’’ ujarnya. Aku semakin kagum dengan kemuliaan hati ibu kostku ini.


****

Dua minggu setelah dirawat di rumah sakit, kondisi wanita itu mulai membaik. Merah lebam di wajah dan sekujur tubuhnya sudah hilang. Dokter yang merawatnya mengatakan, keadaan wanita muda itu sudah membaik dan hanya menunggu pemulihan saja.
‘’Saya boleh melihatnya, dokter?’’
‘’Kenapa tidak. Silakan’’.
Aku segera membuka pintu kamar tempat wanita itu dirawat. Pintu itu kudorong pelan sekali, agar wanita itu tidak terkejut. Namun betapa kagetnya aku, ternyata wanita yang kutolong ini adalah gadis yang beberapa hari ini aku cari-cari. Secara reflek ia bangkit dari tempat tidur dan seraya memelukku. Perasaanku bergetar. Kubiarkan ia menangis dalam pelukanku. Sedangkan aku sendiri melampiaskan kerinduanku kepadanya. Apakah aku menyintainya? Ah..
Pertemuanku dengan dia benar-benar dramatis. Setelah perasaanya reda, gadis itu menceritakan peritiwa pahit yang menyekap sepanjang kehidupannya.
‘’Kalau ayah angkatku sedang tidak punya duit, aku selalu ia jual kepada temannya yang menyiksa dan melemparkan aku ke jalan beberapa hari lalu, Mas,’’ ungkapnya dengan airmata terurai.
Mendengar itu, secara spontan perasaan marah membakar emosiku. ‘’Siapa ayah angkat dan laki-laki yang telah menistaimu itu?’’.
Gadis itu tidak segera menjawab. Ia mencoba menghimpun perasaannya. ‘’Laki-laki itu seorang Kepala Dinas PU di kota ini. Aku minta bayar mahal setelah dia menikmati kehangatan tubuhku di hotel. Apalagi aku tahu persis bahwa dia terlibat dalam proyek jalan fiktif senilai Rp 16 miliar. Karena itu dia sering mengancam dan mencoba membunuhku, Mas’’.
‘’Darimana adik mengetahui adanya proyek jalan fiktif yang melibatkan kepala dinas tersebut?’’.
‘’Tak sengaja, ketika ia mengajakku makan di sebuah restoran lesehan, ia kelepasan omongan kepada pimpronya mengenai itu. Bahkan, ketika ia mengajakku tidur di hotel, aku menyembunyikan beberapa fotokopi arsif penting mengenai itu ke dalam tasku’’.
Atas pernyataan gadis itu, aku mencoba mengembangkan kasus percobaan pembunuhan terhadap gadis tersebut, serta membongkar proyek fiktif yang melibatkan kepala dinas itu.
Setelah tiga kali berita itu naik ke permukaan, masyarakat heboh. Sejumlah LSM berunjuk rasa. KPK, kejaksaan, serta pihak kepolisian melakukan pemeriksaan kepada kepala dinas itu. Untuk sementara waktu, dia dan orang-orang yang terlibat dalam proyek fiktif tersebut, dijebloskan ke penjara.
Di kamar kostku yang cukup luas, gadis itu mengucapkan terima kasih. Ia menciumku dan menggelutiku begitu hangat. Birahiku terpancing. Tapi setelah aku melihat tanda hitam di paha kirinya tatkala ia telanjang, tiba-tiba aku tersentak. Gila! Gadis itu segera kusuruh memakai bajunya kembali.
‘’Siapa namamu, Dik?’’.
‘’Kenapa. Mas tidak suka karena aku seorang pelacur?’’.
‘’Bukan begitu. Tanda hitam di paha kirimu mengingatkan aku terhadap seseorang yang selama ini aku cari-cari. Ia begitu kukasihi’’.
‘’Pacarmu, Mas?’’.
‘’Ee, namamu Parmi, kan?’’ aku balik bertanya.
‘’Kok, Mas tahu namaku?’’.
‘’Ya. Kau pasti anaknya Pak Suntoro?’’.
‘’Kau sendiri siapa, Mas?’’.
‘’Aku Anton’’.
‘’Mas Anton..Suntoro?’’.
Pertemuan itu benar-benar dramatis. Aku seperti terpatok di lantai rumah. Kepalaku tak mampu mengangguk. Sementara airmataku berurai ke pipi. Mengetahui keadaan kami, Parmi segera memelukku erat-erat. Saat itu kami saling bertangisan berbagi perasaan. Yah, gadis itu adalah adik kandungku sendiri.
Dulu, saat kami terpisah, ayahku ditangkap polisi karena kedapatan mencuri kabel telpon yang baru dipasang di bawah tanah dekat stasiun kereta api. Saat itu, kondisi ibuku benar-benar sekarat karena ia mengidap penyakit leukemia. Karena itulah ayah membutuhkan banyak biaya buat pengobatan ibu. Sementara ayah tidak punya pekerjaan tetap. Meski sudah diusahakan, akhirnya kehidupan ibu harus takluk kepada Sang Ajal. Ia meninggal dengan kondisi tubuh menyedihkan. Saat ibu wafat, aku berusia sembilan tahun. Sedangkan Parmi baru berumur enam tahun. Karena keadaan, kami terpisah. Parmi diangkat anak oleh Pak Pardito, seorang pengusaha kayu. Aku sendiri ikut Pak Darmijo, seorang guru sekolah dasar yang sederhana. Karena didikan dialah aku menjadi seorang sarjana dan bekerja sebagai wartawan. Sayangnya, tiga bulan sebelum aku meraih gelar sarjana, Pak Darmijo meninggal dunia karena serangan jantung. Sedangkan istrinya sudah lebih dulu menghadap Yang Mahakuasa.
‘’Pak Parditolah yang membuat aku menjadi pelacur seperti yang kau lihat sekarang, Mas. Ketika usahanya gulung tikar karena ribuan kubik kayunya disita polisi, ia terlibat utang dengan sesama pengusaha. Kecuali rumah yang ditinggalinya sekarang, segala aset milik Pak Pardito disita. Suatu malam, aku diperkosa dan seringkali dijualnya kepada teman-temannya yang punya duit. Batinku menjerit, tapi aku tak kuasa melawan orang yang telah membesarkanku, Mas,’’ ungkap Parmi dengan suara bergetar menahan kepedihan hatinya.
Mendengar itu dadaku terasa akan pecah. Entah, kemarahan ini harus aku lampiaskan kepada siapa. Yang pasti, kenistaan yang melanda adikku membuat kemarahanku dikobari api. Bangsat! (*)

3 Maret 2007

Cerpen (7)

Akulah Momo Kelana



Wajah tua Pak Momo terlihat kuyu dan pucat. Ia tampak lelah. Karena usianya yang sudah memasuki tahapan kepala tujuh (70 tahun), membuat wajahnya yang kusam tak bercahaya itu dipenuhi keriput dan kumis memutih. Apalagi dalam beberapa hari terakhir ia terserang diare, membuat bobot tubuhnya merosot tajam.
Yang membuat Pak Momo lebih menderita, di usianya yang demikian sepuh itu, ia hidup sendirian di sebuah kamar bedeng seng berukuran 2,5x3 meter. Suasananya panas dan sumpek. Ia hidup bersebelahan dengan Bu Siti, yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung. Kebetulan pula, di samping pondokan mereka terdapat trailer sampah yang menebarkan aroma tak sedap. Tadinya, kawasan itu merupakan lahan kosong milik pengusaha keturunan yang bergerak di bidang otomotif. Tapi sang pengusaha tak keberatan jika ada warga miskin yang tak punya tempat tinggal membangun bedeng pondokan di tanah itu. Nanti, jika lahan itu diperlukan pemiliknya, mereka harus mengosongkan kawasan itu tanpa ganti rugi.
Dalam suasana tak sehat seperti itulah Pak Momo menekuri sisa hidupnya di ruangan sempit. Ia dikenal masyarakat di sekitarnya sebagai seniman musik miskin dan tidak beruntung. Nasib buruknya itu memaksa ia harus hidup serba kekurangan dan jarang memperoleh asupan gizi dan vitamin yang baik.
Padahal, di masa mudanya dulu, ia mendapat julukan, Momo Kelana sang pemain ‘’biola maut’’. Gesekan biolanya, selain halus mendayu, perpindahan dari nada ke nada di jarinya, begitu cepat dan memikat siapa pun. Terutama ketika dia melantunkan musik klasik, Mozart, wuih, hebatnya bukan main.
Makanya, para seniman musik muda yang ada di daerahnya tidak menyangka jika di pengujung usianya Pak Momo hidup dalam kemiskinan yang demikian mendera. Bahkan, sudah tiga hari ini ia mencret-mencret. Kemarin, secara tak sadar, ketika Pak Momo pulang mandi dari sumur di ujung lorong, di sepanjang perjalanan ke rumahnya, ia mencecerkan kotoran dari bawah sarungnya.
‘’Tua bangka tak tahu diri,’’ begitu caci-maki warga setempat sembari menutup lubang hidungnya.
‘’Barangkali dia itu sudah nyusu (bahasa Palembang: pikun),’’ sentak warga lainnya.
Mendengar itu Bu Siti menyela mereka. ‘’Sshh, kita tidak boleh menyaci-maki seperti itu kawan-kawan. Diakan sudah tua, dan tidak punya sanak keluarga lagi. Sedangkan dalam kondisi begitu tidak ada orang yang mengurusnya. Maklum saja ya, Pak Momo sedang menderita diare. Jadi saya minta tolong, janganlah menyaci-maki dia. Kasihanilah orang tua yang malang itu, ya’’.


****

Suatu siang di kamarnya yang sumpek, Pak Momo berbaring di atas sehelai kertas koran edisi minggu pertama bulan lalu. Atap dan dinding seng tempat ia bermukim makin memperparah diarenya. Wajahnya pucat bukan main. Sedangkan tubuhnya lemas tak berdaya. Bu Siti sudah menyarankan agar Pak Momo segera ke puskesmas.
‘’Tapi maaf Pak Momo, saya tak dapat mengantar ke sana, karena mau kerja (memulung) ke tempat pembuangan akhir (TPS). Soalnya hari ini banyak sampah baru yang dibuang ke sana. Siapa tahu banyak barang bekas yang dapat saya jual untuk menafkahi anak-anakku,’’ kata Ibu Siti pagi tadi.
Pak Momo hanya tersenyum rawan sembari mengangguk pelan. Bahkan responsnya hanya ia layangkan lewat kejapan lemah mata tuanya yang sayu. Itu terlihat dari balik kacamatanya yang tebal. Tapi sebelum Bu Siti pergi, wanita itu sempat meninggalkan singkong rebus dan secangkir kopi untuk Pak Momo di pinggir pintu tempat orang tua itu berbaring.
‘’Terima kasih Bu Siti,’’ujar Pak Momo. Suaranya terdengar lemah dan pelan sekali.
Sejam setelah kepergian Bu Siti, suasana siang di lingkungan itu dicekam keheningan. Karena jenuh, Pak Momo mencoba bangkit. Ia membuka kantong pembungkus biolanya dan mengeluarkan benda berharga miliknya itu. Lalu dipandangnya sejenak. Ia tersenyum getir. Kemudian dawai biola itu ia stem agar tak terdengar fals. Lalu benang stik biola itu ia balur dengan damar pemulas, agar kesat dan melahirkan gesekan suara yang bagus.
Tak lama di antaranya, suara biola Pak Momo merobek kesenyapan suasana. Kelembutan lengkingan biolanya menggambarkan rintihan hidupnya yang menderita luar biasa. Terutama ketika ia melantunkan lagu jazz klasik bertajuk I’m in The Mood for Love, membuat perasaan siapa pun akan tersentuh. Ternyata, kemampuan Pak Momo masih luar biasa. Di usianya yang senja, kemahirannya bermain musik masih menyisakan kekaguman bagi banyak orang.
Di masa mudanya dulu, lagu itulah yang melambungkan namanya di jagad musik inlander (bumi putra). Sebab, di lingkungan pemusik orang kulit putih (Belanda), Pak Momo sangat disayang gurunya, Hermaan van De Brink. Tiap kali tampil dalam Van De Brink Orchestra di Initium Ballroom, Momo selalu menjadi bintang. Seolah ia ingin mengatakan ke publik dunia bahwa akulah si Momo Kelana pencabik dawai ‘’biola maut’’. Apalagi pada masa kejayaannya Momo memiliki wajah tampan, tentu banyak gadis yang rela tenggelam ke dalam pelukannya.
‘’Godverdomzeg. Jij benar-benar zakelijk dengan orchesrtra ini, Momo. Ike nilai, jij punya anleeg (bakat) begitu besar di bidang muziek. Ike bangga kepada kamu orang. Lihatlah, banyak noni-noni yang ingin kenal sama jij punya diri. Coba jij lihat di bawah stage sana. Ayo temui mereka,’’ begitu Van De Brink memberi pujian sekaligus anjuran kepada Momo.
Karena kemahirannya bermain biola, kehidupannya menanjak tajam. Nasib baik selalu berpihak ke dirinya. Hidupnya selalu bertabur order, terutama diajak Van De Brink bermain musik untuk mengisi acara pada pesta pejabat Belanda dan Oriental Music. Pada masa kejayaannya, background kehidupan Momo digelimangi uang, minuman keras, wanita, dan pujian masyarakat. Dari dunia glamor itulah ia mampu mempersunting Chen Lie Moy ketika ia diminta untuk memperkuat kelompok Oriental Music di Initium Ballroom. Dari pernikahannya dengan Chen Lie Moy, Pak Momo mendapat dua anak.
Sayangnya, dalam ilustrasi hidup glamour seperti itu, Pak Momo tak pandai menghindari rongrongan minuman keras, judi, dan perempuan. Akibatnya, uang dan harta yang ia peroleh dari bermusik, ludes dibuat foya-foya.
‘’Bang Momo, aku memohon kepadamu agar kau dapat menghentikan sikap burukmu. Kasihan nasib anak-anak kita. Jika Abang terus-terusan begitu, bagaimana masa depan mereka?’’ ujar Chen Lie Moy dengan airmata berurai.
Karena pengaruh alkohol, Momo tersinggung. Emosinya pun meletup. Wajah istrinya ia pukul hingga memar, sedangkan bibir Lie Moy pecah berdarah. ‘’Kau tidak perlu mendikte aku. Yang penting uang belanja dan kebutuhan sehari-hari rumah tangga kita aku cukupi. Jadi jangan banyak omong,’’hardik Pak Momo dengan roman muka bengis. Jika sudah begitu, Chen Lie Moy hanya bisa menangis dan diam seribu bahasa. Dalam hatinya, wanita keturunan Tionghoa itu sudah tak tahan lagi hidup bersama Momo.
Setelah pemerintah Indonesia menguasai teritorial wilayah pemerintahan sepenuhnya, Hermaan van De Brink pulang ke Nederland. Dalam kondisi seperti itu Pak Momo benar-benar terpukul. Terutama ketika istrinya kabur membawa dua anaknya. Momo benar-benar bangkrut. Ia hampir gila menghadapi dunia kesendirian yang begitu menyiksa. Ternyata, kebesaran karir musik di masa mudanya dulu tak seindah kehidupan rumah tangganya. Hingga kini, sudah tiga puluh tahun lebih ia ditinggal pergi istrinya. Sebagai seorang lelaki tua yang tak memiliki apa-apa lagi itu, ia benar-benar terpuruk.
‘’Chen Lie Moy, maafkan Abang’’. Itulah ucapan sesal yang meluncur lemah dari mulutnya yang ompong keriput. Rasa perih akibat diare kembali menggerogoti lambungnya. Kali ini sakitnya bukan main. Ia meringis dan menghentikan gesekan biolanya. Akibat rasa sakit yang tak tertahankan itu, sekujur tubuh Pak Momo menmgeluarkan keringat dingin.
‘’Ya Allah..,’’ begitu ia merintih. Ucapan religi dari mulut Pak Momo benar-benar surprise. Sebab, di sepanjang hayatnya, baru kali ini ia mengucapkan lafal Allah. Kemudian diam.
Bu Siti yang sudah tiga hari tak melihat bayangan Pak Momo, bertanya kepada tetangganya. Warga di lingkungan itu rata-rata bekerja sebagai pemulung dan penarik becak.
‘’Sudah seminggu ini saya tidak melihat dia, Bu,’’ ujar Pak Mamat sembari memilih kantong-kantong plastik bekas yang akan ia jual ke pasar tradisional.
‘’Coba ibu panggil. Barangkali ia sedang tidur. Bukankah kamarnya bersebelahan dengan tempat tinggal Bu Siti?’’.
‘’Ya. Saya sudah memanggil dia, tapi tak ada jawaban. Bahkan, pintunya terkunci dari dalam’’.
Mendengar itu Pak Mamat memandang tajam ke wajah Bu Siti. ‘’Lho, ada apa Mat? Kok kau memandangi aku seperti itu?’’.
‘’Itu dia masalahnya, Bu’’. Wajah Pak Mamat terlihat serius. Lalu ia bangkit dari duduknya. Kantong-kantong plastik bekas yang ia susun rapi tadi, ditinggalnya begitu saja. Ia segera bergegas ke tempat tinggal Pak Momo. Dengan perasaan penuh tanda tanya, Bu Siti mengikutinya dari belakang.
Sesampainya, Pak Mamat memanggil orang tua itu. Tapi tak ada jawaban. Bekali-kali ia panggil, tapi tetap tak ada jawaban. Ia segera mendobrak pintu kamar Pak Momo. Masya Allah! Pak Mamat dan Bu Siti kaget setengah mati. Mereka segera menutup hidungnya. Dari dalam kamar Pak Momo yang gelap, menyeruak aroma tak sedap. Sedangkan segerombol lalat hijau terbang berkerubutan. Dalam keremangan suasana, tubuh Pak Momo yang kaku terlihat biru membengkak. Ada beberapa belatung merayap di lengan dan mulutnya yang menganga. Sementara di sisi tubuhnya, biola kesayangannya tergolek begitu saja.
Melihat suasana seperti itu, wajar jika keadaan Pak Momo tak terdeteksi oleh warga di sekitarnya. Sebab, aroma bangkai dan bau busuk lainnya yang menebar di udara bebas, sudah menjadi hal biasa di lingkungan tersebut. Karena di situ ada trailer tempat pembuangan sampah orang-orang kaya. Warga di sekitar itu pun segera menyerbu ke kediaman Pak Momo. Perbincangan hiruk-pikuk warga mengenai orang tua malang ini menebarkan beragam persepsi. Setelah ditelpon, sejumlah polisi pun tiba di tempat itu. (*)

11 Januari 2008

Cerpen (6)

Ki Dalang Kastono Citro



SUDAH hampir lima bulan ini Ki Dalang Kastono Citro tidak mendapat order ndalang. Padahal di kampung seberang, ketika ada mantenan (pesta perkawinan) hari Minggu kemarin, warga di sana menampilkan pergelaran wayang kulit dengan cerita Broto Yudho.
Mengapa selama ini dia tidak pernah memperoleh order ndalang lagi? Hm, padahal di seputaran lima kampung di wilayah desa transmigrasi itu, nama Ki Dalang Kastono Citro dikenal sebagai dalang paling hebat. Ketika ia mendalangi berbagai cerita wayang purwa, tuturannya begitu hidup, sehingga penggambaran karakter tokoh di dunia perwayangan seolah nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu orang-orang di seputaran wilayah transmigrasi begitu mengagumi dia sebagai dalang paling jempolan. Lantas, mengapa sudah sekian lama ini ia tidak pernah mendapat orderan lagi dari warga? Ah, aneh. Sampai di situ ia hanya menyerahkan hidup dan matinya kepada Gusti Allah. Barangkali di balik itu akan ada hikmahnya. Ya, pasti ada hikmahnya.
Kastono melemparkan pandangan matanya jauh ke hamparan sawahnya yang kerontang merana. Di sana-sini terlihat rusak. Kerusakan itu disebabkan kemarau panjang, sehingga padi yang ia tanam kering kekuningan. Padahal sebelumnya, padi yang ia semai itu tumbuh subur, dan seluas mata memandang seperti hamparan permadani hijau yang menyejukkan perasaan.
Memikirkan nasibnya yang kurang beruntung tahun ini, Kastono benar-benar sedih. Di atas rumah-rumahan reyot yang terbuat dari atap daun rumbia di tengah sawah, ia menumpahkan segala kegalauannya.
Apalagi beras simpanan di rumah untuk cadangan makan sehari-hari pun hampir tandas. Jika teringat itu, ia jadi gelisah. Kemarin, tengkulak kejam yang memberi pinjaman uang dan obat-obat pertanian sebelum ia panen, sudah memberi batas angsuran agar ia segera melunasi utang-utangnya yang sudah melilit pinggang.
Dengan apa Kastono akan membayar utangnya kepada tengkulak itu? Padi yang ia harapkan dapat dijual untuk membayar utang dan membeli baju sekolah anaknya, gagal dipanen. Pikirannya benar-benar sempit. Sedangkan kegelisahannya mengenai itu sangat menyiksa.
Duduk dan tidur-tiduran di gubug daun rumbia di atas dangau sawahnya seluas satu hektare itu diharapkan dapat memenangkan jiwanya, ternyata tidak sama sekali.
Padahal, seperti biasanya, jika angin siang begini berhembus sepoi-sepoi, mata Kastono akan segera terpejam seperti lampu teplok kehabisan minyak. Tapi karena kehidupannya sedang dilanda kesulitan, perasaan Kastono cenderung menjadi gelisah. Makanya siang itu ia tak dapat memjamkan matanya ketika angin berhembus sepoi-sepoi menyejukkan.
Dari celah dinding daun rumbia gubuknya, larik-larik cahaya matahari siang menerpa kulit wajahnya yang gelap. Kekelaman kulit wajah Kastono menggambarkan penderitaan hidupnya yang tak kunjung usai. Meski begitu, ia selalu berusaha untuk tegar menghadapi berbagai tantangan hidup yang bagaimana pun pahitnya.
‘’Lho, Bapak ngelamun?’’ suara Ninuk mengejutkan Kastono. Anak perempuannya yang masih duduk di kelas lima Es-De itu datang mengantarkan makan siang untuk Kastono. Tak terdengar langkah kecilnya ketika menghampiri bapaknya di rumah-rumahan itu. Secara sontak lelaki ini bangkit dan menyusut airmata dengan punggung lengannya.
‘’Wah, kamu Nduk. Kok tidak mengucapkan salam dulu pada Bapak,’’ ujar Kastono tersenyum. Tapi sisa airmatanya masih terlihat di pipi kiri.
‘’Lha, Bapak menangis. Ada apa?’’ tanya gadis kecil itu heran. Wajah Ninuk yang lugu makin menusuk perasaannya.
‘’Ah, ndak, Nuk. Kalau menguap, mata Bapak seringkali berair. Tadi Bapak diserang kantuk yang luar biasa, sehingga menguap berkali-kali,’’ ujar Kastono berbohong.
Alis mata Ninuk bertaut. Baru kali ini ia melihat Bapaknya mencucurkan airmata. Padahal, selama ini Ninuk selalu diajarkan untuk tidak cengeng menghadapi kenyataan hidup yang bagaimana pun pahitnya. Tapi siang ini, Bapaknya terlihat cengeng?. ‘’Wah ini pasti ada apa-apanya,’’ begitu hati Ninuk berbicara.
‘’Bapak lapar? Makanya Ninuk cepat-cepat ke sini agar Bapak bisa makan siang secepatnya’’. Ninuk membuka bungkusan nasi yang ia bawa. ‘’Nih, ibu masak nasi jagung. Ada sambal goreng dan sayur gori. Cepat makan, Pak. Mumpung masih hangat,’’ kata Ninuk. Karena rasa lapar sudah menghentak sejak tadi, Kastono segera melahap santap siang yang diantar anak gadisnya itu.

*****

Malam semakin larut. Kastono dan istrinya, Ajeng, masih duduk di beranda depan sembari menikmati cahaya purnama yang bersinar keemasan di cakrawala lepas.
Suara radio transistor Cawang dua band di ruang tamu pondoknya, masih berceloteh sejak sehabis Maghrib tadi. Tampaknya, suasana kejawen seperti di kampung halamannya, Wonogiri Solo, terasa kental dalam kehidupan sehari-hari mereka di wilayah transmigrasi ini. Terutama ketika para waranggono (sinden) melantunkan sejumlah tembang Jawa dalam cerita wayang kulit lewat siaran RRI stasiun Jakarta.
‘’Yang penting kita harus legowo (jiwa besar) menerima cobaan berat dari Gusti Allah, Jeng. Kakang sudah berusaha sebisanya agar kehidupan kita di trans ini menjadi lebih baik. Tapi ternyata padi kita gagal dipanen,’’ ujar Kastono. Untuk menghilangkan himpitan perasaan di dadanya, ia menghela napasnya.
‘’Saya ndak bisa ngomong apa-apa lagi, Kangmas. Kenyataan hidup kita memang begini. Biarlah. Segalanya kita serahkan saja ke Dia. Gusti Allah lebih tahu dari segalanya,’’ tukas Ajeng sembari membersihkan tepung ubi kayu untuk dibikin panganan tiwul.
Kastono begitu terharu terhadap sikap istrinya yang begitu nrimo. Ia bersyukur dianugerahi istri sebaik Ajeng.
‘’Kakang bangga dengan sikapmu yang begitu luhur, Dimas. Semoga kelak jasadmu tiwas dalam keharuman surgawi,’’ ujar Kastono.
Kemudian lelaki itu menyulut rokok klobot dari daun kawung yang ia bawa dari Jawa, pada saat mudik lebaran tahun lalu. Stok rokok itu masih tersisa satu kemasan. Entah, ia tidak mengerti, kok malam itu ia kepingin sekali merokok daun kawung.
Asap yang ia hembuskan mengaburkan situasi teras depan. Sedangkan aroma kemenyan dari asap rokok itu menyeruak ke seantero ruangan. Kalau tidak biasa dengan suasana seperti itu, orang pasti mengira bahwa serombongan lelembut atau dedemit sedang pesta pora di tempat itu.
‘’Nggo Kang. Saya istirahat dulu. Awakku capek sekali,’’ tukas Ajeng sembari membawa niru berisi tepung tapioka itu ke ruang dalam.
‘’Ya, duluanlah. Kakang masih betah di sini,’’ ujar Kastono sembari menghembuskan asap rokoknya. Ia tampak menikmati suasana itu.
Baru lima isapan, dari depan gubuknya datang dua orang laki-laki berpakaian hitam serta mengenakan ikatan blangkon di kepalanya. Yang satu setengah tua, dan yang satunya lagi masih muda dan gagah.
‘’Kulo nuwun. Pripun kabare sampeyan, Ki Dalang?’’. Orang tua itu menyapa dan bertanya tentang kabar Kastono yang sedang asyik menikmati rokok klobotnya.
‘’Waduh, baik-baik saja. Siapa, ya?’’.
‘’Saya, Ki Dalang. Masak sampeyan lupa’’.
Kastono mengamati laki-laki itu. Matanya yang agak kemarahan menyipit sesaat. ‘’Welah, Pak Sarmanto, rupanya. Saya ini agak pangling. Meski sudah tua, sampeyan itu masih nggaya waee. Saya mendapat kehormatan sekali malam ini. Sebab, di gubug reyot ini didatangi seorang saudagar getuk lindri. Suasana ini sangat menggembirakan saya’’ seru Kastono tertawa, sehingga giginya yang kuning kecokelatan akibat candu rokok itu mengobral keramahtamahannya.
Kedua lelaki itu segera bersalaman dan berpelukan akrab sekali. Maklum, mereka berdua adalah sahabat karib yang sudah lama tidak saling memberi kabar.
‘’Oo iya, ini kenalkan. Ia keponakanku yang baru datang dari Jawa. Ia seorang insinyur pertanian lulusan Universitas Gadjahmada Jogja. Namanya Joko Pitolo. Hari Minggu Legi pekan depan, dia akan saya nikahkan dengan Yayuk Wulandari, anaknya Pak Kades Partijo,’’ ujar Sarmanto.
Mata Kastono berbinar-binar mendapat kehormatan seperti itu. ‘’Alhamdulliah. Semoga sampeyan hidup bahagia dengan gadis itu, ya Le,’’.
‘’Terima kasih, Paklek,’’ ucap pemuda itu seraya membungkuk hormat serta mencium tangan Kastono.
Pak Sarmanto segera mengutarakan maksud kunjungannya. Selain ingin mengundang Kastono sekeluarga pada pesta pernikahan keponakannya nanti, ia juga diminta untuk jadi dalang pada pergelaran wayang kulit dengan lakon Arjuno Wiwoho.
’’Tapi saya minta, tokoh punakawan, terutama sosok petruk jangan dikeluarkan dalam pergelaran wayang itu,’’ kata Sarmanto.
‘’Lho, kok bisa begitu?’’ tanya Kastono seperti orang tolol.
‘’Iya, Ki Dalang. Itu merupakan pantangan bagi warga di sana. Kalau masih mbandel, akan terjadi peristiwa yang menakutkan,’’ ungkap Sarmanto sembari mengeluarkan uang panjar kepada Kastono.
Wah, aneh sekali. Sepanjang ia berkarir di dunia pedalangan, baru kali ini Kastono memperoleh permintaan yang ganjil seperti itu. Tapi tak apalah. Toh, ia juga butuh uang dari jerih payahnya sebagai dalang. Pokoknya, apa yang dipesan orang agar ia mendalangi pergelaran wayang kulit lakon Arjuno Wiwoho akan ia patuhi. Sepanjang menyangkut fulus, oke-oke saja. Yang penting duit, duit, dan duit. Titik!
Sepekan telah berlalu. Hari yang dinati-nantikan itu pun tiba. Suasana pesta pernikahan Joko Pitolo dengan Yayuk Wulandari begitu meriah. Sebelas pasang tenda berlapis plafon kain sutra putih yang menyekap suasana pesta, kental sekali dengan tradisi Jawa. Umbul-umbul dan anyaman daun janur yang menghiasi tiang tenda, kian memperindah tiap sudut ruangan. Sedangkan alunan gamelan pengiring wayang kulit, membuat perasaan siapa pun seperti berada di tanah Jawa.
Di pentas panggung wayang kulit, gemuruh penonton yang lebur dalam lakon Arjuno Wiwoho, benar-benar menyemarakkan suasana. Kemampuan Ki Dalang Oerip Kastono Citro yang menjadi dalang dalam cerita itu, mampu mempengaruhi jiwa penonton. Apalagi kemerduan suara waranggono (sinden) yang melantunkan tembang dari satu episode ke episode lain dalam cerita itu, seakan menghipnotis penonton dari komunitas Jawa di kampung enam, wilayah transmigrasi itu.
Durasi cerita yang dibawakan Ki Dalang Kastono Citro begitu hidup. Tak terasa, alur cerita yang ia tuturkan sudah hampir tuntas. Bahkan, untuk memperpanjang cerita agar selesai tepat menjelang Subuh, Kastono sudah melakukan improvisasi dialog dengan para pesinden dan penabuh musik gamelan. Tapi suasana malam terasa begitu panjang dan melelahkan.
Sekujur tubuh Ki Dalang Kastono berkeringat. Bahkan keringat yang keluar dari pori-porinya terasa tidak enak. Kadang-kadang dingin, tapi juga terasa sumuk (sumpek). Kastono sudah begitu capek. Kelelahan yang mendera membuat ia nyaris tak berdaya, sehingga ia sudah tidak konsentrasi lagi menghidupkan setiap tokoh wayang yang ada di atas kotak di belakang tubuhnya. Tapi malam tetap terasa panjang dan menyekap perasannya. Gila! Ia belum pernah mengalami hal aneh seperti sekarang.
Karena jengkel dengan situasi seperti itu, akhirnya Ki Dalang Kastono mengeluarkan tokoh punakawan, antara lain, semar, gareng, petruk, dan bagong . Ketika tokoh Petruk melakukan dialog-dialog lucu, orang-orang di sekeliling itu justru panik.
Tiba-tiba di cakrawala yang gelap, gemuruh halilintar membelah angkasa. Lintasan kilat menyambar kian-kemari. Pada pengujung lidah kilat yang menyambar tenda, terjadi ledakan dahsyat. Rona merah api serta-merta mengaburkan pandangan. Semua perangkat pesta dan orang-orang yang ada di sekitar tempat itu tiba-tiba sirna.
Hanya tinggal Ki Dalang Kastono sendiri yang duduk di atas kompleks makam tua dengan tubuh bergetar sembari memegang tulang belulang manusia. Padahal sebelum kejadian, tulang-tulang itu merupakan sosok wayang seperti seperangkat tokoh punakawan yang terdiri dari petruk, semar, gareng, dan bagong. Ia lantas melemparkan tulang lengan dan rusuk manusia yang ada di tangannya. Suasana yang tadinya dingin mencekam, tiba-tiba terasa begitu panas, menyengat kulit.
Kastono menyipitkan matanya ketika memandang ke langit lepas. ‘’Astaga’’. Ia kaget setengah mati. Ternyata cahaya matahari yang begitu terik menggigit kulit, menyorot tajam tepat pukul 12.00 tengah hari. Kastono seperti disambar petir. Dari surau di ujung kampung, suara azan Zuhur menyadarkan perasaan Ki Dalang Kastono Citro dari suasana buruk semalam suntuk. Ternyata, ia telah melakonkan cerita Arjuno Wiwoho di tengah ratusan arwah orang yang telah lama mati. Ia takut bukan main. Dengan langkah gontai, ia bergegas meninggalkan kompleks perkuburan tua di kampung itu. Dalam hatinya, ia memutuskan untuk berhenti menjadi dalang

Palembang, 4 April 2007