Senin, 24 Maret 2008

Saya Menulis, 1



Dialog Keserasian Sosial dan Konflik Atambua
Oleh Anto Narasoma
PROGRAM dialog Keserasian Sosial yang dilaksanakan Dinas
Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Sumsel di Hotel Carissima pada Jumat (22/9)
lalu, menarik untuk disorot. Apalagi menghadirkan sejumlah tokoh agama berbeda
yang duduk rembuk bersama itu, baru kali pertama dilaksanakan Dinkesos Sumsel.
Menariknya dialog Keserasian Sosial itu, karena persoalan yang
diperbincangkan berkisar pada konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia. Menariknya lagi, lantaran peserta yang dilibatkan dalam dialog
Keserasian Sosial itu melibatkan unsur tokoh Islam (Majelis Ulama
Indonesia-MUI), Budha (Walubi), Kristiani (Persatuan Gereja Indonesia-PGI),
Dinas Sosial, serta PMPB se-kabupaten/kota.
Dari runtutan dialog, ternyata semua unsur dalam kegiatan itu
menginginkan suasana damai (perdamaian). Apalagi pertikaian sosial di daerah
konflik seperti Aceh, Poso, Ambon, serta Papua, menyisakan setumpuk
keprihatinan yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. Akibat dari pertikaian
sosial yang berkepanjangan, selain harta benda ratusan nyawa manusia jadi
korban sia-sia.
Yang jadi pertanyaan, apa penyebab terpicunya kemarahan sosial di
beberapa wilayah konflik? Pasti, jawaban umum yang sering terlontar adalah
agitasi sentimen suku atau perbedaan keyakinan (agama) yang tajam. Benarkah ?
Logika di lapangan memang begitu. Tapi sebenarnya, jawaban di balik
konflik tak sesederhana seperti jawaban umum yang tidak memberikan jalan
keluar. Karena mata rantai persoalan sosial yang memicu konflik ditunggangi
banyak kepentingan.
Contohnya, belum tuntas pelaksanaan dialog Keserasian Sosial versi
Dinkesos Sumsel di Hotel Carissima, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang
selama ini dikenal masyarakat kita anteng-anteng (tentram) saja, ternyata pada
Jumat lalu (22/9) kondisi sosial di sana bergolak hebat. Rumah dinas dan kantor
Kejaksaan di Atambua dirusak, serta gedung Pengdilan Negeri Maumere hangus
dibakar massa. Dalam aksi di Atambua, ribuan pendukung Tibo CS pun membobol
Rumah Tahanan (Rutan) Atambua. Akibatnya 205 tahanan dan narapidana kabur.
Kerusuhan hebat seperti itu terpicu lantaran protes massa terhadap tiga
pidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39),
dan Marianus Riwu (48). Jika kita cermati, ekses sentimen membabi buta
seperti yang dilakukan pendukung Tibo Cs itu dapat menghancurkan persatuan kita.
Itu artinya, kita perlu menyikapi persoalan ini secara serius. Sudah mati
saja, eksistensi Fabianus Tibo CS itu dapat memicu kemarahan massa. Apalagi
ketika ia hidup secara hokum dinyatakan sebagai dalang kerusuhan Poso, tentu
keberadaannya di Poso sangat mengkhawatirkan.
Seolah kelompok satu dengan yang lainnya selalu menciptakan akses ''balas
dendam'' yang dapat merusak hubungan kebangsaan antarkita. Jika konflik itu
berbau SARA, tentu dampaknya sangat runcing. Sekali tersentuh, akibatnya dapat
memantik api konflik di daerah lain. Kondisi inilah yang mengkhawatirkan kita.
Padahal secara nasional, kita pun pernah menggelar dialog yang sama
(seperti dialog Keserasian Sosial) di Jakarta. Dalam dialog itu dihadirkan
tokoh-tokoh agama yang berpengaruh. Tapi pertikaian sosial di wilayah konflik
tetap saja bergejolak.
Menurut Kasubdin Jaminan Bantuan Sosial (Jabansos) Dinkesos Sumsel yang
juga Ketua Pelaksana dialog Keserasian Sosial, Drs Ms Sumarwan MM, membangun
watak manusia tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi menyadarkan
mereka dari perbedaan keyakinan, tentu membutuhkan waktu dan kesabaran yang
tidak sebentar.
Itu artinya, untuk membangun watak manusia yang baik dibutuhkan strategi
dan logika yang masuk akal. Dengan kata lain, konsep yang difloor tidak
melukai kepercayaan pihak manapun. Sisi inilah yang sangt sulit untuk dilempar
kepada masyarakat yang tengah dilanda konflik.
Meski forum dialog Keserasian Sosial ini belum tentu efektif untuk
meredam konflik di berbagai daerah rawan sosial, namun paling tidak, katanya,
dialog seperti ini dapat mengurangi ketegangan sosial di masyarakat.
''Kita sudah terlalu lelah dihadapkan kepada berbagai pertikaian sosial
di wilayah konflik. Selain merugikan persatauan kita, coast (biaya pemulihan
sosial) yang dikeluarkan pemerintah pun begitu besar. Jika kondisi konflik
terus terjadi di berbagai daerah, maka potensi chaos dapat membahayakan
persatuan kita. Selain itu, keuangan pemerintah akan terkuras sia-sia. Padahal,
kondisi keuangan negara kita masih dalam keadaan krisis,'' ujar Sumarwan.
Barangkali, dengan keprihatinan itulah Dinkesos Sumsel menggelar dialog
Keserasian Sosial dengan cara menghadirkan sejumlah tokoh dari berbagai agama.
Meski aktivitas itu tidak seratus persen meredakan pertikaian sosial di
berbagai daerah konflik, paling tidak, kita dapat mengetahui bahwa kehidupan
beragama yang ada di Indonesia mencintai suasana damai, serta berusaha dapat
saling membantu mengatasi berbagai kesulitan yang dirasakan bangsa ini (hasil
kesepakatan dialog Keserasian Sosial ).
Mencermati kerusuhan di Atambua dan Maumere dalam dua hari terakhir,
benar-benar mengerikan. Keberingasan massa yang membabibuta itu telah
membutakan hati nurani mereka. Apakah dengan cara membakar PN Atambua dan
merusak rumah dinas dan kantor kejaksaan setempat dapat menghidupkan kembali
jasad terpidana mati Tibo Cs?
Ekseskusi mati terhadap Tibo Cs merupakan wujud penegakan hukum yang
dinilai lamban. Tertundanya pelaksanaan eksekusi terhadap tiga tersangka
kerusuhan Poso, ada kesan dari masyarakat bahwa pelaksanaannya ''diintervensi''
banyak kepentingan politis. Tapi dengan berani, penegak hukum di sana tetap
melakukan eksekusi terhadap ketiga orang tersebut. Eksekusi itu sebuah
keputusan yang hebat. Kita wajib memberi acungan jempol. Tapi tentunya kita
berharap penegakkan hukum seperti itu harus diberlakukan tanpa pandang bulu.
Artinya, dengan kelompok manapun, jika mereka melakukan pelanggaran yang
merusak tatanan sosial, mereka harus ''ditikam'' dengan mata hukum yang
tajam. Itulah sebuah sikap. Sikap tegas untuk memperlihatkan mata hukum yang
berkilat tajam, sehingga dapat menumbuhkan efek takut atau jera. Terobosan
seperti itu memang pahit. Risikonya terjadi kekerasan di Atambua dan Maumere.
Tapi kepalang tanggung, pertajam lagi mata hukum kita untuk memberangus para
perusuh yang menjadi otak dalam insiden tersebut.
Tapi penegakkan hukumnya tidak hanya diberlakukan terhadap bromocorah
kelas keroco saja, sedangkan pejabat yang melakukan korupsi miliaran rupiah,
misalnya, bisa duduk manis di rumah, tanpa sedikitpun ada sentuhan hukum.
Keadaan ini tentu memunculkan kecemburuan sosial yang dapat menciptakan
ketidakstabilan hidup di negeri ini.
Dengan kepastian hukum yang tegas, lambat laun akan muncul kepatuhan
masyarakat terhadap eksistensi hukum di negeri ini. Setelah itu, barulah kita
gelar berbagai dialog seperti Keserasian Sosial. Dampak baiknya tentu akan
menumbuhkan kesadaran betapa kehidupan kita yang saling berdampingan dengan
beragam perbedaan itu membutuhkan kesamaan pandang untuk membangun negeri ini.
Di samping upaya penegakkan hukum itu kita laksanakan secara kaffah,
dialog Keserasian Sosial merupakan upaya positif untuk membangun kepribadian
rakyat Indonesia yang dulu dikenal masyarakat luar sebagai bangsa yang ramah
dan luhur budi. Sebelum Uni Sovyet bubar, Mikhail Urinov (pengamat politik dan
budaya) pernah menyatakan, bangsanya terdiri dari latar belakang budaya dan
kepercayaan. Jika kebijakan pemerintah (hukum dan tatanan sosial) tidak
menyentuh ke aspek yang adil terhadap keragaman tradisi bangsanya, persatuan
Uni Sovyet akan hancur. Ternyata sejarah membuktikan itu.
Karena pemerintah Uni Sovyet hanya ''mengedepankan kepentingan'' Rusia
dibanding Kazakstan dan Bosnia Herzegovina, misalnya, maka ketika ada gesekan
kepentingan politik internasional, kerawanan sosial di sana menjadi bom waktu
yang mengerikan. Ini yang perlu menjadi renungan kita bersama.

Penulis adalah:wartawan SKH Sumatera Ekspres