tag:blogger.com,1999:blog-10364624988541133752024-03-13T00:07:16.766-07:00Anto NarasomaAnto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-31603398729326691372008-08-20T02:12:00.000-07:002008-08-20T02:19:47.824-07:00Pesan Terkirim Anwar Putra Bayu<p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;">Ungkapan Birahi Sang Nyonya Lirik?</span></span> </p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">MAUT dan kematian, bagi banyak orang merupakan peristiwa seram dan menakutkan. Teruta<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-CXYhTZHN8X6X8pY-q5drRKhGGnIPWvAxfp5Eta4s17ZfBuRkCjmQHq1MU0SfNAv4Tab0gw6PT7CZNwReaem0bK8GgTj9_0QsF_NHsoYrIBFW-ye1K7z4_2ZzV70IFop2QU6bVVhofss/s1600-h/APB+Bareta+dua.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-CXYhTZHN8X6X8pY-q5drRKhGGnIPWvAxfp5Eta4s17ZfBuRkCjmQHq1MU0SfNAv4Tab0gw6PT7CZNwReaem0bK8GgTj9_0QsF_NHsoYrIBFW-ye1K7z4_2ZzV70IFop2QU6bVVhofss/s200/APB+Bareta+dua.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5236526588258567394" border="0" /></a>ma bagi mereka yang tak siap menghadapi hal tersebut, tentu akan sangat takut mengalaminya. Padahal, bagi orang hidup, kematian adalah peristiwa pasti yang akan melanda siapa pun. Tidak ada makhluk hidup yang tidak mati pada akhir riwayat mereka.</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Tapi bagi penyair, keseraman kata maut atau ungkapan mati, secara konotatif merupakan pintu masuk yang sangat indah bagi perpindahan hamba Tuhan. Benarkah demikian?</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Proses sakaratul maut (menjelang kematian) seperti yang dituturkan di atas, digambarkan penyair Anwar Putra Bayu dalam puisinya bertajuk, Pesan Terkirim. Tapi penggambaran itu tidak seseram seperti perasaan seseorang yang tak siap menghadapi kematian. Justru, penggambaran sakaratulmaut dalam puisi itu dikemas dalam bahasa puitis yang kaya jebakan persepsi. Bahkan kehadiran sang nyonya lirik dalam puisi itu tergambar begitu bergairah menumpahkan birahinya.</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Tapi untuk memahami isi puisi tak segampang ketika kita membaca karya fiksi seperti cerpen, cerber, atau novel. Banyak karya fiksi seperti cerpen, misalnya, format penyajiannya selalu menggambarkan peristiwa<span style=""> </span>secara bertutur, sehingga pembaca akan langsung dapat menangkap maksud pengambaran cerita yang disajikan penulis.</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Bahkan, si pembaca terkadang bisa langsung mencerna isi cerpen kendati ia belum menuntaskan bacaannya. Tapi untuk mengerti maksud pada larik-larik (kalimat) puisi, seseorang perlu membedah atau melakukan pendekatan empirik untuk memahami pikiran penyairnya. Lantas, bagaimana orang bisa menerobos masuk ke makna dunia puitika? </p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Guru besar Rijks-Universiteit Utrecht, Dr TH Fischer mengatakan, masuk ke dalam rumusan budaya pikir seseorang atau masyarakat, perlu mengenal kehidupan mereka sehari-hari. Dengan begitu akan dapat diketahui rumusan pola pikirnya mengenai perkembangan sesuatu hal yang ia tulis (halaman 10 buku.. <i>Enleiding Tot De Culturele Anthropologie Van Indonesie</i> terbitan PT Pembangunan 1953).</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, budaya puisi (baca: pantun) selalu terkait dalam kehidupan sehari-hari mereka. Maka itu andai-andai (bahasa perumpamaan) yang digunakan selalu tercermin dalam berbagai pola idiom. Karenanya, kekayaan puisi modern terhadap idiom yang disajikan lewat kata-kata pilihan (diksi), selalu<span style=""> </span>menggambarkan kekayaan pola pikir sang penyair. Sebab, ia mampu meneropong beragam persoalan melalui kiasan alam, wujud Tuhan lirik, serta kepribadian sang penyair yang lebur sebagai aku lirik.</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Tentu saja, idiom dan diksi tidak mungkin akan tergambar jika ide yang muncul dalam gagasan seorang penyair tidak ia kelola dengan pengalaman batin yang mengendap sebagai residu yang kental. Jika tidak demikian, akan terjadi kekaburan makna (misinterpretasi). Kekaburan makna ini tidak mampu mengangkat kekuatan karyanya untuk dijadikan pokok bahasan, karena ketidakjujuran sikapnya sendiri.</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Seorang penyair seperti Anwar Putra Bayu (APB) yang sudah saya kenal sejak sama-sama berkecimpung dalam dunia sastra pada awal 1980-an, seringkali memiliki ide-ide nakal yang dinamis. Karenanya, sejumlah karyanya kerapkali menggelitik minat untuk dipahami sebagai karya yang perlu dianalisis.</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Dalam puisinya berjudul <i>Pesan Terkirim </i>yang direlease tahun 2005, penyampaiannya mengacu ke<span style=""> </span>soal pengiriman SMS pada seseorang dalam lirik. Tapi dari lirik-liriknya yang nakal membuat puisi itu menjadi menarik, karena ada rasa dan ‘’rangsangan’’ gagasan. </p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Dalam konteks itu pula kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana, mengatakan keelokan puisi APB tergambar dari kebinalan ide dan keberaniannya mematok diksi aneh, sehingga menarik untuk dianalisis dan dibaca. </p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">‘’Padahal idenya sangat sederhana. Seperti puisi <i>Pesan Terkirim</i>, misalnya. Tapi karena APB cukup berpengalaman mengolah ide menjadi karya yang nakal, maka sejumlah puisinya menjadi sangat kuat dan seringkali menjadi pokok bahasan di berbagai media massa dan perguruan tinggi,’’ kata Maman. </p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Apa yang melatarbelakangi seorang APB menulis puisi <i>Pesan Terkirim</i>? Bentuk apapun ide yang muncul, maka itulah bahan yang harus digarap sekuatnya, sesuai dengan tahap kemampuan dan pengalaman sang penyair.</p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Andaikan saya mencoba mengupas puisi <i>Pesan Terkirim</i> menurut analisis yang terbatas dan sesuai dengan sudut pandang saya sendiri, itulah maksud tujuan sang penyair. Lantas, apakah hasil analisis saya tentang puisi <i>Pesan Terkirim</i> itu sesuai makna yang tepat? </p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Kritikus sastra, HB Yassin (alm) sendiri tidak berani mengatakan bahwa analisanya terhadap sebuah karya puisi merupakan analisis yang tepat. Sebab, kandungan interpretatif dalam wilayah jangkau puisi memiliki areal pemahaman yang sangat luas. Meski demikian, kedalaman dunia interpretasi pada sastra puisi, tersedia sebuah ruang bagi pembedah untuk memberikan nilai pemaknaan (apresiasi) sesuai sudut pandang yang ia kuasai. </p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Ada hal menarik yang perlu dicermati pada kandungan majas puisi <i>Pesan Terkirim</i>. Pada bait pertama terdapat empat larik, <i><span style="" lang="SV">Sesenja ini kau tiba di depan pintu, nyonya/ seraya<span style=""> </span>menggincu bibir kau pun berkata:/ Aku telah datang/ siapkah kita terbang sayang</span></i><span style="" lang="SV">? Sepintas kita disuguhi penafsiran tentang kegenitan seorang wanita yang datang kepada.. (aku lirik). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Kemudian kegenitan dan kebinalan itu berlanjut pada bait kedua, <i>Kau jilati tubuhku setelah merayu/ lalu kau raba serta mencium ubun-ubun./ Nyonya sabarlah/ Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar</i>. Pada bait kedua ini keberanian sang nyonya lirik menumpahkan segenap rasa birahinya kepada sang aku lirik benar-benar mengikat persepsi para penikmat puisi. Terutama pada larik pertama dan dua (bait kedua), gambaran yang disajikan benar-benar aduhai. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Dapat dibayangkan, ketika larik-larik itu menjelaskan ekspresi birahi sang nyonya lirik (<i>Kau jilati tubuhku setelah merayu/lalu kau raba serta mencium ubun-ubun</i>). Pada larik ketiga (bait kedua), aku lirik mencoba meredakan rangsangan birahi sang nyonya lirik, <i>Nyonya sabarlah</i>. Justru larik keempat, aku lirik menjebak persepsi kita dengan kalimat, <i>Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Dalam bait empat, APB meningkatkan persepsi yang kian menanjak, misalnya, Lewat udara bergelombang/ Sejak kau<span style=""> </span>datang/ Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Wah, dia (APB) begitu pandai menggiring<span style=""> </span>persepsi kita pada jebakan interpretatif kebirahian. Memasuki bait lima (tiga larik), persepsi birahi jadi pecah. Coba kita simak, <i>Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. </i>Apakah di bait ini ada puncak persetubuhan persepsi yang begitu binal? Pertanyaan itu kian tak terjawab setelah bait enam (tiga larik) menutup kelengkapan puisi <i>Pesan Terkirim,.. Telepon genggam masuk di kepala merusak jaringan/sinyal berbunyi: Pesan terkirim</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Benarkah puisi <i>Pesan Terkirim</i> ini bertutur tentang kebinalan seorang nyonya (lirik) yang selalu mengumbar birahinya? Bisa jadi ini sebuah jebakan. Jebakan-jebakan persepsi secara interpretatif di dalam ruang puisi ini menarik kita untuk menerobos masuk ke lorong persepsi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Maka itu, untuk mencari pintu masuk ke ruang interpretatif sebuah puisi, kita perlu membaca keseluruhan majas puisi tersebut. Dengan begitu, secara semiotik, kita dapat melakukan pendekatan terhadap kata per kata yang dipapar dalam larik-larik puitika.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Saya menangkap, ketika seorang APB mulai merelease <i>Pesan Terkirim</i>, maksud sesungguhnya bukan menuturkan ’’kebinalan birahi’’ sang nyonya lirik. Pengaburan persepsi ini merupakan jebakan puitika yang paling banyak dilakukan penyair. Kekayaan konotasi dalam ide dan gagasan karya seperti itu merupakan kreatifitas yang dinamis dari sang penyair ketika mengungkapkan keutuhan bentuk dan isi puisinya. Maka itu corak karya APB ini (<i>Pesan Terkirim</i>) perlu disimak secara hati-hati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><i>Pesan Terkirim</i>, setidaknya mengingatkan kita kepada konteks person tertulis melalui telepon genggam. Entah, hanya sang penyair sendiri yang tahu persis ketika ia mengembangkan idenya dari telepon genggam. Tapi, tentu saja maksudnya bukan itu. Gambaran estetik yang terang-terang buram dalam puisi <i>Pesan Terkirim</i>, menyirat tentang sebuah peristiwa sakarultmaut (kehadiran malaikat pencabut nyawa) pada diri sang aku lirik.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>’’Kengerian’’ peristiwa itu dijelaskan pada bait ketiga dan keempat,..<i>.Lewat udara bergelombang/Sejak kau<span style=""> </span>datang/Telah membaui kamar ini dengan merangsang</i>. Kemudian berlanjut pada tiga larik di bait keempat.. <i>Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling</i>. Pada bait selanjutnya dari puisi Pesan Terkirim itu makin memperjelas peristiwa tersebut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Coba kita simak, ..<i>Ledakan napas terhenti</i> (larik kedua bait empat) menjelaskan tentang kematian sebenarnya. Tiga larik di bait terakhir, keperkasaan malaikat maut (ajal) begitu berkuasa. Bagaimana keperkasaannya merusak segala metabolisme hidup aku lirik<span style=""> </span>yang mampu mencabut nyawa setelah seluruh jaringan tidak berfungsi..<i>sinyal berbunyi: Pesan terkirim</i>..(nyawa lepas dari jasad)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Begitu bergetarnya pengalaman religusitas yang mengerikan aku lirik ketika menghadapi sakaratulmaut memenuhi panggilan Tuhannya dalam Aras sanubari yang dekat tapi terasa jauh, jauh namun teramat dekat (..<i>jika ada yang bertanya tentang Aku</i>, <i>katakan ya Muhammad.., Aku tidak jauh dari urat lehermu..</i>.: Hadist Qudsi). <span style="font-size:78%;"><span style="font-weight: bold;">Anto Narasoma</span></span><br /></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p>Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-32423358298591705012008-08-20T02:05:00.000-07:002008-08-20T02:11:35.919-07:00Lomba Baca Puisi<p align="justify"> Senin, 4 Agustus 2008 lomba Pembacaan Puisi Tingkat SLTP dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra <a href="http://www.balaibahasasumsel.org/">Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan </a>tahun 2008 sedang berlangsung. Lomba Pembacaan Puisi ini diberi sambutan langsung oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan Bapak Drs. B. Trisman, M.Hum. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa Lomba Pembacaan Puisi Tingkat SLTP ini merupakan ajang kreatifitas dan pembelajar<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPOD9uCP4t0hnQm7gj5gnpV4-9dUEppCC1Ily-LV1LOnyRwUY9fqEPANKvXfDlp0CQqje2l7nhd7scNOkQl7Ncsgc3CuHoDJyStoNtLN7v8fF2iT-DCPjTmHxd-V16IX0HgMq2eUgDKA4/s1600-h/Baca+Puisi.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPOD9uCP4t0hnQm7gj5gnpV4-9dUEppCC1Ily-LV1LOnyRwUY9fqEPANKvXfDlp0CQqje2l7nhd7scNOkQl7Ncsgc3CuHoDJyStoNtLN7v8fF2iT-DCPjTmHxd-V16IX0HgMq2eUgDKA4/s200/Baca+Puisi.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5236524789601009570" border="0" /></a>an siswa agar mereka dapat mengapresiasikan puisi dengan sebaik-baiknya. </p><p align="justify"> Lomba ini diikuti oleh 29 peserta dari SLTP Se-Sumatera Selatan. Masing-masing peserta membacakan satu puisi wajib dan satu puisi pilihan dari empat puisi yang disediakan panitia. Peserta sangat bersemangat dan antusias sekali dalam membacakan puisi. Mereka mempunyai teknik dan apresiasi pembacaan puisi yang berbeda-beda, sehingga kita dapat melihat daya kreatifitas, pemahaman dan imajinasi mereka dalam membacakan puisi. </p><p align="justify"> Tidak kalah pentingnya juri lomba adalah juri yang sudah berpengalaman di bidang pembacaan puisi, di antaranya: Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu dan Jaid Saidi. Ketiga juri tersebut selain akan menentukan pemenang lomba dari juara I, II, III dan harapan I, II, dan III juga memberikan pengarahan tentang bagaimana cara atau teknik pembacaan puisi yang baik.</p><p align="justify"> Lomba Pembacaan Puisi Tingkat SLTP berjalan dengan lancar mulai pukul 09.00 sampai 12.00. Keputusan pemenang lomba yang telah diputuskan, langsung dibacakan oleh salah satu juri yaitu Anto Narasoma. Pemenang lomba pembacaan puisi adalah sebagai berikut:</p><p align="justify"> Juara I dengan total nilai 266, nomor undi 28 diraih oleh Wulan dari SMP Kartika 2-1. Juara II dengan total nilai 247, nomor undi 17 diraih oleh Dian Firdiyanti dari SMPN 9 Palembang. Juara III diraih oleh Bebbi Arisya dengan total nilai 243, nomor undi 5 dari SMPN 6 Kayuagung. Sedangkan untuk Juara Harapan I diraih oleh Olive Mutiara Alzena dari SMPN 9 Palembang dengan total nilai 234, nomor undi 16. Juara Harapan II diraih dengan no undi 12, total nilai 228 dengan nama Rahma Putri Utami dari SMPN 24 Palembang. Dan sebagai Juara Harapan III adalah Ria Mayanti dengan nomor undi 8, total nilai 226,5 dari SMPN 6 Kayuagung. </p><p align="justify"> Masing-masing juara akan mendapatkan hadiah berupa tropi dan uang pembinaan dari Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan yang akan diberikan pada saat acara penutupan Bulan Bahasa dan Sastra tahun 2008 pada tanggal 22 Oktober 2008. <strong><span style="font-size:78%;">(am)</span></strong></p>Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-28882029113569607532008-03-24T01:05:00.000-07:002008-12-09T06:01:39.152-08:00Saya Menulis, 1<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGKhNhZ_TSV98O_zdqlDFJEW6NC3PIJTIm3W9c-GM3-85P-FvpNYA12UADUd58kpItlKKhj1xLrxHr4WkovQ3Ysh1uSFrgMbKHCLWlbzEaBTfuBmf1N5JQ_WS-_iqh7QDJWFedEd2W4WU/s1600-h/Anto+Edit.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 177px; height: 164px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGKhNhZ_TSV98O_zdqlDFJEW6NC3PIJTIm3W9c-GM3-85P-FvpNYA12UADUd58kpItlKKhj1xLrxHr4WkovQ3Ysh1uSFrgMbKHCLWlbzEaBTfuBmf1N5JQ_WS-_iqh7QDJWFedEd2W4WU/s200/Anto+Edit.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5181218516648894642" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: left;"><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);font-size:130%;" >Dialog Keserasian Sosial dan Konflik Atambua </span><br /><span style="font-size:100%;">Oleh Anto Narasoma </span><br /><span style="font-size:100%;">PROGRAM dialog Keserasian Sosial yang dilaksanakan Dinas </span><br /><span style="font-size:100%;">Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Sumsel di Hotel Carissima pada Jumat (22/9) </span><br /><span style="font-size:100%;">lalu, menarik untuk disorot. Apalagi menghadirkan sejumlah tokoh agama berbeda </span><br /><span style="font-size:100%;">yang duduk rembuk bersama itu, baru kali pertama dilaksanakan Dinkesos Sumsel. </span><br /><span style="font-size:100%;"> Menariknya dialog Keserasian Sosial itu, karena persoalan yang </span><br /><span style="font-size:100%;">diperbincangkan berkisar pada konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah di </span><br /><span style="font-size:100%;">Indonesia. Menariknya lagi, lantaran peserta yang dilibatkan dalam dialog </span><br /><span style="font-size:100%;">Keserasian Sosial itu melibatkan unsur tokoh Islam (Majelis Ulama </span><br /><span style="font-size:100%;">Indonesia-MUI), Budha (Walubi), Kristiani (Persatuan Gereja Indonesia-PGI), </span><br /><span style="font-size:100%;">Dinas Sosial, serta PMPB se-kabupaten/kota.</span><br /><span style="font-size:100%;"> Dari runtutan dialog, ternyata semua unsur dalam kegiatan itu </span><br /><span style="font-size:100%;">menginginkan suasana damai (perdamaian). Apalagi pertikaian sosial di daerah </span><br /><span style="font-size:100%;">konflik seperti Aceh, Poso, Ambon, serta Papua, menyisakan setumpuk </span><br /><span style="font-size:100%;">keprihatinan yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. Akibat dari pertikaian </span><br /><span style="font-size:100%;">sosial yang berkepanjangan, selain harta benda ratusan nyawa manusia jadi </span><br /><span style="font-size:100%;">korban sia-sia.</span><br /><span style="font-size:100%;"> Yang jadi pertanyaan, apa penyebab terpicunya kemarahan sosial di </span><br /><span style="font-size:100%;">beberapa wilayah konflik? Pasti, jawaban umum yang sering terlontar adalah </span><br /><span style="font-size:100%;">agitasi sentimen suku atau perbedaan keyakinan (agama) yang tajam. Benarkah ?</span><br /><span style="font-size:100%;"> Logika di lapangan memang begitu. Tapi sebenarnya, jawaban di balik </span><br /><span style="font-size:100%;">konflik tak sesederhana seperti jawaban umum yang tidak memberikan jalan </span><br /><span style="font-size:100%;">keluar. Karena mata rantai persoalan sosial yang memicu konflik ditunggangi </span><br /><span style="font-size:100%;">banyak kepentingan.</span><br /><span style="font-size:100%;"> Contohnya, belum tuntas pelaksanaan dialog Keserasian Sosial versi </span><br /><span style="font-size:100%;">Dinkesos Sumsel di Hotel Carissima, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang </span><br /><span style="font-size:100%;">selama ini dikenal masyarakat kita anteng-anteng (tentram) saja, ternyata pada </span><br /><span style="font-size:100%;">Jumat lalu (22/9) kondisi sosial di sana bergolak hebat. Rumah dinas dan kantor </span><br /><span style="font-size:100%;">Kejaksaan di Atambua dirusak, serta gedung Pengdilan Negeri Maumere hangus </span><br /><span style="font-size:100%;">dibakar massa. Dalam aksi di Atambua, ribuan pendukung Tibo CS pun membobol </span><br /><span style="font-size:100%;">Rumah Tahanan (Rutan) Atambua. Akibatnya 205 tahanan dan narapidana kabur.</span><br /><span style="font-size:100%;"> Kerusuhan hebat seperti itu terpicu lantaran protes massa terhadap tiga </span><br /><span style="font-size:100%;">pidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), </span><br /><span style="font-size:100%;">dan Marianus Riwu (48). Jika kita cermati, ekses sentimen membabi buta </span><br /><span style="font-size:100%;">seperti yang dilakukan pendukung Tibo Cs itu dapat menghancurkan persatuan kita.</span><br /><span style="font-size:100%;"> Itu artinya, kita perlu menyikapi persoalan ini secara serius. Sudah mati </span><br /><span style="font-size:100%;">saja, eksistensi Fabianus Tibo CS itu dapat memicu kemarahan massa. Apalagi </span><br /><span style="font-size:100%;">ketika ia hidup secara hokum dinyatakan sebagai dalang kerusuhan Poso, tentu </span><br /><span style="font-size:100%;">keberadaannya di Poso sangat mengkhawatirkan. </span><br /><span style="font-size:100%;"> Seolah kelompok satu dengan yang lainnya selalu menciptakan akses ''balas </span><br /><span style="font-size:100%;">dendam'' yang dapat merusak hubungan kebangsaan antarkita. Jika konflik itu </span><br /><span style="font-size:100%;">berbau SARA, tentu dampaknya sangat runcing. Sekali tersentuh, akibatnya dapat </span><br /><span style="font-size:100%;">memantik api konflik di daerah lain. Kondisi inilah yang mengkhawatirkan kita. </span><br /><span style="font-size:100%;"> Padahal secara nasional, kita pun pernah menggelar dialog yang sama </span><br /><span style="font-size:100%;">(seperti dialog Keserasian Sosial) di Jakarta. Dalam dialog itu dihadirkan </span><br /><span style="font-size:100%;">tokoh-tokoh agama yang berpengaruh. Tapi pertikaian sosial di wilayah konflik </span><br /><span style="font-size:100%;">tetap saja bergejolak.</span><br /><span style="font-size:100%;"> Menurut Kasubdin Jaminan Bantuan Sosial (Jabansos) Dinkesos Sumsel yang </span><br /><span style="font-size:100%;">juga Ketua Pelaksana dialog Keserasian Sosial, Drs Ms Sumarwan MM, membangun </span><br /><span style="font-size:100%;">watak manusia tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi menyadarkan </span><br /><span style="font-size:100%;">mereka dari perbedaan keyakinan, tentu membutuhkan waktu dan kesabaran yang </span><br /><span style="font-size:100%;">tidak sebentar. </span><br /><span style="font-size:100%;"> Itu artinya, untuk membangun watak manusia yang baik dibutuhkan strategi </span><br /><span style="font-size:100%;">dan logika yang masuk akal. Dengan kata lain, konsep yang difloor tidak </span><br /><span style="font-size:100%;">melukai kepercayaan pihak manapun. Sisi inilah yang sangt sulit untuk dilempar </span><br /><span style="font-size:100%;">kepada masyarakat yang tengah dilanda konflik.</span><br /><span style="font-size:100%;"> Meski forum dialog Keserasian Sosial ini belum tentu efektif untuk </span><br /><span style="font-size:100%;">meredam konflik di berbagai daerah rawan sosial, namun paling tidak, katanya, </span><br /><span style="font-size:100%;">dialog seperti ini dapat mengurangi ketegangan sosial di masyarakat. </span><br /><span style="font-size:100%;"> ''Kita sudah terlalu lelah dihadapkan kepada berbagai pertikaian sosial </span><br /><span style="font-size:100%;">di wilayah konflik. Selain merugikan persatauan kita, coast (biaya pemulihan </span><br /><span style="font-size:100%;">sosial) yang dikeluarkan pemerintah pun begitu besar. Jika kondisi konflik </span><br /><span style="font-size:100%;">terus terjadi di berbagai daerah, maka potensi chaos dapat membahayakan </span><br /><span style="font-size:100%;">persatuan kita. Selain itu, keuangan pemerintah akan terkuras sia-sia. Padahal, </span><br /><span style="font-size:100%;">kondisi keuangan negara kita masih dalam keadaan krisis,'' ujar Sumarwan. </span><br /><span style="font-size:100%;"> Barangkali, dengan keprihatinan itulah Dinkesos Sumsel menggelar dialog </span><br /><span style="font-size:100%;">Keserasian Sosial dengan cara menghadirkan sejumlah tokoh dari berbagai agama. </span><br /><span style="font-size:100%;">Meski aktivitas itu tidak seratus persen meredakan pertikaian sosial di </span><br /><span style="font-size:100%;">berbagai daerah konflik, paling tidak, kita dapat mengetahui bahwa kehidupan </span><br /><span style="font-size:100%;">beragama yang ada di Indonesia mencintai suasana damai, serta berusaha dapat </span><br /><span style="font-size:100%;">saling membantu mengatasi berbagai kesulitan yang dirasakan bangsa ini (hasil </span><br /><span style="font-size:100%;">kesepakatan dialog Keserasian Sosial ).</span><br /><span style="font-size:100%;"> Mencermati kerusuhan di Atambua dan Maumere dalam dua hari terakhir, </span><br /><span style="font-size:100%;">benar-benar mengerikan. Keberingasan massa yang membabibuta itu telah </span><br /><span style="font-size:100%;">membutakan hati nurani mereka. Apakah dengan cara membakar PN Atambua dan </span><br /><span style="font-size:100%;">merusak rumah dinas dan kantor kejaksaan setempat dapat menghidupkan kembali </span><br /><span style="font-size:100%;">jasad terpidana mati Tibo Cs?</span><br /><span style="font-size:100%;"> Ekseskusi mati terhadap Tibo Cs merupakan wujud penegakan hukum yang </span><br /><span style="font-size:100%;">dinilai lamban. Tertundanya pelaksanaan eksekusi terhadap tiga tersangka </span><br /><span style="font-size:100%;">kerusuhan Poso, ada kesan dari masyarakat bahwa pelaksanaannya ''diintervensi'' </span><br /><span style="font-size:100%;">banyak kepentingan politis. Tapi dengan berani, penegak hukum di sana tetap </span><br /><span style="font-size:100%;">melakukan eksekusi terhadap ketiga orang tersebut. Eksekusi itu sebuah </span><br /><span style="font-size:100%;">keputusan yang hebat. Kita wajib memberi acungan jempol. Tapi tentunya kita </span><br /><span style="font-size:100%;">berharap penegakkan hukum seperti itu harus diberlakukan tanpa pandang bulu. </span><br /><span style="font-size:100%;">Artinya, dengan kelompok manapun, jika mereka melakukan pelanggaran yang </span><br /><span style="font-size:100%;">merusak tatanan sosial, mereka harus ''ditikam'' dengan mata hukum yang </span><br /><span style="font-size:100%;">tajam. Itulah sebuah sikap. Sikap tegas untuk memperlihatkan mata hukum yang </span><br /><span style="font-size:100%;">berkilat tajam, sehingga dapat menumbuhkan efek takut atau jera. Terobosan </span><br /><span style="font-size:100%;">seperti itu memang pahit. Risikonya terjadi kekerasan di Atambua dan Maumere. </span><br /><span style="font-size:100%;">Tapi kepalang tanggung, pertajam lagi mata hukum kita untuk memberangus para </span><br /><span style="font-size:100%;">perusuh yang menjadi otak dalam insiden tersebut. </span><br /><span style="font-size:100%;"> Tapi penegakkan hukumnya tidak hanya diberlakukan terhadap bromocorah </span><br /><span style="font-size:100%;">kelas keroco saja, sedangkan pejabat yang melakukan korupsi miliaran rupiah, </span><br /><span style="font-size:100%;">misalnya, bisa duduk manis di rumah, tanpa sedikitpun ada sentuhan hukum. </span><br /><span style="font-size:100%;">Keadaan ini tentu memunculkan kecemburuan sosial yang dapat menciptakan </span><br /><span style="font-size:100%;">ketidakstabilan hidup di negeri ini. </span><br /><span style="font-size:100%;"> Dengan kepastian hukum yang tegas, lambat laun akan muncul kepatuhan </span><br /><span style="font-size:100%;">masyarakat terhadap eksistensi hukum di negeri ini. Setelah itu, barulah kita </span><br /><span style="font-size:100%;">gelar berbagai dialog seperti Keserasian Sosial. Dampak baiknya tentu akan </span><br /><span style="font-size:100%;">menumbuhkan kesadaran betapa kehidupan kita yang saling berdampingan dengan </span><br /><span style="font-size:100%;">beragam perbedaan itu membutuhkan kesamaan pandang untuk membangun negeri ini.</span><br /><span style="font-size:100%;"> Di samping upaya penegakkan hukum itu kita laksanakan secara kaffah, </span><br /><span style="font-size:100%;">dialog Keserasian Sosial merupakan upaya positif untuk membangun kepribadian </span><br /><span style="font-size:100%;">rakyat Indonesia yang dulu dikenal masyarakat luar sebagai bangsa yang ramah </span><br /><span style="font-size:100%;">dan luhur budi. Sebelum Uni Sovyet bubar, Mikhail Urinov (pengamat politik dan </span><br /><span style="font-size:100%;">budaya) pernah menyatakan, bangsanya terdiri dari latar belakang budaya dan </span><br /><span style="font-size:100%;">kepercayaan. Jika kebijakan pemerintah (hukum dan tatanan sosial) tidak </span><br /><span style="font-size:100%;">menyentuh ke aspek yang adil terhadap keragaman tradisi bangsanya, persatuan </span><br /><span style="font-size:100%;">Uni Sovyet akan hancur. Ternyata sejarah membuktikan itu. </span><br /><span style="font-size:100%;"> Karena pemerintah Uni Sovyet hanya ''mengedepankan kepentingan'' Rusia </span><br /><span style="font-size:100%;">dibanding Kazakstan dan Bosnia Herzegovina, misalnya, maka ketika ada gesekan </span><br /><span style="font-size:100%;">kepentingan politik internasional, kerawanan sosial di sana menjadi bom waktu </span><br /><span style="font-size:100%;">yang mengerikan. Ini yang perlu menjadi renungan kita bersama. </span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-family: lucida grande;"><br />Penulis adalah:wartawan SKH Sumatera Ekspres</span></span><br /></div>Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-10209497948678207162008-02-22T23:45:00.000-08:002008-02-22T23:46:32.339-08:00Cerpen (9)Kim Hok Lay<br /><br /><br /><br />NAMA itu menjadi buah bibir masyarakat. Dia seorang pengusaha muda. Parlente, ganteng, dan mempunyai rasa sosial yang BEGITU tinggi di masyarakat. Tak heran, ketika di daerah ini terjadi musibah kebakaran atau kejadian apapun yang mengorbankan masyarakat, Kim Hok Lay tampil duluan dengan memberi santunan bernilai ratusan juta ke para korban. <br />Seperti terhadap korban Tsunami di Aceh, bantuan Kim benar-benar membelalakkan mata semua orang. Selain uang, Kim juga membantu masyarakat Aceh dalam bentuk natura (baju baru, obat-obatan, dan makanan) yang disuplai lewat kapal laut yang ia sewa melalui pengusaha di Medan.<br />Namun akhir-akhir ini nama itu menjadi ‘sumbang’ ketika orang-orang membaca kiprah pengusaha muda itu di koran lokal dan surat-surat kabar nasional. Pokoknya santer. Nama Kim Hok Lay disebut-sebut sebagai pembobol bank pemerintah di kota ini.<br />‘’Ah, aku tidak percaya,’’ tukas Parjan.<br />‘’Masalahnya bukan percaya atau tidak, tapi berita di koran pagi ini membeberkan tentang dia yang telah membobol Bank Cempedak senilai 125 triliun,’’ sergah Tarsak memperlihatkan koran yang dibacanya.<br />‘’Wah, aku benar-benar tidak percaya’’.<br />‘’Sama. Aku pun begitu. Tapi bukti koran ini menyebutkan tentang kiprahnya sebagai pembobol bank’’.<br />‘’Iya juga, ya’’.<br />‘’Iya. Kalau selama ini Kim Hok Lay bersikap baik kepada masyarakat, barangkali itu hanya sekadar kompensasi kepribadiannya untuk menutupi watak aslinya’’.<br />‘’Maksudmu?’’.<br />‘’Kebaikan yang diumbar hanya untuk tujuan tertentu’’.<br />‘’Hmm, masuk akal juga’’.<br />‘’Nah, akibat dari kejahatan intelektualnya, negara dirugikan 125 triliun’’.<br />‘’Jadi, bagaimana cara Kim Hok Lay melakukan pembobolan uang negara sebesar itu?’’.<br />‘’Saya pikir, sebelumnya dia mengajukan sejumlah proyek fiktif yang masuk akal kepada pihak Bank Cempedak. Iming-iming proyek besar ini dapat memberi keuntungan sangat besar, baik kepada pihak bank, maupun keuntungan bagi Kim Hok Lay sendiri. Tentu saja, untuk mencairkan uang dari bank tersebut, Kim harus bekerja sama dengan oknum orang dalam. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia dapat menggondol uang haram sebanyak itu,’’ ujar dia mencoba memprediksi persoalan itu.<br />‘’Wah, benar-benar luar biasa. Lantas, sekarang dia kabur?’’.<br />‘’Maka itu, kalau ingin tahu kasusnya secara menyeluruh, kau mesti baca koran. Jangan cuma mendengar cerita dari orang lain. Akibatnya bisa dibodoh-bodohi orang lain’’.<br /><br /> <br /> ****<br /><br />Kontroversi nama baik Kim Hok Lay menjadi perbincangan yang tidak pernah putus di masyarakat. Di satu sisi, masyarakat yang pernah merasakan bantuan Kim, akan mati-matian membela pengusaha muda itu. Tapi bagi kalangan lain, Kim dianggap sebagai penjahat (koruptor) kelas kakap yang pantas dijebloskan ke penjara.<br />‘’Dia pantas dikerangkeng di Nusa Kambangan. Gara-gara si pembobol bank, rakyat jadi sengsara,’’ ujar seseorang dengan emosi tinggi.<br />‘’Weh, berita itu kan belum final. Artinya, apakah dia itu koruptor atau bukan, yang menentukan secara yuridis adalah pengadilan. Kalau Pak Kim sudah diadili, baru dapat dikatakan bahwa dia itu koruptor -- pembobol Bank Cempedak,’’ jawab yang lainnya.<br />‘’Lha, seorang wartawan, menulis berita sesuai fakta dan data yang akurat. Mereka investigasi ke lapangan, dengan mewawancarai pihak-pihak terkait dalam persoalan itu. Jadi kalau sementara orang menuding Kim Hok Lay sebagai koruptor kakap, itulah kabar terbaru yang patut kita benarkan untuk saat ini’’.<br />‘’Tapi yang memutuskan bersalah atau tidak, itu hak pengadilan kan’’.<br />‘’Tidak salah. Di negeri ini asas praduga tak bersalah kita junjung tinggi. Tapi dari data dan persoalan yang berkembang, ada dugaan Kim Hok Lay dapat dijadikan tersangka dalam kasus tersebut. Apalagi dikabarkan dia menghilang tanpa diketahui kemana ia pergi. Ingat kasus Adrian Woworuntu?’’.<br />‘’Iya’’.<br />‘’Nah, tokoh yang satu ini pernah dinyatakan kabur ke Amerika setelah didakwa sebagai pembobol Bank BNI. Kalau dia tidak bersalah, mengapa harus lari dari kenyataan itu? Begitu juga dengan Kim Hok Lay. Kalau dia tidak merasa membobol Bank Cempedak, mengapa harus menghilang? Mestinya ia harus mengklarifikasi nama baiknya ke Polda setelah tindak kejahatannya dibeber di surat-surat kabar’’.<br />‘’Lantas?’’<br />‘’Ya, dengan menghilangnya Kim, dugaan orang pasti mengarah ke dia. Meski belum pasti, tapi orang-orang pasti memvonis dia sebagai pembobol uang rakyat. Begitu kan?’’.<br />‘’He’eh’’.<br />‘’Nah, itulah hukum sebab akibat. Kalau yang diperbuat itu nilainya baik, maka imbasnya pun akan baik. Tapi kalau buruk, maka dampaknya pasti menyengsarakan orang banyak. Begitu pun kasus Kim Hok Lay’’.<br />Yang lain hanya diam. Mereka cuma menganggukkan kepala tanpa komentar apa-apa. Bahkan, untuk memahami kasus Kim Hok Lay, mereka harus membaca koran itu berkali-kali.<br /><br /> ****<br />Setelah menonton berita siang di televisi swasta, perasaan Gendon terguncang. Ia begitu gelisah. Karena Kim Hok Lay --big boss PT Siang Malam-- dinyatakan menghilang terkait kasus pembobolan Bank Cempedak. <br />PT Siang Malam adalah perusahaan kayu lapis tempat Gendon bekerja. Apakah setelah Kim menghilang perusahaannya akan tutup? Itulah yang menggelisahkan perasaan anak muda itu. <br />‘’Mak, Pak Kim menghilang. Ia dinyatakan terlibat dalam kasus pembobolan Bank Cempedak,’’ kata Gendon.<br />‘’Lha, jadi bagaimana, Ndon?’’ tanya Mak Katiyem.<br />‘’Saya ndak tau, Mak. Saya khawatir perusahaan tempat saya bekerja akan tutup kalau Pak Kim tidak ada,’’ jawab Gendon.<br />Mak Katiyem tak dapat bicara apa-apa mendengar informasi anaknya. Pikirannya menerawang jauh ketika pertama kali ia mengenal Kim Hok Lay. <br />Dua tahun lalu, pada saat Mak Katiyem berusaha meminjam uang kepada seseorang, secara kebetulan ia ketemu dengan Kim Hok Lay.<br />‘’Untuk apa Mak meminjam ‘uang panas’ sebesar Rp 4 juta?’’ tanya Kim Hok Lay ketika itu.<br />‘’Saya mau membiayai pemagaran tanah kosong peninggalan mediang suami saya,’’ jawab Mak Katiyem.<br />‘’Luasnya?’’<br /> ‘’Kalau ndak salah, sekitar lima hektare’’.<br />‘’Wah, uang segitu tidak cukup untuk membangun pagar tanah seluas itu. Lagi pula, Mak tahu nggak orang yang mau dipinjami uangnya itu seorang lintah darat?’’<br />‘’Nggak, tuh’’.<br />‘’Kalau Mak jadi pinjam duit ke dia, nanti susah sendiri’’.<br />‘’Lho, kenapa?’’<br />‘’Yah, selain bunganya besar, pinjaman dasarnya tidak pernah habis-habis, meskipun sudah bertahun-tahun Mak bayar secara mencicil,’’ kata Kim Hok Lay menghantu-hantui orang tua itu.<br />‘’Jadi bagaimana, ya?’’<br />‘’Begini. Mak punya anak laki-laki dewasa yang belum bekerja?’’<br /> ‘’Ya ada. Anakku hanya semata wayang. Ia sudah tiga tahun tamat ES-EM-A. Dan, sampai sekarang dia belum bekerja. Dulu, sebelum meninggal, suami saya anggota veteran. Harta yang ditinggalnya cuma tanah itulah,’’ beber Mak Katiyem.<br />‘’Di mana lokasi tanah itu, Mak?’’<br />‘’Di Jalan Batu Megalit’’.<br />Wah, ternyata tanah orang tua ini berada di kawasan elit. Kim Hok Lay tersenyum penuh arti.<br />‘’Mak mau mendengar saran saya?’’<br />‘’Apa itu?’’<br />‘’Begini, mak. Saya ini seorang pengusaha kayu lapis. Saya perlu tambahan modal’’.<br />‘’Lantas, apa hubungannya dengan saya? ‘’<br />‘’Anak mak kan belum bekerja’’.<br />‘’He’eh’’.<br />‘’Saya mau ngajak dia bekerja di perusahaan saya. Bila perlu saya posisikan dia sebagai kepala gudang dengan gaji yang lumayan. Bagaimana?’’.<br />‘’Ya, saya setuju saja,’’ jawab Mak Katiyem dengan mata berbinar.<br />‘’Tapi saya juga perlu bantuan Mak’’.<br />‘’Apa yang dapat saya bantu?’’<br />‘’Saya perlu tambahan modal. Nah, bagaimana kalau sertifikat tanah Mak kita agunkan ke bank. Uangnya untuk memagar tanah Mak, selebihnya kita modalkan buat usaha kayu lapis. Selain anak Mak dapat bekerja di perusahaan saya, Mak pun akan saya bagi bonus tahunan jika laba perusahaan kita diperoleh sesuai target. Mak setuju?’’<br />Mak Katiyem tidak buru-buru menjawab. Tapi karena tawaran Kim Hok Lay begitu menjanjikan, akhirnya Mak Katiyem menganggukkan kepala.<br />‘’Kalau Mak setuju, besok sertifikatnya segera kita agunkan. Dan, mulai hari ini anak Mak saya catat sebagai karyawan PT Siang Malam,’’ ujar Kim Hok Lay.<br />Sampai di situ lamunan Mak Katiyem buyar. Ia dan anaknya Gendon begitu kaget mendengar di halaman rumahnya datang beberapa orang berpakaian seragam polisi. Selain itu, datang pula satu regu petugas polisi pamongpraja, dua tentara, lima petugas Bank Cempedak, dan dua orang juru sita dari Pengadilan. Sedangkan di pinggir Jalan Batu Megalit terdapat satu unit ekskavator, mobil polisi, mobil bank, dan kendaraan petugas transtib.<br />‘’Lha, ada apa bapak-bapak ini datang kemari?’’ tanya Mak Katiyem seperti orang bodoh. Alisnya yang mulai putih itu bertaut.<br />‘’Kami petugas Bank Cempedak. Kedatangan kami ke sini akan menyita tanah serta bangunan yang ibu tempati,’’ jawab petugas bank dengan wajah angker.<br />‘’Lho, inikan tanah dan rumah saya. Kenapa saudara mau menyita harta benda kami?’’.<br />‘’Sekarang sudah menjadi milik Bank Cempedak’’.<br />‘’Kok bisa begitu. Apa dasar hukumnya?’’.<br />‘’Ya. Dua tahun lalu, ibu penah meminjam uang kepada bank kami dengan agunan sertifikat tanah ini. Tapi karena ibu tidak pernah melunasi pembayaran pinjaman serta bunganya selama transaksi dilakukan, maka dengan terpaksa kami harus menyita tanah dan bangunan rumah ini,’’ kata petugas bank itu.<br />‘’Lho, yang meminjam uang di bank itukan Kim Hok Lay. Bukannya saya. Lantas mengapa saya yang harus bertanggung jawab mengenai itu?’’.<br />‘’Dalam berkas pinjaman di bank kami, Sdr Kim Hok Lay dinyatakan sebagai perantara. Maka itu sanksi dan tanggung jawabnya langsung ke ibu sendiri sebagai peminjam. Karena di surat transaksi peminjaman itu dibubuhi tanda tangan ibu’’. <br />‘’Ah, ndak bisa. Saya tidak pernah dan tak merasa menandatangani surat itu. Apalagi menerima uang pinjaman dari bank. Ini gila. Pokoknya, sampai mati pun saya tidak akan keluar dari rumah ini. Saya akan pertahankan tanah dan rumah warisan mendiang suami saya. Apalagi sebelum itu saya tidak pernah diberi tahu oleh pihak bank mengenai persoalan sebenarnya’’.<br />‘’Sudah. Untuk ibu ketahui, sudah tiga kali surat peringatan tentang pinjaman yang belum dilunasi itu dilayangkan lewat Sdr Kim Hok Lay. Bahkan, perintah penyitaan pun sudah kami beritahukan minggu pekan lalu melalui Sdr Kim. Ini ada surat tindasan mengenai itu,’’ ujar petugas bank tersebut sembari memperlihatkan berkas utang-piutang dan eksekusi penyitaan dari map plastik yang ia kempit di ketiaknya.<br />‘’Weeh, taik. Dasar hukum macam apa itu. Itu namanya tidak adil. Terserah. Hidup atau mati, saya akan tetap bertahan di sini. Jika bapak-bapak berani mengusik satu patahan jarum pun yang ada di sini, jangan salahkan saya jika berbuat kasar kepada anda sekalian,’’ begitu ancam Mak Katiyem dengan nada tinggi. Orang tua itu mengambil pacul yang terletak di kiri pintu masuk rumahnya.<br />Melihat itu, seorang polisi maju ke depan. ‘’Ibu, sebelum kami lakukan dengan cara paksa, sebaiknya ibu berkemas-kemas dan keluar secara baik-baik dari bangunan ini. Kalau ibu tidak mematuhinya, kami terpaksa bertindak tegas,’’ hardik polisi itu dengan mimik garang.<br />Melihat kondisi ibunya dalam tekanan petugas, Gendon marah. Ia masuk ke rumahnya dan keluar dengan sebilah parang terhunus. Dengan cara membabi-buta Gendon menyabetkan parang itu ke arah petugas. Karena merasa terancam, petugas itu mencabut pistol dan segera membidikkan ke kaki kiri pemuda itu. Letusan senjata api membelah udara. Gendon tersungkur dan kakinya berlumuran darah. Parang berkilat yang ada di tangannya direbut petugas.<br />Melihat anaknya jatuh berlumuran darah, Mak Katiyem menjerit histeris lalu terkulai ke bumi. Orang tua itu pingsan di pelukan petugas. Sementara ekskavator yang ‘bertangan besi’ segera dioperasikan untuk merobohkan bangunan rumah Mak Katiyem. Di sisi lain, dengan tangan diborgol, Gendon segera dilarikan ke rumah sakit.<br />Sementara Mak Katiyem belum siuman, rumah tempat tinggalnya sudah rata dengan tanah. Sedangkan perabot rumah tangga dan sejumlah penghargaan berupa medali dan piagam milik mendiang suaminya sebagai pejuang kemerdekaan, berserak tanpa daya. Papan penyegelan pun segera ditancapkan di atas tanah itu. <br /><br />Catatan: Nama tokoh dan cerita ini hanya rekaan semata.Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-66628274197614270612008-02-22T23:44:00.000-08:002008-02-22T23:45:23.555-08:00Cerpen (8)Racun <br /><br /><br /><br />Sejak menderita disentri, bobot tubuh Soleh merosot tajam. Wajahnya pucat dan menyiratkan penderitaan yang disembunyikan. Kalau bisa, orang lain, termasuk istrinya sendiri, tak perlu tahu mengenai penyakit yang ia derita. Biarlah ia sendiri yang menanggung semua penderitaannya. Kalau anak dan istrinya tahu mengenai penyakitnya, mereka bakal ikut-ikutan susah. Apalagi sepeser pun ia sudah tidak punya lagi uang simpanan<br />Tapi dengan sikapnya yang seperti itu, istrinya jadi tidak ambil pusing. Bahkan, tuntutan kebutuhan rumah tangganya pun kian membebani pikiran dan perasaannya. Akibatnya, kondisi kesehatan Soleh kian terpuruk.<br />Akibat dari suasana yang tidak bersahabat seperti itu, kondisi kesehatannya kian terpuruk. Setiap kali buang air, kotorannya berbaur dengan cairan darah berlendir yang begitu parah. Ketika jongkok di toilet, perihnya bukan main. Kalau bisa menangis, Soleh ingin meraung-raung mengungkapkan penderitaannya. Tapi kepada siapa? <br />Buktinya, sudah genap tiga bulan ia mengidap disentri, ia merasa, tak seorang pun yang peduli dan menyatakan prihatin atas nasibnya. Justru, dengan keadaan seperti itu, istrinya menganggap Soleh pemalas dan sudah tidak peduli lagi dengan tanggung jawabnya untuk menafkahi dan membiayai kebutuhan keluarga. Dampak dari tekanan psikis yang dideritanya, hingga sekarang disentrinya tak kunjung sembuh, meski sudah beberapa kali digempur dengan obat dokter dan minum ramuan tradisional. <br />Padahal dia sudah beberapa kali pergi ke dokter. Dan, sejumlah resep dengan harga obat yang tak masuk akal pun, telah menguras isi sakunya. Tapi semua itu seolah sia-sia saja. Penyakit berak darah itu masih betah mencengkeram kesehatannya. Apakah dia akan mati karena penyakit itu?<br />‘’Ya Allah, jangan Kau siksa aku lebih lama lagi. Aku sudah tidak tahan dengan penyakit ini. Kalau Engkau ingin mengambil nyawaku, ambillah. Aku ikhlas, Tuhanku,’’ keluhnya di ranjang dengan perasaan putus asa. Airmatanya kembali meleleh ke pipi. Entah, sudah berapa kali ia menangis karena menanggung rasa perih yang melilit perut dan duburnya.<br />Akibat menebus resep obat dari dokter itulah modal usahanya amblas. Ia sudah tidak punya modal lagi untuk mengambil barang dagangan (ikan laut) dari agen yang biasa memberinya peluang berusaha. Sedangkan lima koli ikan segar (sekitar 300 Kg) yang diambilnya dua bulan lalu pun, belum ia setor ke agen.<br />Dengan kondisi seperti itu, istri dan anaknya benar-benar menderita dan merasa diabaikan laki-laki ini. Bahkan, Rodiah (istrinya) menggerutu berkali-kali, karena anaknya minta uang SPP. Kemarin, dia disuruh pulang oleh guru kelasnya lantaran sudah dua bulan belum membayar uang sekolah.<br />‘’Titin malu sekali, Mak. Soal uang SPP yang belum dibayar, membuat teman-teman di sekolah selalu mengolok-olok Titin dengan kata-kata yang menyakitkan hati, Mak,’’ ujar anaknya pulang dari sekolah dengan airmata meleleh ke pipi.<br />Tak tahan dengan kondisi seperti itu, Rodiah harus pulang ke rumah orang tuanya. Ia mengajak kedua anaknya. ‘’Daripada melok Kak Soleh yang berbulan-bulan seperti ini, lebih baik aku pulang dulu ke orangtuaku. Aku stres dengan keadaan begini. Apakah kita akan terus-terusan menderita seperti ini, Kak?’’ begitu istrinya menggerutu dengan airmata bercucuran. Ia segera mengemasi baju dalam buntalan kain sarung. <br />‘’Terserah, Kak Soleh mau apa. Untuk sementara, aku dan anak-anak akan pulang dulu ke rumah Abah’’. Rodiah bergegas ke luar rumah. Sementara Soleh bungkam dengan roman wajah tak karuan. Ia tidak mampu mencegah kepergian istrinya. Ia sadar bahwa sudah dua bulan ia tidak dagang ikan di pasar 16 Ilir. Selain sakit, ia sudah tidak punya modal lagi. Sedangkan utangnya di agen sudah melilit pinggang. <br />Dengan kondisi sesulit itu, apakah ia dapat memberi nafkah untuk dua anak dan istrinya? Selain itu, kontrakan rumahnya untuk tahun ini belum dibayar. Pemilik rumah sudah menanyakan itu dengan kata-kata ketus dan tak berperasaan sama sekali.<br />Ya Allah, betapa beratnya cobaan ini. Mau tak mau, Soleh hanya bisa menangis tanpa suara di tempat tidurnya sendirian. Tanpa istri dan anak-anaknya di rumah, perasaannya begitu rawan. Kesepian begitu panjang dan menyiksa. Kalau begini ia bisa gila. Oh Tuhan..<br />Setelah dua jam istrinya pergi, Soleh bangkit dari tempat tidur. Biasanya ia akan buru-buru ke toilet. Tapi ternyata tidak. Perutnya ia ikat dengan kain sampang putih untuk mengurangi lilitan rasa sakitnya. Dengan berjalan gontai ia keluar dan mengunci pintu depan.<br />‘’Mau kemana Dik Soleh. Sudah beberapa hari terakhir saya tidak melihat anda. Sibuk?’’ tanya ustadz Rahmat, tetangga sebelah rumahnya. Soleh agak kaget mendengar sapaan itu.<br />‘’Oo, Pak Ustadz. Saya mau ke pasar, Pak,’’ jawab Soleh sembari menyembunyikan rasa sakit.<br />Meski begitu, Ustadz Rahmat bisa memmbaca keadaan laki-laki ini. Selain pucat, kondisi Soleh tidak seperti biasanya. Ia kelihatan kurus, kuyu, dan lesu. <br />‘’Dik Soleh sakit?’’.<br />‘’Tidak, Pak. Saya hanya kurang tidur,’’ ujar Soleh mencoba berbohong.<br />Ustadz bersorban putih ini tersenyum. Ia bisa membaca bagaimana stamina tetangganya ini. ‘’Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu. Nanti, kalau Dik Soleh perlu bantuan, jangan sungkan-sungkan. Bicara saja ke saya, ya. Saya mau buru-buru ke Masjid Al Jannah, mau ngisi ceramah di sana. Saya doakan agar Dik Soleh selalu sehat-sehat saja. Assalamualaikum,’’ tukas Ustadz Rahmat tersenyum. Ia berjalan lain arah dengan langkah Soleh.<br />‘’Terima kasih, Pak Ustadz’’. Soleh segara bergegas ke Pasar 16 Ilir. Ia ingin melihat keadaan pasar, apakah ia bisa mencarter sisa dagangan kawan-kawannya untuk dijual kembali. ‘’Dapat untung sedikit tak apalah. Yang penting aku harus mencoba berusaha dari bawah lagi. Kalau bisa istri dan anak-anakku pulang lagi ke rumah,’’ begitu tekadnya.<br /><br /> ****<br /><br />Lama juga Soleh berdiri di atas jajaran kotak iwak (peti es) tempat pedagang menyimpan ikan laut dagangannya. Jika disimpan di peti itu, kesegaran ikan laut dagangan mereka akan terjaga dan dapat bertahan hingga beberapa hari.<br />Hidung Soleh sudah terbiasa dengan aroma pasar yang busuk menyengat. Bagi dia, aroma itu tak lebih dari ‘’keharuman syurga’’ yang memberi berkah bagi kehidupan keluarganya.<br />Tapi hari ini barang dagangan sedang kosong. Peti-peti es milik pedagang ikan di sana terlihat melompong. <br />‘’Sedang angin barat. Jadi nelayan tak berani melaut. Makanya, barang dagangan hari ini kosong, Leh. Lagi pula ada agen yang punya simpanan beberapa kilogram ikan tenggiri, mahalnya minta ampun,’’ kata Ujang Ompong ketika melihat Soleh berdiri di atas peti es ikan miliknya.<br />‘’Pantas saja tak ada teman-teman lainnya’’.<br />‘’Yah, mereka sudah pulang sejak tadi. Kok kau kelihan kurus dan pucat. Kau sakit?<br />‘’Iya, Jang. Sudah tiga bulan ini aku kena disentri’’.<br />‘’Pantas saja dalam beberapa minggu terakhir aku tidak melihat kamu. Tidak ke dokter?’’.<br />‘’Wah, aku sudah tiga kali berobat ke dokter, Jang. Bahkan, segala ramuan tradisional sudah aku minum, tapi belum sembuh juga’’.<br />Ujang mengangguk sembari mengingat-ingat ramuan apa yang pernah ia ketahui untuk membantu Soleh. ‘’Oo, aku baru ingat. Coba kau minum air sagu dicampur gula merah. Obat tradisionalini bagus kau minum setiap pagi,’’ tukas Ujang dengan mimik serius.<br />Meski menganggukan kepala, tapi Soleh tak bereaksi dengan anjuaran temannya. Tampaknya ia sudah tidak berminat lagi merespons obat tradisional seperti itu, karena sudah banyak anjuran serupa yang ia turuti, tapi penyakitnya tak kunjung sembuh juga. <br />Sementara Ujang asyik melayani pembeli ikan, Soleh kembali hanyut dengan lamunannya. Ia kecewa terhadap nasib buruknya. Di saat kondisinya sakit seperti ini, barang dagangan sedang kosong. Karena semangat untuk mengais rejeki itulah rasa perih yang menghentak sejak tadi tak ia hiraukan. Hanya dari gambaran raut wajahnya saja rasa sakit itu ia tahan-tahan. Harapannya, kalau Ujang masih banyak stok barang ia akan mencarternya. Siapa tahu dengan cara itu ia memperoleh sedikit untung untuk mengatasi kesulitannya. Ternyata harapan itu sia-sia setelah ia melihat di pasar, barang dagang temannya sedang kosong.<br />Saat kondisinya sedang labil, tiba-tiba seorang pejual racun tikus botolan lewat. ‘’Racun, racun. Racun tikus, nyamuk, dan kepinding (kutu busuk), dalam sekejap akan binasa,’’ seru penjual racun tikus itu.<br />‘’Mang, berapa sebotol racun tikus ini?’’ tanya Soleh.<br />‘’Wah, murah saja, Pak. Hanya Rp 2.000. Tapi kualitasnya ampuh sekali. Anda boleh coba,’’ kata penjual racun tikus itu. Maksud ‘’coba’’ menurut penjual itu adalah menjajalnya untuk membunuh tikus.<br />Soleh mengamati botol racun tikus tersebut. Lama sekali ia menatap cairan hitam kecoklatan dalam botol itu. Hm, kemasannya tidak ditutup lapisan seng. Pada mulutnya hanya tertutup dengan sempalan gabus diselimuti lapisan lilin merah. <br />‘’Lho, bapak jadi membeli racun ini?’’ penjual racun itu bertanya. ‘’Saya akan mengedarkan dagangan ini ke tempat lain,’’ ujarnya.<br /> Soleh tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tapi senyumnya sulit ditafsir. Tiba-tiba, tanpa ekspresi Soleh menenggak cairan berbahaya dari botol tersebut. Penjual racun itu kaget. Ia panik setengah mati melihat Soleh minum racun dagangannya.<br />‘’Tolong, bapak ini minum racun saya,’’ begitu penjual racun itu berteriak panik. Ia segera meninggalkan barang dagangannya dan langsung lari ke pos polisi di muara Pasar 16 Ilir. <br />Serta-merta, para pedagang di sekitar kejadian heboh melihat tubuh Soleh yang tergolek di atas peti es ikan laut milik Ujang Ompong. Tubuhnya berkelojotan. Dari mulutnya keluar busa. Sedangkan botol racun itu jatuh ke lantai pasar dan pecah berhamburan bersama cairan racun tikus yang menebarkan aroma menyengat.<br />Tak lama kemudian polisi dan penjual racun itu tiba di tempat kejadian. Tubuh Soleh diangkut ke mobil dinas patroli polisi dan segera dilarikan ke rumah sakit.<br />Dalam kondisi hiruk-pikuk begitu, Soleh membuka matanya. Ia heran, tubuhnya begitu ringan. Seluruh persediannya seolah diselusupi gas helium yang ringan dan dapat menerbangkannya ke udara.<br />Lambat-lambat tubuhnya yang ringan membumbung dari mobil patroli polisi yang meraung-raung membawa dirinya. Ia begitu kaget. Dari ketinggian, tatkala memandang ke bawah, ia melihat tubuhnya tergeletak di bangku belakang dengan alas kertas koran. Ia menjerit sekuat-kuatnya ke arah dua polisi yang duduk di sebelah tubuhnya. Tapi sia-sia.<br />Bahkan, tubuhnya kian jauh membumbung, dan mobil patroli polisi itu semakin mengecil dari pandangannya dan akhirnya hilang di balik gedung sebuah hotel. Sedangkan di udara lepas, Soleh menangis. Ia rindu keadaan sehari-hari. Kagen dengan istri dan dua anaknya.<br />Dalam pengembarannya di negeri kamuflase, ia banyak melihat hal-hal yang menggambarkan kebaikan dan keburukan. Ia ngeri menghadapi itu. Apakah ia telah mati? Apa yang menyebabkan dia jadi seperti sekarang? Mengingat itu, ia menangis meraung-raung seperti anak kecil, agar suaranya didengar semua orang, terutama didengar istri dan dua anaknya. Tapi tak ada gunanya. Ia tetap berada dalam suasana asing yang menyekapnya dalam kesendirian.<br />Entah, sudah beberapa hari ia tersekap di dunia kamuflase. Yang jelas, ia berada dalam kondisi yang tidak ada daya sama sekali. Padahal, untuk membebaskan diri dari cengkaraman itu, semua kekuatannya sudah ia kerahkan. Tapi sia-sia. Ia pun pasrah.<br />Saat kerawanan itu memcapai puncaknya, Soleh kaget setengah mati. Suara istrinya yang tengah membacakan surat Yassien itu secara tiba-tiba membuka pintu kesendiriannya. Dengan kecepatan tak terhingga, tubuhnya jatuh dari ketinggian dan menimpa jasad yang mirip dirinya. Soleh menjerit. Orang-orang di sekitarnya begitu bersyukur.<br />‘’Alhamdulilah. Kesadaran Pak Soleh sudah kembali, Bu,’’ kata dokter sembari melihat monitor detak jantung dan memperlancar tetesan cairan di selang infus. <br />Istri Soleh bersyukur. Ia memanjatkan doa bagi kesembuhan suaminya. Seminggu diopname di rumah sakit, akhirnya kondisi Soleh pun pulih setelah mengalami masa kritis selama tiga hari. Selama tidak sadarkan diri, keluarganya sudah ikhlas jika bapak dua anak ini dipanggil Sang Pencipta. <br />Bahkan, lantunan surat Yassin di rumahnya sudah dibacakan istri dan orang kampungnya berkali-kali. Ternyata, ajal belum menjemputnya. Setelah kondisinya pulih, disentrinya pun sirna. (*)Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-39945089497182343192008-02-22T23:43:00.000-08:002008-02-22T23:44:27.817-08:00Cerpen (7)Tamu Malam Hari<br /><br /><br /><br />Sejak harga BBM naik, dagangan Bahar benar-benar anjlok. Omset dagangannya yang semula diperoleh Rp 1.000. 000 sehari, kini hanya Rp 250 ribu saja. Ah, pendapatan itu tak sesuai dengan ongkos operasional sehari-hari.<br />Bahar benar-benar bingung. Sudah banyak cara untuk mempertahankan usahanya agar omset dagangannya tetap stabil, tapi upaya itu sia-sia. Sebulan setelah kenaikan BBM, usahanya ambruk. Padahal bulan depan istrinya akan melahirkan anak kedua. <br />‘’Dimana aku harus mencari ongkos bersalin istriku? Ah, gawat sekali,’’ begitu hati Bahar berbisik. Perasaannya begitu gundah. Di teras rumahnya, ia kelihatan gelisah. Tak terasa, sudah tiga batang rokok yang diisap tanpa ia nikmati sama sekali.<br />Lampu petromak yang sejak magrib tadi ia pompa, cahanya mulai redup. Bahkan, tiupan angin dari pintu depan mulai mengganggu cahaya penerangan lampu tradisional itu.<br />Ia segara menurunkan petromak dari gantungan di ruang tamu. Kemudian ia pompa lagi, sehingga cahanya memancar ke sekitar ruang tamu serta menerobos ke pintu depan yang belum ia tutup. Bahar melihat ke arlojinya. Hm, hari sudah pukul 9.00 malam. Sedangkan lepas salat Isya tadi, istrinya sudah pulas bersama Nurhayati –-anak pertamanya-- yang kini sudah berusia lima tahun.<br />Bahar duduk di beranda depan. Rumah panggung yang terbuat dari kayu beratap daun rumbia itu merupakan satu-satunya harta warisan ayahnya. Seperti rumah (gubuk) kampung lazimnya, di beranda depan terdapat tempat duduk dari bambu. <br />Di bangku panjang itulah Bahar dan kerabat kampung seringkali mendiskusikan segala persoalan warga. Tapi tak seperti biasanya, ternyata malam ini benar-benar sepi. Ia tak melihat seorang pun yang lewat di depan rumahnya. Padahal Bahar sudah berjam-jam duduk di bangku beranda. <br />Wah, malam ini seperti sedang ada pesta lelembut (setan dan jin) yang membuat semua orang takut ke luar rumah. Sepi dan membuat bulu roma berdiri. Aneh. Ada apa ya? Wah, keadaan ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Meski begitu, ia tidak merasa takut sedikit pun.<br />Selagi Bahar tenggelam dalam pikirannya, dari balik gerombol semak belukar di bawah pohon kelapa yang tumbuh di halaman rumah, seseorang menyapanya.<br />‘’Assalamualaikum,’’ sapa orang itu dari sekitar sepuluh meter di halaman depan. Bahar tidak segera membalas salam orang itu. Dengan perasaan tak menentu ia mencermati laki-laki yang berjalan mengarah ke rumahnya. Wah, siapa itu? Pakaiannya parlente sekali. Kelihatannya ia orang kota dan bukan penduduk kampung ini. Lelaki itu kembali menyampaikan salam kepada Bahar.<br />‘’Wa’alaikum salam,’’ jawab Bahar.<br /> ‘’Kau masih ingat aku, Mas Bahar?’’ tanya orang itu setelah tiba di bawah tangga. Bahar kembali mencermati sosok orang itu lebih dalam. Lama sekali ia memandang tajam ke sosok pendatang yang belum ia ketahui identitasnya. Orang ini berpakaian rapih sekali. Ia pasti orang kaya yang datang dari kota. Bersepatu kulit warna cokelat berkilat dan menenteng kopor echolac hitam. Setelah samar-samar mengingat figur orang itu, Bahar kaget dan mengatakan,’’Lho, kalau tidak salah, bukankah anda ini Mas Hasan anaknya Mang Jemain?’’.<br />Lelaki itu tertawa ngakak. Tanpa disuruh naik, ia segera meniti tangga dan menyalami serta memeluk tubuh Bahar yang kerempeng. Aroma tubuh Hasan begitu harum. Ia pasti memakai parfum melati, karena wanginya begitu lembut dan harum seperti ramuan orang mati. Bahar sempat merinding. <br />Wah, dari penampilannya saja Bahar dapat memastikan bahwa teman lamannya ini sedang dalam kondisi yang bagus. Ia pasti bekerja di sebuah perusahaan yang memberi gaji besar. Ia yakin, Hasan tentu sedang memiliki banyak uang. Tapi Bahar heran, dari dulu perangai Hasan tidak berubah. Ia sangat periang dan baik hati. Suara ketawanya yang lantang membuat istri Bahar terjaga dari tidurnya.<br />‘’Ada tamu darimana Mas,’’ tanya Mbak Narti keluar dari kamar tidur. Ia melangkah ke beranda, sembari mengucek-ucek matanya.<br />‘’Wah. Dik Narti, coba kau amati. Siapa tuan besar ini. Ayo, coba tebak,’’ kata Bahar dengan senyum terkembang. <br />Lama sekali Narti memandangi Hasan. ‘’Lho, inikan Dik Hasan. Wah..wah, ngganteng sekali. Perasaanku sudah lima tahun kita tidak ketemu, eh, datang ke sini sudah jadi boss,’’ tukas Mbak Narti menyambut salam tangan Hasan.<br />‘’Apa kabar, Mbak?’’ tanya Hasan.<br />‘’Kalau soal kabar sih, baik-baik saja. Tapi sejak harga BBM naik, usaha Mas Bahar gulung tikar. Keadaan kami sedang susah, Dik. Padahal, bulan depan nanti Mbak mau melahirkan anak kedua. Yah, nasib keponakanmu yang kukandung ini tampaknya kurang beruntung,’’ jawab Mbak Narti.<br />‘’Itulah risiko hidup di zaman gila seperti sekarang, Mbak. Cobaan hidup datang bertubi-tubi. Musibah terjadi di mana-mana. Namun terlepas dari semua itu, tiap orang pasti mengalami cobaan dari-Nya. Yang penting kita sabar, karena Tuhan tidak akan lalai memberi rizki kepada setiap orang yang selalu berusaha sebisanya,’’ ujar Hasan.<br />‘’Caramu berpikir jauh lebih dewasa ketimbang lima tahun lalu. Syukurlah. Dik Hasan tampaknya berhasil mengatasi sulitnya kehidupan ini. Coba bantu Mas Bahar, ya. Kau bekerja di mana, Dik?’’.<br />‘’Saya kebetulan dipercaya menjadi pengawas di sebuah perusahaan konstruksi. Kebetulan saat ini perusahan kami sedang mengerjakan proyek jalan di pedalaman kabupaten ini, Mbak. Kalau Mas Bahar bersedia ikut bekerja di perusahaan kami, saya akan daftarkan dia sebagai pekerja harian. Siapa tahu, nantinya ia bisa diangkat sebagai karyawan tetap. Kami butuh banyak tenaga kerja, Mbak’’.<br />Mendengar penawaran itu, Bahar segera menyambutnya. ‘’Wah, kalau memang ada lowongan, tolong ajak aku, San,’’ Bahar memohon.<br />‘’Tapi Mas Bahar harus ikut ke proyek di pedalaman kabupaten ini. Bagaimana, apa anda bersedia?’’.<br />‘’Lho, kenapa tidak. Kalau memang harus ke sana, aku ikut kamu,’’ tukas Bahar bersemangat.<br />‘’Ayo. Segeralah berkemas. Siapkan pakaian ganti beberapa stel, nanti di sana Mas Bahar akan diberi busana trainingspack (pakaian kerja lapangan),’’ kata Hasan.<br />‘’Hah, sekarang?’’.<br />‘’Lha, kapan lagi’’.<br />‘’Tapi saya belum siap, karena saya mesti meninggalkan uang makan Mbakmu selama kita bekerja di sana,’’ ucap Bahar dengan wajah sedih.<br />‘’Tak perlu khawatir. Uang belanja untuk Mbak sudah saya siapkan. Ini Mbak, terima saja,’’ ujar Hasan seraya mengeluarkan seikat uang ratusan ribu rupiah dari kopor hitamnya yang segera diberikan kepada Mbak Narti.<br />Bahar dan Mbak Narti kaget melihat uang sebanyak itu. Kedua suami istri itu tertegun menerima uang dari Hasan. Keduanya seolah bermimpi menerima uang sebanyak itu.<br />‘’Lho, kok melongo seperti orang tolol? Ayo ambil, Mbak. Saya tak bisa lama-lama di sini. Kalau Mas Bahar bersedia ikut, mari kita pergi sekarang juga karena saya ditunggu oleh pimpinan di ujung jalan kampung ini’’.<br />‘’Tidak minum kopi dulu, Dik Hasan?’’.<br />‘’Nggak usah, Mbak’’.<br />Setelah menyiapkan beberapa stel baju ke dalam tasnya, Bahar pergi mengikuti Hasan dalam kegelapan malam. Namun sebelum pergi, Bahar berpesan agar istrinya selalu menjaga kesehatan kandungan serta kehormatan rumah tangganya.<br /><br /> ****<br /><br />Sudah sebulan Bahar bekerja sebagai operator mesin aspal curah pada proyek jalan yang dipimpin Hasan. Sebagai orang yang dipercaya Direktur Utama PT Mengkudu Hijau, Hasan benar-benar dipuji sebagai pimpro yang piawai dan sangat disayang para pekerjanya. Justru itu, selama 30 hari bekerja di sana, Bahar begitu betah merintis jalan baru di sepanjang hutan lintas utara. <br />Soal kesejahteraan dan menu makanan, ternyata sangat sehat dan bervariasi. Apalagi di proyek itu terdapat beberapa tenaga ahli teknis dari Jerman dan Amerika, tentu servis menu makanan dan minuman tersedia dengan standar empat sehat lima sempurna.<br /> Malam itu, ia kebetulan off dan posisinya sebagai operator mesin aspal curah digantikan Parto, teman sekamarnya. Karena itu, kesempatan libur sehari semalam itu dimanfaatkan Bahar sebaik-baiknya agar setelah bekerja seharian penuh kemarin, tubuhnya bugar kembali.<br /> Dalam keremangan lampu proyek, alat-alat berat seperti buldoser, ekskavator, mobil kern, serta sejumlah truk yang diparkir di pemondokan, terlihat seperti sosok kamuflase yang menyeramkan. Apalagi Bahar istirahat sendirian di kamp, tentu membuat perasaannya menjadi agak seram. Namun ia mencoba menepiskan rasa takut dalam hatinya.<br /> Malam kian larut. Sekitar satu kilometer dari kamp tempat ia mondok, terdengar suara mesin aspal curah bergemerasak serta sorak-sorai teman-temannya yang sedang bekerja menyelesaikan pengaspalan jalan yang kemarin malam belum tuntas seluruhnya. Karena itu ia tak dapat memejamkan mata. Lewat jendela terval, pandangannya diarahkan ke langit lepas. Di cakrawala, bulan bersinar separuh bayang. Dari balik gugusan awan, samar-samar terlihat awan putih kehitaman berarak ke arah utara. Dalam buntalan awan yang bergerombol, Bahar seolah melihat wajah istrinya yang tengah hamil tua menatap dan senyum ke arahnya. Ia benar-benar rindu kepada Narti dan anaknya. Harus ia akui, selama 30 hari di hutan, kerinduan itu sudah begitu menumpuk.<br /> ‘’Kenapa, Mas Bahar rindu kepada Mbak Narti dan anak semata wayang di rumah?’’ tiba-tiba suara Hasan membuyarkan perasaan rindunya pada anak dan istrinya di kampung.<br /> Karena itu ia cukup kaget mendengar suara teman akrabnya ini. Yang ia ketahui, saat itu Hasan tengah mengontrol pekerjaan teman-temannya di front utara. Kok, secara tiba-tiba ia ada di kamp? Naik kendaraan apa dia sehingga tiba di kamp tanpa ia ketahui sama sekali? Hm, aneh.<br />‘’Lho, Mas Hasan tidak melakukan pengontrolan ke front utara?’’ tanya Bahar dengan kening berkerut.<br />‘’Ndak masalah. Untuk sementara tugas pengontrolan saya percayakan kepada Pak Prawiro. Ia juga orang lama yang bisa dipercaya’’.<br />Bahar hanya mengangguk. Kemudian ia minta sebatang rokok, karena kebetulan Hasan sedang menyulut rokok kretek di bibirnya.<br />‘’Saya melihat sikap Mas Bahar, tampaknya sedang dilanda kerinduan terhadap Mbak Narti dan anak di rumah,’’ tukas Hasan seraya menghirup asap rokoknya dalam-dalam.<br />‘’Secara jujur, ia San,’’ jawab Bahar.<br />‘’Nah, kejujuran itulah yang aku suka dari anda. Besok Mas Bahar punya rencana pulang ke kampung?’’.<br />‘’Lha, tapi pekerjaan kita belum rampung, kan’’.<br />‘’Tak masalah. Esok pagi, direktur keuangan datang ke lokasi kerja kita. Mas Bahar boleh mengambil gaji dan insentif uang lembur. Saya perkirakan selama sebulan ini anda mendapat total upah sebesar Rp 8 juta’’.<br />‘’Wah, alangkah besarnya Mas Hasan,’’ sergah Bahar kaget setengah mati. Masakan kerja baru sebulan sudah memperoleh uang gaji sebanyak itu. Rasanya tidak masuk akal.<br />‘’Itu bukan perkara masuk akal atau tidak. Kami menilai, anda termasuk pekerja yang kreatif dan menguntungkan perusahaan. Jadi wajar andaikata perusahan ini memberi gaji dan insentif yang sesuai dengan keahlian Mas Bahar,’’ kata Hasan.<br />Bahar mengucapkan rasa syukur yang dalam ke hadirat Sang Pemberi Rezeki. Dalam salat tahajud dari dua pertiga malam itu, doa syukur dan lafal dzikir meluncur dari bibirnya yang kebiru-biruan akibat candu rokok.<br />Paginya, setelah ia menerima uang sebesar Rp 8 juta, ia mohon izin kepada direktur keuangan untuk menengok istrinya yang sedang hamil tua.<br />‘’Silakan Pak Bahar. Saya sudah memberikan rekomendasi untuk anda lewat kewenangan Pak Hasan,’’ kata direktur keuangan itu dengan wajah ceria. Kumis tipis di atas bibirnya, menambah ketampanan Pak Direktur tersebut.<br />Bahar benar-benar gembira. Sebelum meninggalkan ruang kerja direktur keuangan, ia menyalami pimpinannya. Rasa hormat serta rendah hati pribadi Bahar itulah yang membuat dia cepat memperoleh tempat di hati teman-teman sekerjanya.<br />Di kamp, ia sudah ditunggu Hasan. ‘’Mas Bahar boleh langsung pulang ke kampung. Saya akan mengantar anda hingga ke batas kelokan jalan aspal baru dengan motor dinas. Setelah itu anda boleh meneruskan perjalanan hingga ke ujung jalan aspal yang kita kerjakan. Di sana banyak kendaraan umum yang lewat. Mas Bahar bisa naik kendaraan umum di sana. Ingat, selama Mas Bahar berjalan untuk mencapai ujung jalan aspal ini, anda tidak diperkenan menoleh ke belakang,’’ begitu Hasan memberi nasihat.<br />‘’Kenapa, San?’’.<br />‘’Itu pantangan bagi masyarakat yang hidup di daerah ini,’’ jawab Hasan dengan mimik serius. <br />Sementara itu, laju motor yang dikendari Hasan meluncur cepat. Setelah Hasan menurunkan sahabatnya itu di kelokan jalan aspal baru, Bahar diingatkan kembali untuk tidak melanggar pantangan yang sudah disebutkan tadi.<br />Bahar pun patuh terhadap pantangan itu. Setelah tiba di antara ruas jalan lama dengan ujung jalan aspal baru, ia pun menoleh ke belakang. Astaghfirullah. Bahar kaget setengah mati, karena jalan yang sudah ia lalui tadi tiba-tiba hilang tak berbekas. <br />Yang ia lihat hanyalah kerimbunan semak belukar dan pepohanan meranti yang belum terjamah para perambah hutan. Ia mengucek-ucek matanya. Apakah ia tengah bermimpi? Kemudian Bahar mencubit kulit lengannya. ‘’Ah, aku ini tidak sedang bermimpi. Ya, Allah. ini fakta. Wah, kondisi seperti ini bisa membuat aku gila,’’ celotehnya seperti berbicara dengan diri sendiri. <br />Ketika kesadarannya penuh, ia segera membuka tasnya untuk melihat apakah uang gaji yang ia peroleh dari PT Mengkudu Hijau tidak raib seperti jalan aspal baru yang ia lalui tadi. Bahar pun kembali dikejutkan oleh situasi yang tak masuk akal. Bukan saja uang itu masih utuh, tapi jumlahnya pun bertambah menjadi Rp 10 juta.<br />Setelah ia mengingat-ingat tentang masa lalu sahabatnya Hasan, ternyata ia baru sadar bahwa teman karibnya itu tewas lima tahun lalu, karena tertimpa tiang listrik bertegangan tinggi yang roboh akibat angin kencang. Bulu romanya merinding.<br />Wuih, nasib Hasan memang naas. Tapi jauh sebelum ia meninggal, Hasan dan Bahar pernah membuat kesepakatan dengan cara ikrar darah di pergelangan tangan mereka. Barangkali ikrar itulah yang menyebabkan Hasan masih berusaha membantu kesulitan Bahar setelah dagangannya pailit akibat harga BBM membumbung tinggi. Masya Allah!<br /><br />6 Maret 2007Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-76806983323909534172008-02-22T23:42:00.000-08:002008-02-22T23:43:28.723-08:00Cerpen (7)Gadis Panggilan di Kelokan Jalan <br /><br /><br /><br />Baru tiga kali ketemu gadis itu, aku merasa simpati pada sikapnya yang sederhana. Selain tidak banyak meminta, cara berpikirnya pun begitu dewasa. Suatu ketika, saat aku mengajaknya jalan-jalan di taman kota, ia lebih banyak bercerita tentang nasibnya. Padahal, siang itu aku mencoba menawarkan diri untuk mengajaknya ke rumah makan sederhana di pinggiran kota, tapi dengan cara halus ia menolak.<br />‘’Ndak usah, Mas. Saya masih kenyang. Pagi tadi, sebelum ke luar rumah, aku nyarap nasi liwet yang kubeli dengan Mbok Inem di dekat tempat tinggalku. Wah, banyak sekali aku makan Mas, karena sejak kemarin sore aku belum makan apa-apa,’’ ujar gadis itu dengan senyum terkembang. Dua dekikan memikat yang menghiasi kanan-kiri pipinya membuat senyumnya begitu mempesona. Ah, manis sekali gadis ini.<br />Namun sejauh ini, aku tidak berani bertanya siapa namanya. Apalagi ia pun tak pernah ingin mengetahui siapa aku. Jadi biarlah. Persahabatan seperti ini lebih murni daripada aku harus masuk ke lorong pribadinya yang tak perlu aku ketahui. Aku merasa lancang andaikan aku harus lebih banyak bertanya hana-hene mengenai dia. <br />Jadi biarlah bersahabat seperti ini. Pokoknya aku bahagia. Persetan dengan bisikan teman-teman yang memberitahuku tentang dia. Toh, aku tidak pernah berpikir macam-macam mengenai profesinya sebagai apa.<br />Apa ruginya berteman dengan seorang wanita seperti dia. Orang bisa saja memojokkan nasib seseorang. Menjelek-jelekan posisi orang lain. Padahal, ketika ditelusuri, apakah dirinya lebih terhormat dibanding nasib seorang wanita panggilan? Sedangkan dia sendiri sering nyelonong ke lokasi pelacuran? Ah, taik kucing. Sok suci!<br />Aku mengenal gadis itu bukan untuk dijadikan konsumsi seks liar. Justru dia bisa dijadikan teman ngobrol yang asyik tanpa harus diwarnai sikap saling curiga dan kurang ajar. Dari perbincangan kami selama tiga hari terakhir, aku banyak ide untuk menulis tentang nasib dan kehidupan orang lain. Bahkan, ide brilian yang aku dapati dari gadis itu, direspons pimpinan saat rapat proyeksi di redaksi. Itu artinya, gadis itu telah menguntungkan karir jurnalistikku.<br />Seperti artikel yang kutulis pada terbitan dua hari lalu tentang korban gusuran di Kecamatan Dawuh, ternyata sangat berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah. Akibat tulisan itu, perusahan pengembang yang bertanggung jawab dengan sekian banyak nasib korban gusuran, harus membayar ganti rugi sesuai yang diminta masyarakat. Akibatnya, para preman yang membacking perusahaan pengembang begitu benci ketika namaku disebut-sebut Sekwilcam Dawuh pada saat menghitung luas tanah warga yang harus diganti rugi oleh pengembang. Biar saja. Yang penting, sebagai seorang jurnalis, aku harus membela kebenaran yang kebetulan kebenaran itu berpihak pada kepentingan orang kecil di Kecamatan Dawuh. Persetan dengan preman dan pengembang yang seenaknya merampas tanah rakyat.<br /><br /> ****<br /><br />Gerimis masih mencucur ke bumi. Aku meninggikan kerah jaketku. Ih, cuaca dingin sekali. Dengan berlari kecil, tas hitam berisi block note, tape recorder kecil, serta kamera digital delapan megafixel di pundak, terpaksa kutenteng untuk menghindari curah gerimis yang cukup membasahi.<br />Jika tak ada urusan, rasanya malas keluar dalam cuaca seperti ini. Lebih baik nulis berita di kantor atau membuat tulisan apa saja. Tapi, seperti janjiku kemarin, aku harus menemui dia di kelokan jalan itu, karena seperti biasanya, aku memang seringkali ketemu dia di sana. Sedangkan sepeda motorku kuparkir sekitar seratus meter dari kelokan jalan itu. Biarlah, Arif (penjaga parkir di sana) selalu menjaga motorku dengan baiknya. Bahkan, seringkali aku mencoba membayar biaya parkir, Arif selalu menolak menerima uangku. <br />‘’Nggak usah, Mas. Anda sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Biarlah, kalau Mas Anton mau parkir di sini, silakan saja. Mas ndak perlu pusing memikirkan biayanya. Bagi saya, uang Mas Anton nggak laku,’’ ucap Arif tertawa.<br />Kalau sudah begitu, aku tak dapat berkata apa-apa. Namun aku sangat bersyukur, karena dimana-mana aku selalu disambut siapa pun dengan sikap yang bersahabat. Ah, terima kasih Tuhan!<br />Tak terasa, aku tiba di kelokan jalan. Dan seperti biasanya, aku menunggu dia di depan toko buku Pak Johari. Pemilik toko buku itu ramah dan sangat hafal melihat roman wajahku. ‘’Silakan duduk di meja baca, Nak,’’ ujar Pak Johari, sesaat setelah ia melihat bayanganku di luar tokonya. Wajahnya begitu ceria.<br />‘’Terima kasih, Pak. Biar saja. Saya menunggu di sudut tembok toko Bapak,’’ jawabku.<br />‘’Yah, sudah. Bapak masuk dulu, ya,’’ katanya.<br />Aku hanya mengangguk dan pandanganku segera kulayangkan ke segala arah. Tak kulihat bayangan gadis itu. Di tengah hujan rintik-rintik itu aku hanya melihat orang-orang berlari-lari kecil mencari tempat berteduh. Ah, kemana dia? Sudah lebih dari sejam aku menantikan dia di sini, tapi dia tak muncul juga. Padahal dia selalu datang tepat waktu jika berjanji. <br />Setelah lebih dari dua jam aku berdiri di sudut tembok toko Pak Johari, akhirnya aku tak tahan juga. Kejenuhan pun menyiksa perasaanku. Tanpa pamit kepada Pak Johari, aku segera hengkang dari sana. Setelah mengambil motor dari areal parkir, aku tancap gas ke Jalan Melati. Di sepanjang wilayah jalan inilah tanah kosong milik warga Kecamatan Dawuh dicaplok PT Bagus Kencana. Kabar terakhir yang kudengar, tanah itu akan dibuat komplek perumahan mewah. Hm, seenaknya saja mempermainkan nasib orang lain.<br />Aku memacu motorku secara perlahan. Jalan ini sepi sekali. Karena di kiri-kanan jalan masih terdapat banyak belukar. Apalagi saat cuaca tak bersahabat seperti sekarang, kawasan itu tak lebih seperti ruang luas tempat ‘’jin membuang anak’’. Wajar andaikan pihak berwajib sering mendapat laporan warga tentang penemuan mayat korban pembunuhan yang dibuang di sini.<br />Selagi aku tenggelam dalam pikiran sendiri, tiba-tiba dari kejauhan di depan sana, sebuah Nissan Terano hitam berkilat melemparkan sesosok tubuh ke jalan. Aku tak sempat mencermati plat nomor polisinya. Secara reflek aku segera mengejar mobil tersebut, tapi tak berhasil. Kecepatan lari mobil itu seperti kendaraan setan. Merasa tak menang melawan kecepatan mobil tersebut, aku segera kembali ke tempat tubuh yang tergetak di pinggir jalan tadi.<br /> Sebelum kusentuh, aku mencermati tubuh itu. Ah, tubuh seorang wanita muda dan ia masih hidup. Perutnya yang kembang-kempis itu pertanda sosok tersebut masih bernapas. Untuk menyelamatkan jiwa wanita itu, aku segera menelpon ambulans dan melarikannya ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, aku segera mengurus administrasinya. Biaya perawatan wanita itu menjadi tanggung jawabku. Biarlah. Aku sangat iba melihat kondisinya.<br /> Selama tiga bulan tugas di kota ini, aku belum memiliki induk semang, kecuali ibu pemilik rumah kostku yang begitu baik dan perhatian sekali. Ia seorang janda tua yang tidak memiliki anak. Maka, sepulang dari rumah sakit, kepada ibu kost aku ceritakan tentang nasib perempuan yang dilempar seseorang dari sebuah mobil jeep hitam di Jalan Melati. Ia masih hidup dan dirawat di rumah sakit.<br /> ‘’Ooo. Jadi wanita tersebut dilempar begitu saja di jalan yang sepi itu?’’.<br />‘’Iya, Bu,’’ jawabku.<br />‘’Kurang ajar. Semoga kualat orang itu. Seperti membuang kain lap kotor saja. Ee.., wanita itu masih muda atau tua seperti ibu?’’.<br />‘’Saya belum sempat mencermatinya, Bu. Tapi tampaknya ia masih muda’’.<br />‘’Kamu belum dapat laporan dari rumah sakit mengenai identitasnya?’’.<br />‘’Belum’’.<br />‘’Yah. Kalau dia sudah sembuh dan tidak ada seorang pun yang mengakuinya sebagai keluarga, bawa saja ke sini. Biar ibu yang merawatnya. Kasihan, nak. Anggap saja kita berbuat amal,’’ ujarnya. Aku semakin kagum dengan kemuliaan hati ibu kostku ini.<br /><br /><br /> ****<br /><br />Dua minggu setelah dirawat di rumah sakit, kondisi wanita itu mulai membaik. Merah lebam di wajah dan sekujur tubuhnya sudah hilang. Dokter yang merawatnya mengatakan, keadaan wanita muda itu sudah membaik dan hanya menunggu pemulihan saja.<br />‘’Saya boleh melihatnya, dokter?’’<br />‘’Kenapa tidak. Silakan’’.<br />Aku segera membuka pintu kamar tempat wanita itu dirawat. Pintu itu kudorong pelan sekali, agar wanita itu tidak terkejut. Namun betapa kagetnya aku, ternyata wanita yang kutolong ini adalah gadis yang beberapa hari ini aku cari-cari. Secara reflek ia bangkit dari tempat tidur dan seraya memelukku. Perasaanku bergetar. Kubiarkan ia menangis dalam pelukanku. Sedangkan aku sendiri melampiaskan kerinduanku kepadanya. Apakah aku menyintainya? Ah..<br />Pertemuanku dengan dia benar-benar dramatis. Setelah perasaanya reda, gadis itu menceritakan peritiwa pahit yang menyekap sepanjang kehidupannya.<br />‘’Kalau ayah angkatku sedang tidak punya duit, aku selalu ia jual kepada temannya yang menyiksa dan melemparkan aku ke jalan beberapa hari lalu, Mas,’’ ungkapnya dengan airmata terurai. <br />Mendengar itu, secara spontan perasaan marah membakar emosiku. ‘’Siapa ayah angkat dan laki-laki yang telah menistaimu itu?’’.<br />Gadis itu tidak segera menjawab. Ia mencoba menghimpun perasaannya. ‘’Laki-laki itu seorang Kepala Dinas PU di kota ini. Aku minta bayar mahal setelah dia menikmati kehangatan tubuhku di hotel. Apalagi aku tahu persis bahwa dia terlibat dalam proyek jalan fiktif senilai Rp 16 miliar. Karena itu dia sering mengancam dan mencoba membunuhku, Mas’’.<br />‘’Darimana adik mengetahui adanya proyek jalan fiktif yang melibatkan kepala dinas tersebut?’’.<br />‘’Tak sengaja, ketika ia mengajakku makan di sebuah restoran lesehan, ia kelepasan omongan kepada pimpronya mengenai itu. Bahkan, ketika ia mengajakku tidur di hotel, aku menyembunyikan beberapa fotokopi arsif penting mengenai itu ke dalam tasku’’.<br />Atas pernyataan gadis itu, aku mencoba mengembangkan kasus percobaan pembunuhan terhadap gadis tersebut, serta membongkar proyek fiktif yang melibatkan kepala dinas itu.<br />Setelah tiga kali berita itu naik ke permukaan, masyarakat heboh. Sejumlah LSM berunjuk rasa. KPK, kejaksaan, serta pihak kepolisian melakukan pemeriksaan kepada kepala dinas itu. Untuk sementara waktu, dia dan orang-orang yang terlibat dalam proyek fiktif tersebut, dijebloskan ke penjara.<br />Di kamar kostku yang cukup luas, gadis itu mengucapkan terima kasih. Ia menciumku dan menggelutiku begitu hangat. Birahiku terpancing. Tapi setelah aku melihat tanda hitam di paha kirinya tatkala ia telanjang, tiba-tiba aku tersentak. Gila! Gadis itu segera kusuruh memakai bajunya kembali. <br />‘’Siapa namamu, Dik?’’.<br />‘’Kenapa. Mas tidak suka karena aku seorang pelacur?’’.<br />‘’Bukan begitu. Tanda hitam di paha kirimu mengingatkan aku terhadap seseorang yang selama ini aku cari-cari. Ia begitu kukasihi’’.<br />‘’Pacarmu, Mas?’’.<br />‘’Ee, namamu Parmi, kan?’’ aku balik bertanya.<br />‘’Kok, Mas tahu namaku?’’.<br />‘’Ya. Kau pasti anaknya Pak Suntoro?’’.<br />‘’Kau sendiri siapa, Mas?’’.<br />‘’Aku Anton’’.<br />‘’Mas Anton..Suntoro?’’.<br />Pertemuan itu benar-benar dramatis. Aku seperti terpatok di lantai rumah. Kepalaku tak mampu mengangguk. Sementara airmataku berurai ke pipi. Mengetahui keadaan kami, Parmi segera memelukku erat-erat. Saat itu kami saling bertangisan berbagi perasaan. Yah, gadis itu adalah adik kandungku sendiri.<br />Dulu, saat kami terpisah, ayahku ditangkap polisi karena kedapatan mencuri kabel telpon yang baru dipasang di bawah tanah dekat stasiun kereta api. Saat itu, kondisi ibuku benar-benar sekarat karena ia mengidap penyakit leukemia. Karena itulah ayah membutuhkan banyak biaya buat pengobatan ibu. Sementara ayah tidak punya pekerjaan tetap. Meski sudah diusahakan, akhirnya kehidupan ibu harus takluk kepada Sang Ajal. Ia meninggal dengan kondisi tubuh menyedihkan. Saat ibu wafat, aku berusia sembilan tahun. Sedangkan Parmi baru berumur enam tahun. Karena keadaan, kami terpisah. Parmi diangkat anak oleh Pak Pardito, seorang pengusaha kayu. Aku sendiri ikut Pak Darmijo, seorang guru sekolah dasar yang sederhana. Karena didikan dialah aku menjadi seorang sarjana dan bekerja sebagai wartawan. Sayangnya, tiga bulan sebelum aku meraih gelar sarjana, Pak Darmijo meninggal dunia karena serangan jantung. Sedangkan istrinya sudah lebih dulu menghadap Yang Mahakuasa.<br />‘’Pak Parditolah yang membuat aku menjadi pelacur seperti yang kau lihat sekarang, Mas. Ketika usahanya gulung tikar karena ribuan kubik kayunya disita polisi, ia terlibat utang dengan sesama pengusaha. Kecuali rumah yang ditinggalinya sekarang, segala aset milik Pak Pardito disita. Suatu malam, aku diperkosa dan seringkali dijualnya kepada teman-temannya yang punya duit. Batinku menjerit, tapi aku tak kuasa melawan orang yang telah membesarkanku, Mas,’’ ungkap Parmi dengan suara bergetar menahan kepedihan hatinya. <br />Mendengar itu dadaku terasa akan pecah. Entah, kemarahan ini harus aku lampiaskan kepada siapa. Yang pasti, kenistaan yang melanda adikku membuat kemarahanku dikobari api. Bangsat! (*)<br /><br />3 Maret 2007Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-1882219495096480572008-02-22T23:41:00.000-08:002008-02-22T23:42:25.547-08:00Cerpen (7)Akulah Momo Kelana <br /><br /><br /><br /> Wajah tua Pak Momo terlihat kuyu dan pucat. Ia tampak lelah. Karena usianya yang sudah memasuki tahapan kepala tujuh (70 tahun), membuat wajahnya yang kusam tak bercahaya itu dipenuhi keriput dan kumis memutih. Apalagi dalam beberapa hari terakhir ia terserang diare, membuat bobot tubuhnya merosot tajam. <br /> Yang membuat Pak Momo lebih menderita, di usianya yang demikian sepuh itu, ia hidup sendirian di sebuah kamar bedeng seng berukuran 2,5x3 meter. Suasananya panas dan sumpek. Ia hidup bersebelahan dengan Bu Siti, yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung. Kebetulan pula, di samping pondokan mereka terdapat trailer sampah yang menebarkan aroma tak sedap. Tadinya, kawasan itu merupakan lahan kosong milik pengusaha keturunan yang bergerak di bidang otomotif. Tapi sang pengusaha tak keberatan jika ada warga miskin yang tak punya tempat tinggal membangun bedeng pondokan di tanah itu. Nanti, jika lahan itu diperlukan pemiliknya, mereka harus mengosongkan kawasan itu tanpa ganti rugi. <br />Dalam suasana tak sehat seperti itulah Pak Momo menekuri sisa hidupnya di ruangan sempit. Ia dikenal masyarakat di sekitarnya sebagai seniman musik miskin dan tidak beruntung. Nasib buruknya itu memaksa ia harus hidup serba kekurangan dan jarang memperoleh asupan gizi dan vitamin yang baik. <br />Padahal, di masa mudanya dulu, ia mendapat julukan, Momo Kelana sang pemain ‘’biola maut’’. Gesekan biolanya, selain halus mendayu, perpindahan dari nada ke nada di jarinya, begitu cepat dan memikat siapa pun. Terutama ketika dia melantunkan musik klasik, Mozart, wuih, hebatnya bukan main. <br /> Makanya, para seniman musik muda yang ada di daerahnya tidak menyangka jika di pengujung usianya Pak Momo hidup dalam kemiskinan yang demikian mendera. Bahkan, sudah tiga hari ini ia mencret-mencret. Kemarin, secara tak sadar, ketika Pak Momo pulang mandi dari sumur di ujung lorong, di sepanjang perjalanan ke rumahnya, ia mencecerkan kotoran dari bawah sarungnya.<br /> ‘’Tua bangka tak tahu diri,’’ begitu caci-maki warga setempat sembari menutup lubang hidungnya. <br /> ‘’Barangkali dia itu sudah nyusu (bahasa Palembang: pikun),’’ sentak warga lainnya.<br /> Mendengar itu Bu Siti menyela mereka. ‘’Sshh, kita tidak boleh menyaci-maki seperti itu kawan-kawan. Diakan sudah tua, dan tidak punya sanak keluarga lagi. Sedangkan dalam kondisi begitu tidak ada orang yang mengurusnya. Maklum saja ya, Pak Momo sedang menderita diare. Jadi saya minta tolong, janganlah menyaci-maki dia. Kasihanilah orang tua yang malang itu, ya’’.<br /><br /><br /> ****<br /><br /> Suatu siang di kamarnya yang sumpek, Pak Momo berbaring di atas sehelai kertas koran edisi minggu pertama bulan lalu. Atap dan dinding seng tempat ia bermukim makin memperparah diarenya. Wajahnya pucat bukan main. Sedangkan tubuhnya lemas tak berdaya. Bu Siti sudah menyarankan agar Pak Momo segera ke puskesmas.<br /> ‘’Tapi maaf Pak Momo, saya tak dapat mengantar ke sana, karena mau kerja (memulung) ke tempat pembuangan akhir (TPS). Soalnya hari ini banyak sampah baru yang dibuang ke sana. Siapa tahu banyak barang bekas yang dapat saya jual untuk menafkahi anak-anakku,’’ kata Ibu Siti pagi tadi. <br />Pak Momo hanya tersenyum rawan sembari mengangguk pelan. Bahkan responsnya hanya ia layangkan lewat kejapan lemah mata tuanya yang sayu. Itu terlihat dari balik kacamatanya yang tebal. Tapi sebelum Bu Siti pergi, wanita itu sempat meninggalkan singkong rebus dan secangkir kopi untuk Pak Momo di pinggir pintu tempat orang tua itu berbaring.<br />‘’Terima kasih Bu Siti,’’ujar Pak Momo. Suaranya terdengar lemah dan pelan sekali.<br /> Sejam setelah kepergian Bu Siti, suasana siang di lingkungan itu dicekam keheningan. Karena jenuh, Pak Momo mencoba bangkit. Ia membuka kantong pembungkus biolanya dan mengeluarkan benda berharga miliknya itu. Lalu dipandangnya sejenak. Ia tersenyum getir. Kemudian dawai biola itu ia stem agar tak terdengar fals. Lalu benang stik biola itu ia balur dengan damar pemulas, agar kesat dan melahirkan gesekan suara yang bagus.<br /> Tak lama di antaranya, suara biola Pak Momo merobek kesenyapan suasana. Kelembutan lengkingan biolanya menggambarkan rintihan hidupnya yang menderita luar biasa. Terutama ketika ia melantunkan lagu jazz klasik bertajuk I’m in The Mood for Love, membuat perasaan siapa pun akan tersentuh. Ternyata, kemampuan Pak Momo masih luar biasa. Di usianya yang senja, kemahirannya bermain musik masih menyisakan kekaguman bagi banyak orang.<br /> Di masa mudanya dulu, lagu itulah yang melambungkan namanya di jagad musik inlander (bumi putra). Sebab, di lingkungan pemusik orang kulit putih (Belanda), Pak Momo sangat disayang gurunya, Hermaan van De Brink. Tiap kali tampil dalam Van De Brink Orchestra di Initium Ballroom, Momo selalu menjadi bintang. Seolah ia ingin mengatakan ke publik dunia bahwa akulah si Momo Kelana pencabik dawai ‘’biola maut’’. Apalagi pada masa kejayaannya Momo memiliki wajah tampan, tentu banyak gadis yang rela tenggelam ke dalam pelukannya. <br />‘’Godverdomzeg. Jij benar-benar zakelijk dengan orchesrtra ini, Momo. Ike nilai, jij punya anleeg (bakat) begitu besar di bidang muziek. Ike bangga kepada kamu orang. Lihatlah, banyak noni-noni yang ingin kenal sama jij punya diri. Coba jij lihat di bawah stage sana. Ayo temui mereka,’’ begitu Van De Brink memberi pujian sekaligus anjuran kepada Momo.<br /> Karena kemahirannya bermain biola, kehidupannya menanjak tajam. Nasib baik selalu berpihak ke dirinya. Hidupnya selalu bertabur order, terutama diajak Van De Brink bermain musik untuk mengisi acara pada pesta pejabat Belanda dan Oriental Music. Pada masa kejayaannya, background kehidupan Momo digelimangi uang, minuman keras, wanita, dan pujian masyarakat. Dari dunia glamor itulah ia mampu mempersunting Chen Lie Moy ketika ia diminta untuk memperkuat kelompok Oriental Music di Initium Ballroom. Dari pernikahannya dengan Chen Lie Moy, Pak Momo mendapat dua anak. <br />Sayangnya, dalam ilustrasi hidup glamour seperti itu, Pak Momo tak pandai menghindari rongrongan minuman keras, judi, dan perempuan. Akibatnya, uang dan harta yang ia peroleh dari bermusik, ludes dibuat foya-foya. <br />‘’Bang Momo, aku memohon kepadamu agar kau dapat menghentikan sikap burukmu. Kasihan nasib anak-anak kita. Jika Abang terus-terusan begitu, bagaimana masa depan mereka?’’ ujar Chen Lie Moy dengan airmata berurai.<br />Karena pengaruh alkohol, Momo tersinggung. Emosinya pun meletup. Wajah istrinya ia pukul hingga memar, sedangkan bibir Lie Moy pecah berdarah. ‘’Kau tidak perlu mendikte aku. Yang penting uang belanja dan kebutuhan sehari-hari rumah tangga kita aku cukupi. Jadi jangan banyak omong,’’hardik Pak Momo dengan roman muka bengis. Jika sudah begitu, Chen Lie Moy hanya bisa menangis dan diam seribu bahasa. Dalam hatinya, wanita keturunan Tionghoa itu sudah tak tahan lagi hidup bersama Momo.<br />Setelah pemerintah Indonesia menguasai teritorial wilayah pemerintahan sepenuhnya, Hermaan van De Brink pulang ke Nederland. Dalam kondisi seperti itu Pak Momo benar-benar terpukul. Terutama ketika istrinya kabur membawa dua anaknya. Momo benar-benar bangkrut. Ia hampir gila menghadapi dunia kesendirian yang begitu menyiksa. Ternyata, kebesaran karir musik di masa mudanya dulu tak seindah kehidupan rumah tangganya. Hingga kini, sudah tiga puluh tahun lebih ia ditinggal pergi istrinya. Sebagai seorang lelaki tua yang tak memiliki apa-apa lagi itu, ia benar-benar terpuruk.<br />‘’Chen Lie Moy, maafkan Abang’’. Itulah ucapan sesal yang meluncur lemah dari mulutnya yang ompong keriput. Rasa perih akibat diare kembali menggerogoti lambungnya. Kali ini sakitnya bukan main. Ia meringis dan menghentikan gesekan biolanya. Akibat rasa sakit yang tak tertahankan itu, sekujur tubuh Pak Momo menmgeluarkan keringat dingin.<br />‘’Ya Allah..,’’ begitu ia merintih. Ucapan religi dari mulut Pak Momo benar-benar surprise. Sebab, di sepanjang hayatnya, baru kali ini ia mengucapkan lafal Allah. Kemudian diam.<br />Bu Siti yang sudah tiga hari tak melihat bayangan Pak Momo, bertanya kepada tetangganya. Warga di lingkungan itu rata-rata bekerja sebagai pemulung dan penarik becak.<br />‘’Sudah seminggu ini saya tidak melihat dia, Bu,’’ ujar Pak Mamat sembari memilih kantong-kantong plastik bekas yang akan ia jual ke pasar tradisional.<br />‘’Coba ibu panggil. Barangkali ia sedang tidur. Bukankah kamarnya bersebelahan dengan tempat tinggal Bu Siti?’’.<br />‘’Ya. Saya sudah memanggil dia, tapi tak ada jawaban. Bahkan, pintunya terkunci dari dalam’’.<br />Mendengar itu Pak Mamat memandang tajam ke wajah Bu Siti. ‘’Lho, ada apa Mat? Kok kau memandangi aku seperti itu?’’.<br />‘’Itu dia masalahnya, Bu’’. Wajah Pak Mamat terlihat serius. Lalu ia bangkit dari duduknya. Kantong-kantong plastik bekas yang ia susun rapi tadi, ditinggalnya begitu saja. Ia segera bergegas ke tempat tinggal Pak Momo. Dengan perasaan penuh tanda tanya, Bu Siti mengikutinya dari belakang.<br />Sesampainya, Pak Mamat memanggil orang tua itu. Tapi tak ada jawaban. Bekali-kali ia panggil, tapi tetap tak ada jawaban. Ia segera mendobrak pintu kamar Pak Momo. Masya Allah! Pak Mamat dan Bu Siti kaget setengah mati. Mereka segera menutup hidungnya. Dari dalam kamar Pak Momo yang gelap, menyeruak aroma tak sedap. Sedangkan segerombol lalat hijau terbang berkerubutan. Dalam keremangan suasana, tubuh Pak Momo yang kaku terlihat biru membengkak. Ada beberapa belatung merayap di lengan dan mulutnya yang menganga. Sementara di sisi tubuhnya, biola kesayangannya tergolek begitu saja. <br />Melihat suasana seperti itu, wajar jika keadaan Pak Momo tak terdeteksi oleh warga di sekitarnya. Sebab, aroma bangkai dan bau busuk lainnya yang menebar di udara bebas, sudah menjadi hal biasa di lingkungan tersebut. Karena di situ ada trailer tempat pembuangan sampah orang-orang kaya. Warga di sekitar itu pun segera menyerbu ke kediaman Pak Momo. Perbincangan hiruk-pikuk warga mengenai orang tua malang ini menebarkan beragam persepsi. Setelah ditelpon, sejumlah polisi pun tiba di tempat itu. (*)<br /> <br />11 Januari 2008Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-71573991054904749032008-02-22T23:40:00.000-08:002008-02-22T23:41:11.845-08:00Cerpen (6)Ki Dalang Kastono Citro<br /><br /><br /><br />SUDAH hampir lima bulan ini Ki Dalang Kastono Citro tidak mendapat order ndalang. Padahal di kampung seberang, ketika ada mantenan (pesta perkawinan) hari Minggu kemarin, warga di sana menampilkan pergelaran wayang kulit dengan cerita Broto Yudho. <br />Mengapa selama ini dia tidak pernah memperoleh order ndalang lagi? Hm, padahal di seputaran lima kampung di wilayah desa transmigrasi itu, nama Ki Dalang Kastono Citro dikenal sebagai dalang paling hebat. Ketika ia mendalangi berbagai cerita wayang purwa, tuturannya begitu hidup, sehingga penggambaran karakter tokoh di dunia perwayangan seolah nyata dalam kehidupan sehari-hari. <br />Karena itu orang-orang di seputaran wilayah transmigrasi begitu mengagumi dia sebagai dalang paling jempolan. Lantas, mengapa sudah sekian lama ini ia tidak pernah mendapat orderan lagi dari warga? Ah, aneh. Sampai di situ ia hanya menyerahkan hidup dan matinya kepada Gusti Allah. Barangkali di balik itu akan ada hikmahnya. Ya, pasti ada hikmahnya.<br /> Kastono melemparkan pandangan matanya jauh ke hamparan sawahnya yang kerontang merana. Di sana-sini terlihat rusak. Kerusakan itu disebabkan kemarau panjang, sehingga padi yang ia tanam kering kekuningan. Padahal sebelumnya, padi yang ia semai itu tumbuh subur, dan seluas mata memandang seperti hamparan permadani hijau yang menyejukkan perasaan. <br />Memikirkan nasibnya yang kurang beruntung tahun ini, Kastono benar-benar sedih. Di atas rumah-rumahan reyot yang terbuat dari atap daun rumbia di tengah sawah, ia menumpahkan segala kegalauannya.<br />Apalagi beras simpanan di rumah untuk cadangan makan sehari-hari pun hampir tandas. Jika teringat itu, ia jadi gelisah. Kemarin, tengkulak kejam yang memberi pinjaman uang dan obat-obat pertanian sebelum ia panen, sudah memberi batas angsuran agar ia segera melunasi utang-utangnya yang sudah melilit pinggang. <br />Dengan apa Kastono akan membayar utangnya kepada tengkulak itu? Padi yang ia harapkan dapat dijual untuk membayar utang dan membeli baju sekolah anaknya, gagal dipanen. Pikirannya benar-benar sempit. Sedangkan kegelisahannya mengenai itu sangat menyiksa.<br />Duduk dan tidur-tiduran di gubug daun rumbia di atas dangau sawahnya seluas satu hektare itu diharapkan dapat memenangkan jiwanya, ternyata tidak sama sekali.<br />Padahal, seperti biasanya, jika angin siang begini berhembus sepoi-sepoi, mata Kastono akan segera terpejam seperti lampu teplok kehabisan minyak. Tapi karena kehidupannya sedang dilanda kesulitan, perasaan Kastono cenderung menjadi gelisah. Makanya siang itu ia tak dapat memjamkan matanya ketika angin berhembus sepoi-sepoi menyejukkan. <br />Dari celah dinding daun rumbia gubuknya, larik-larik cahaya matahari siang menerpa kulit wajahnya yang gelap. Kekelaman kulit wajah Kastono menggambarkan penderitaan hidupnya yang tak kunjung usai. Meski begitu, ia selalu berusaha untuk tegar menghadapi berbagai tantangan hidup yang bagaimana pun pahitnya. <br />‘’Lho, Bapak ngelamun?’’ suara Ninuk mengejutkan Kastono. Anak perempuannya yang masih duduk di kelas lima Es-De itu datang mengantarkan makan siang untuk Kastono. Tak terdengar langkah kecilnya ketika menghampiri bapaknya di rumah-rumahan itu. Secara sontak lelaki ini bangkit dan menyusut airmata dengan punggung lengannya. <br />‘’Wah, kamu Nduk. Kok tidak mengucapkan salam dulu pada Bapak,’’ ujar Kastono tersenyum. Tapi sisa airmatanya masih terlihat di pipi kiri.<br />‘’Lha, Bapak menangis. Ada apa?’’ tanya gadis kecil itu heran. Wajah Ninuk yang lugu makin menusuk perasaannya.<br />‘’Ah, ndak, Nuk. Kalau menguap, mata Bapak seringkali berair. Tadi Bapak diserang kantuk yang luar biasa, sehingga menguap berkali-kali,’’ ujar Kastono berbohong.<br />Alis mata Ninuk bertaut. Baru kali ini ia melihat Bapaknya mencucurkan airmata. Padahal, selama ini Ninuk selalu diajarkan untuk tidak cengeng menghadapi kenyataan hidup yang bagaimana pun pahitnya. Tapi siang ini, Bapaknya terlihat cengeng?. ‘’Wah ini pasti ada apa-apanya,’’ begitu hati Ninuk berbicara. <br />‘’Bapak lapar? Makanya Ninuk cepat-cepat ke sini agar Bapak bisa makan siang secepatnya’’. Ninuk membuka bungkusan nasi yang ia bawa. ‘’Nih, ibu masak nasi jagung. Ada sambal goreng dan sayur gori. Cepat makan, Pak. Mumpung masih hangat,’’ kata Ninuk. Karena rasa lapar sudah menghentak sejak tadi, Kastono segera melahap santap siang yang diantar anak gadisnya itu.<br /><br /> *****<br /><br />Malam semakin larut. Kastono dan istrinya, Ajeng, masih duduk di beranda depan sembari menikmati cahaya purnama yang bersinar keemasan di cakrawala lepas.<br />Suara radio transistor Cawang dua band di ruang tamu pondoknya, masih berceloteh sejak sehabis Maghrib tadi. Tampaknya, suasana kejawen seperti di kampung halamannya, Wonogiri Solo, terasa kental dalam kehidupan sehari-hari mereka di wilayah transmigrasi ini. Terutama ketika para waranggono (sinden) melantunkan sejumlah tembang Jawa dalam cerita wayang kulit lewat siaran RRI stasiun Jakarta.<br />‘’Yang penting kita harus legowo (jiwa besar) menerima cobaan berat dari Gusti Allah, Jeng. Kakang sudah berusaha sebisanya agar kehidupan kita di trans ini menjadi lebih baik. Tapi ternyata padi kita gagal dipanen,’’ ujar Kastono. Untuk menghilangkan himpitan perasaan di dadanya, ia menghela napasnya.<br />‘’Saya ndak bisa ngomong apa-apa lagi, Kangmas. Kenyataan hidup kita memang begini. Biarlah. Segalanya kita serahkan saja ke Dia. Gusti Allah lebih tahu dari segalanya,’’ tukas Ajeng sembari membersihkan tepung ubi kayu untuk dibikin panganan tiwul.<br />Kastono begitu terharu terhadap sikap istrinya yang begitu nrimo. Ia bersyukur dianugerahi istri sebaik Ajeng.<br />‘’Kakang bangga dengan sikapmu yang begitu luhur, Dimas. Semoga kelak jasadmu tiwas dalam keharuman surgawi,’’ ujar Kastono. <br />Kemudian lelaki itu menyulut rokok klobot dari daun kawung yang ia bawa dari Jawa, pada saat mudik lebaran tahun lalu. Stok rokok itu masih tersisa satu kemasan. Entah, ia tidak mengerti, kok malam itu ia kepingin sekali merokok daun kawung.<br />Asap yang ia hembuskan mengaburkan situasi teras depan. Sedangkan aroma kemenyan dari asap rokok itu menyeruak ke seantero ruangan. Kalau tidak biasa dengan suasana seperti itu, orang pasti mengira bahwa serombongan lelembut atau dedemit sedang pesta pora di tempat itu. <br />‘’Nggo Kang. Saya istirahat dulu. Awakku capek sekali,’’ tukas Ajeng sembari membawa niru berisi tepung tapioka itu ke ruang dalam.<br />‘’Ya, duluanlah. Kakang masih betah di sini,’’ ujar Kastono sembari menghembuskan asap rokoknya. Ia tampak menikmati suasana itu. <br />Baru lima isapan, dari depan gubuknya datang dua orang laki-laki berpakaian hitam serta mengenakan ikatan blangkon di kepalanya. Yang satu setengah tua, dan yang satunya lagi masih muda dan gagah.<br />‘’Kulo nuwun. Pripun kabare sampeyan, Ki Dalang?’’. Orang tua itu menyapa dan bertanya tentang kabar Kastono yang sedang asyik menikmati rokok klobotnya.<br />‘’Waduh, baik-baik saja. Siapa, ya?’’.<br />‘’Saya, Ki Dalang. Masak sampeyan lupa’’. <br />Kastono mengamati laki-laki itu. Matanya yang agak kemarahan menyipit sesaat. ‘’Welah, Pak Sarmanto, rupanya. Saya ini agak pangling. Meski sudah tua, sampeyan itu masih nggaya waee. Saya mendapat kehormatan sekali malam ini. Sebab, di gubug reyot ini didatangi seorang saudagar getuk lindri. Suasana ini sangat menggembirakan saya’’ seru Kastono tertawa, sehingga giginya yang kuning kecokelatan akibat candu rokok itu mengobral keramahtamahannya.<br />Kedua lelaki itu segera bersalaman dan berpelukan akrab sekali. Maklum, mereka berdua adalah sahabat karib yang sudah lama tidak saling memberi kabar.<br />‘’Oo iya, ini kenalkan. Ia keponakanku yang baru datang dari Jawa. Ia seorang insinyur pertanian lulusan Universitas Gadjahmada Jogja. Namanya Joko Pitolo. Hari Minggu Legi pekan depan, dia akan saya nikahkan dengan Yayuk Wulandari, anaknya Pak Kades Partijo,’’ ujar Sarmanto.<br />Mata Kastono berbinar-binar mendapat kehormatan seperti itu. ‘’Alhamdulliah. Semoga sampeyan hidup bahagia dengan gadis itu, ya Le,’’.<br />‘’Terima kasih, Paklek,’’ ucap pemuda itu seraya membungkuk hormat serta mencium tangan Kastono. <br />Pak Sarmanto segera mengutarakan maksud kunjungannya. Selain ingin mengundang Kastono sekeluarga pada pesta pernikahan keponakannya nanti, ia juga diminta untuk jadi dalang pada pergelaran wayang kulit dengan lakon Arjuno Wiwoho.<br />’’Tapi saya minta, tokoh punakawan, terutama sosok petruk jangan dikeluarkan dalam pergelaran wayang itu,’’ kata Sarmanto. <br /> ‘’Lho, kok bisa begitu?’’ tanya Kastono seperti orang tolol. <br /> ‘’Iya, Ki Dalang. Itu merupakan pantangan bagi warga di sana. Kalau masih mbandel, akan terjadi peristiwa yang menakutkan,’’ ungkap Sarmanto sembari mengeluarkan uang panjar kepada Kastono.<br /> Wah, aneh sekali. Sepanjang ia berkarir di dunia pedalangan, baru kali ini Kastono memperoleh permintaan yang ganjil seperti itu. Tapi tak apalah. Toh, ia juga butuh uang dari jerih payahnya sebagai dalang. Pokoknya, apa yang dipesan orang agar ia mendalangi pergelaran wayang kulit lakon Arjuno Wiwoho akan ia patuhi. Sepanjang menyangkut fulus, oke-oke saja. Yang penting duit, duit, dan duit. Titik!<br /> Sepekan telah berlalu. Hari yang dinati-nantikan itu pun tiba. Suasana pesta pernikahan Joko Pitolo dengan Yayuk Wulandari begitu meriah. Sebelas pasang tenda berlapis plafon kain sutra putih yang menyekap suasana pesta, kental sekali dengan tradisi Jawa. Umbul-umbul dan anyaman daun janur yang menghiasi tiang tenda, kian memperindah tiap sudut ruangan. Sedangkan alunan gamelan pengiring wayang kulit, membuat perasaan siapa pun seperti berada di tanah Jawa.<br /> Di pentas panggung wayang kulit, gemuruh penonton yang lebur dalam lakon Arjuno Wiwoho, benar-benar menyemarakkan suasana. Kemampuan Ki Dalang Oerip Kastono Citro yang menjadi dalang dalam cerita itu, mampu mempengaruhi jiwa penonton. Apalagi kemerduan suara waranggono (sinden) yang melantunkan tembang dari satu episode ke episode lain dalam cerita itu, seakan menghipnotis penonton dari komunitas Jawa di kampung enam, wilayah transmigrasi itu.<br />Durasi cerita yang dibawakan Ki Dalang Kastono Citro begitu hidup. Tak terasa, alur cerita yang ia tuturkan sudah hampir tuntas. Bahkan, untuk memperpanjang cerita agar selesai tepat menjelang Subuh, Kastono sudah melakukan improvisasi dialog dengan para pesinden dan penabuh musik gamelan. Tapi suasana malam terasa begitu panjang dan melelahkan.<br />Sekujur tubuh Ki Dalang Kastono berkeringat. Bahkan keringat yang keluar dari pori-porinya terasa tidak enak. Kadang-kadang dingin, tapi juga terasa sumuk (sumpek). Kastono sudah begitu capek. Kelelahan yang mendera membuat ia nyaris tak berdaya, sehingga ia sudah tidak konsentrasi lagi menghidupkan setiap tokoh wayang yang ada di atas kotak di belakang tubuhnya. Tapi malam tetap terasa panjang dan menyekap perasannya. Gila! Ia belum pernah mengalami hal aneh seperti sekarang.<br />Karena jengkel dengan situasi seperti itu, akhirnya Ki Dalang Kastono mengeluarkan tokoh punakawan, antara lain, semar, gareng, petruk, dan bagong . Ketika tokoh Petruk melakukan dialog-dialog lucu, orang-orang di sekeliling itu justru panik. <br />Tiba-tiba di cakrawala yang gelap, gemuruh halilintar membelah angkasa. Lintasan kilat menyambar kian-kemari. Pada pengujung lidah kilat yang menyambar tenda, terjadi ledakan dahsyat. Rona merah api serta-merta mengaburkan pandangan. Semua perangkat pesta dan orang-orang yang ada di sekitar tempat itu tiba-tiba sirna. <br />Hanya tinggal Ki Dalang Kastono sendiri yang duduk di atas kompleks makam tua dengan tubuh bergetar sembari memegang tulang belulang manusia. Padahal sebelum kejadian, tulang-tulang itu merupakan sosok wayang seperti seperangkat tokoh punakawan yang terdiri dari petruk, semar, gareng, dan bagong. Ia lantas melemparkan tulang lengan dan rusuk manusia yang ada di tangannya. Suasana yang tadinya dingin mencekam, tiba-tiba terasa begitu panas, menyengat kulit. <br />Kastono menyipitkan matanya ketika memandang ke langit lepas. ‘’Astaga’’. Ia kaget setengah mati. Ternyata cahaya matahari yang begitu terik menggigit kulit, menyorot tajam tepat pukul 12.00 tengah hari. Kastono seperti disambar petir. Dari surau di ujung kampung, suara azan Zuhur menyadarkan perasaan Ki Dalang Kastono Citro dari suasana buruk semalam suntuk. Ternyata, ia telah melakonkan cerita Arjuno Wiwoho di tengah ratusan arwah orang yang telah lama mati. Ia takut bukan main. Dengan langkah gontai, ia bergegas meninggalkan kompleks perkuburan tua di kampung itu. Dalam hatinya, ia memutuskan untuk berhenti menjadi dalang<br /><br />Palembang, 4 April 2007Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-47340531652135137692008-02-22T23:38:00.000-08:002008-02-22T23:40:06.357-08:00Cerpen (5)Ketika Badai Itu Menerjang<br /><br /><br /><br />Tekad Teuku Mudien sudah bulat. Rencana pernikahan itu akan dilaksanakan bulan Januari nanti. Pokoknya harus terwujud. Ia sudah bosan tidur sendirian. Itu artinya, menapak ke tahun baru, Teuku Mudien akan memulai hidup baru pula. Ia akan menikahi Meutia, gadis manis yang ia cintai sejak tiga tahun lalu.<br />Yang ia kagumi dari sosok Meutia, karena gadis itu tidak mata duitan. Padahal, kalau Meutia mau, ada seorang pemuda yang bekerja di PT Semen Andalas akan mempersuntingnya menjadi istri. Tapi dengan cara halus Meutia menolak pemuda itu. <br />‘’Ah, calon istriku itu benar-benar gadis sederhana yang tidak memandang harta. Aku sangat beruntung menyintai gadis seperti dia,’’ begitu bisik hati Mudien.<br />Ia melihat arlojinya. Hm, baru pukul 7.30 WIB. Siang nanti, rencanannya Teuku Mudien akan mengajak Meutia foto berdua ke studio di Kota Teunom. Foto itu nantinya akan ditempel di akta nikah. ‘’Aku akan berekspresi sebaik-baiknya, agar hasilnya bagus dan terlihat tampan’’.<br />Tak seperti biasanya, hari itu wajah Mudien benar-benar cerah. Selepas mandi, ia bersiul-siul kecil menyenandungkan lagu yang tak jelas iramanya. Di kamarnya, ia membuka lemari pakaian yang sudah tua. Maklum, lemari pakaian tua itu merupakan warisan mendiang ayahnya.<br />Mudien segera mencocokkan baju putih yang ia beli di pasar Kecamatan Calang dua minggu lalu. ‘’Ah, untuk foto berdua dengan Meutia sebaiknya aku memakai baju ini saja. Lagi pula wajahku terlihat tampan mengenakan baju ini,’’ begitu Mudien bergaya di depan cermin.<br />Pintu depan berderit. Ibu Mudien baru pulang dari pasar. Suara batuknya terdengar dari kamar. ‘’Teuku. Kau sudah bangun dari tidur, Nak?’’ begitu suara Mak Bibah memanggil anaknya.<br />‘’Sudah, Mak. Bahkan saya sudah mandi,’’ jawab Mudien dari kamarnya.<br />‘’Ini, mak bawakan makanan kesukaanmu. Mak membelinya tadi di pasar,’’ tukas Mak Bibah disertai batuk yang membuat sesak napas orang tua itu. Teuku Mudien keluar dari kamar. Ia menyalami ibunya.<br />‘’Sebaiknya mak minum obat batuk yang Mudien beli di apotek kemarin. Obat batuk hitam ini cukup manjur, mak. Cobalah,’’ kata Mudien memberikan obat batuk botolan itu ke ibunya. <br />Sejak usia muda, Mak Bibah sudah terbiasa jualan di pasar Calang. Tiap hari ia menjual kue-kue yang diambilnya dari beberapa pelanggan di kampungnya. Sepulangnya dari pasar, ia akan membeli beras dan kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi ayah Mudien sudah meninggal ketika pemuda itu baru berusia delapan tahun.<br />Untuk membantu beban ibunya, setamat dari sekolah, Mudien ikut Bang Jaffar dagang ayam potong di pasar Meulaboh. Dari hasil kerjanya ikut Bang Jaffar, ia menerima upah Rp 15 ribu sehari. Jadilah. Yang penting, setiap hari, ia memperoleh upah lumayan. Maka, selama tiga tahun ia bekerja, selain dapat membantu meringankan biaya hidup keluarga, hasil tabungannya digunakan untuk biaya meminang Meutia.<br />‘’Mak, saya mau pergi ke rumah Meutia. Kami mau foto berdua untuk kelengkapan akta nikah,’’ ujar Mudien pamit kepada ibunya.<br />‘’Apa tidak kepagian, Teuku? Jam segini studio foto belum buka. Lagi pula tidak enak pagi-pagi bertandang ke rumah gadis,’’ jawab Mak Bibah sembari membawa belanjaannya ke dapur.<br />‘’Nggak apa, Mak. Saya sudah janji dengan Meutia dan sebelumnya saya juga sudah minta ijin kepada kedua orang tuanya,’’ ucap Mudien.<br />‘’Apa mak dan bapaknya merestui?’’<br />‘’Ya, mak’’.<br />‘’Ya sudah, mak juga merestui. Pergilah ke sana. Baik-baik membawa anak gadis orang ya. Jangan kau apa-apakan dia. Kalian belum menikah,’’ begitu Mak Bibah berpesan.<br />‘’Insya Allah. Lun nak jak, Mak. Saya pamit dulu. Assalamu’alaikum’’. Teuku Mudien mencium tangan ibunya. <br />‘’Wa’alaikumsalam,’’ jawab Mak Bibah pelan. Suaranya seperti menggumam. Pandangan wanita tua itu mengiringi kepergian anak semata wayangnya dari ambang pintu rumah. Hmm, anak sekarang. kalau ingin memenuhi segala kemauannya, apa pun diterjang. Orang tua itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Setelah bayangan Mudien menghilang di kelokan jalan, Mak Bibah menutup pintu rumahnya.<br /> <br /> ***<br /><br />Di atas angkutan desa (angdes), Mudien dan Meutia membicarakan rencana pernikahan mereka. Pokoknya, segala persiapan untuk pesta pernikahan sudah dirancang sedemikian rupa. Tinggal pelaksanaan saja. <br />‘’Pesta ini hanya satu kali kita rayakan seumur hidup. Makanya, meski kita gelar secara sederhana, tapi harus meriah,’’ ujar Meutia dengan suara manja.<br />‘’Abang setuju’’.<br /> Ketika melewati jalan kecil antara Meulaboh dan Kecamatan Calang, kendaraan yang mereka tumpangi itu terasa terguncang. Getarannya begitu hebat. Serta-merta Meutia merasa kecut. Ia memeluk erat lengan Mudien.<br />‘’Ah, seperti ada gempa, Bang’’.<br />‘’Tampaknya begitu’’.<br />Sementara di luar kendaraan, tampak orang-orang kampung yang tinggal di pinggiran jalan berlarian ke luar rumah. ‘’Ada gempa, ada gempa!’’ begitu mereka berteriak hampir berbarengan. Dengan wajah cemas, secara bergerombol, mereka lari ke lapangan sembari menggendong dan menuntun anak-anaknya.<br />‘’Allahuakbar, Allahuakbar!!’’ suara beberapa orang kampung menyenandungkan azan di lapangan terbuka.<br />Untuk mengetahui situasi, Mudien melemparkan pandangannya lewat jendela mobil. Karena kendaraan tak dapat melewati perempatan jalan antara Meulaboh dan Kecamatan Calang, akhirnya angdes yang mereka tumpangi berhenti di antara kerumunan orang. <br />‘’Ada apa, Bu,’’ tanya Mudien kepada seorang ibu yang berlarian mengapit bayinya di gedongan.<br />‘’Ada gempa berkekuatan besar,’’ jawabnya dengan napas memburu. Wajah ibu itu pucat pasih. Sementara ratap pilu dari orang-orang yang berlarian ke sana-sini membuat suasana semakin gaduh tak karuan.<br />‘’Maaf, kami mau pergi dari sini, karena takut ada gempa susulan,’’ kata ibu tersebut buru-buru pergi dari tempat itu.<br />Tiga menit setelah orang-orang kampung Calang meninggalkan tempat itu, gempa kembali bergetar. Kali ini guncangannya lebih besar dari getaran sebelumnya. Perasaan Mudien ciut juga. Karena takut, Meutia memeluk lengan kekasihnya erat-erat.<br />‘’Mari Bang, kita pulang saja. Tia takut terjadi apa-apa dengan mak, bapak, dan adik-adik,’’ suara Meutia diwarnai perasaan cemas.<br />Di antara riuh kepanikan orang-orang kampung, suara azan semakin ramai berkumandang. Terutama setelah ada beberapa rumah penduduk yang ambruk. Allahuakbar, Allahuakbar!!<br />Sambil berpegangan erat Mudien dan Meutia melarikan diri sekuat-kuatnya. Dari mulut mereka berdua tak henti-hentinya meluncur lafas istighfar. Astaqfirullahalaziem! Selamatkan keluarga kami, ya Allah. Ampuni dosa-dosa kami ya Allah. Allahuakbar!<br />Ucapan-ucapan sakral itu pecah dari mulut semua orang yang mengalami guncangan gempa berkekuatan besar itu. Dalam kekalutannya, mata Mudien menyapu ke segenap arah. Ia mencari angdes yang membawa mereka dari kampungnya. Ternyata kendaraan itu sudah tidak ada di tempat. Ah, Mudien kecewa.<br />Kepanikan masyarakat semakin menjadi-jadi setelah terdengar deburan air yang mengejar dari arah pantai. Mudien dan Meutia segara memperkuat langkah larinya.<br />‘’Ya Allah, apakah hari akan kiamat?’’ itulah kekhawatiran yang muncul dari dalam diri Mudien dan Meutia.<br />Tak lama di antaranya, dari sebelah utara Kecamatan Calang, air laut setinggi pohon kelapa menyerbu ke daratan tempat orang-orang kampung berlarian. Mudien dan Meutia benar-benar kalut. Meski pun begitu, mereka tidak melepaskan pegangan. Bila perlu keduanya rela mati bersama. <br />Sembari menghindari kejaran gelombang air laut yang berwarna keruh kehitaman, kedua sejoli itu berlari kencang bersama ratusan penduduk kampung Calang yang berserabutan mencari dataran lebih tinggi.<br />Malang tak dapat ditolak, mujur pun tak dapat diraih, Mudien dan Meutia akhirnya tergulung gelombang yang maha dahsyat itu. Dalam gelutan ombak yang memporak-porandakan apa pun di daratan, Mudien tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya pasrah terhadap Sang Takdir. Meutia yang ia cintai terlepas dari pegangannya. Ya, Allah!<br />Meski pun begitu, dalam gelutan ombak yang tak terkira dahsyatnya, kesadaran Mudien masih penuh. Sesekali, pandangan matanya masih sempat melihat kepingan-kepingan seng dan papan rumah penduduk luluh lantak disapu ombak. Sementara tubuh orang-orang kampung yang hanyut diterjang air laut, terhumbalang ke sana-sini. Tampaknya, ombak yang bergelombang dahsyat itu datang secara berlapis dan menggulung apa saja yang ada di daratan.<br />Mudien tak kuasa berteriak minta tolong. Pada saat gelombang tsunami yang maha dahsyat itu datang melimpahkan keganasannya, siapa yang dapat menghalangi keperkasaan-Nya? <br />Ternyata Tuhan berkehandak lain. Nasib Mudien masih mujur. Baju dan celananya yang compang-camping dihempas tsunami itu, secara kebetulan tersangkut di pelepah pohon kelapa. Akhirnya, seretan ombak yang menghanyutkan tubuh Mudien sejauh 15 kilometer, terhenti di sana. ‘’Ya Allah. Hanya mukjizat-Mu saja yang membuat hamba ini dapat terdampar di pelepah pohon ini’’.<br />Begitu gelombang reda, suasana di sekelilingnya luluh-lantak rata dengan tanah. Untunglah, ketika gelombang laut menyeretnya sejauh belasan kilometer, ia tidak terminum air berlumpur hitam itu, sebab, saat diterjang ombak, kesadarannya tetap terjaga. <br />Pengalaman hidup di luar akal sehat itu membuat perasaannya miris. Padahal Mudien sudah terbiasa dengan penderitaan hidup yang pahit. Dan, selama ini ia tidak pernah menangisi penderitaan hidupnya. Tapi ketika ia mengalami bencana alam yang dahsyat seperti itu, Mudien menangis juga. Ia tak kuasa membendung kesedihannya. Terutama setelah Meutia terlepas dari pegangannya, sehingga nasibnya tak diketahui. <br />‘’Meutia, dimana kamu?’’ sambil menangis meraung-raung, Mudien memanggil kekasihnya. Perasaannya semakin terguncang tatkala ia pun terkenang keselamatan ibunya di rumah.<br />Setelah gelombang reda, pelan-pelan Mudien turun dari pohon kelapa. Di atas tanah yang porak-poranda, Mudien justru bingung. Entah apa yang harus ia lakukan. Yang pasti, karena guncangan jiwa yang begitu hebat, lelaki muda itu hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa. Lama sekali ia tertegun di sana, hingga akhirnya ada seorang lelaki setengah baya menegurnya.<br />‘’Adik, mari kita pergi dari tempat ini. Tapi kau harus hati-hati, karena kepingan kayu dan seng rumah penduduk yang dihanyutkan banjir ini dapat melukai kaki kita,’’ kata orang itu sembari meraih lengan Mudien.<br />Pada saat yang sama, dari arah barat, datang lima orang korban gulungan gelombang tsunami. Pakaian mereka berantakan. Salah seorang perempuan di antara mereka menangisi keadaannya. Untunglah, lelaki paruh baya yang menuntun Mudien itu pandai membujuk dan menyejukkan perasaan wanita itu. Akhirnya wanita itu mengucapkan istighfar secara berulang-ulang.<br />‘’Adik-adik, kita tidak usah larut dalam kesedihan ini. Kita semua sedang dilanda kesedihan dan kepedihan yang dalam. Namun kita harus ingat, bahwa semua bencana yang datang, tidak terlepas dari kodrat yang Ia tentukan. Yakinlah, di balik semua ini pasti ada hikmah bagi kita semua,’’ begitu lelaki itu menyejukkan suasana hati orang-orang di sekelilingnya.<br />‘’Adik mau kemana?’’ tanya lelaki itu pada Mudien.<br />‘’Saya ingin mengetahui kondisi ibu dan calon isteri saya, Pak. Sebelum gelombang laut datang, saya mau foto berdua dengan calon isteri saya. Dalam gulungan ombak, ia terlepas dari pegangan saya,’’ ucap Mudien bercucuran airmata.<br />Lelaki itu berkerut dahi. ‘’Di mana rumahmu?’’<br />‘’Di kampung Calang’’.<br />‘’Wah, jauh dari sini, rupanya. Kalau begitu, kau harus melewati jalan ini, kemudian belok ke utara. Pelan-pelan saja. Jangan terburu-buru. Kalau nasib baik, kau pasti akan bertemu ibu dan calon isterimu. Pergilah. Hati-hati, ya? ’’. <br />Mudien tak kuasa berbicara. Hanya airmatanya saja yang bercucuran tanpa henti. Ia menyalami orang itu dan segera berlalu dari sana.<br />Ketika ia tiba di kampung kelahirannya, suasana di sana sudah tak bisa dikenali lagi. Rumah tempat ia tinggal sejak kecil bersama ibunya, tercerabut oleh ganasnya gelombang tsunami. Akibat terjangan ombak, kampung tempat ia tinggal menjadi gundukan sampah yang bertebar di sana-sini. Tak ada lagi suara kicau burung. Dan, tak terdengar lagi suara ibunya yang melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Semuanya musnah. Segalanya binasa. Menyaksikan itu, perasaan Mudien sangat terpukul. Airmatanya kembali bercucuran. Oh emak, apakah mak selamat? <br /> <br /> ***<br /><br />Sudah sepekan Mudien bertualang ke beberapa tempat untuk mencari informasi mengenai keberadaan ibu dan calon isterinya. Di posko-posko yang ia singgahi, Mudien tidak menerima kabar tentang keberadaan Meutia dan orang tuanya. Seolah kedua orang yang ia cintai itu raib ditelan bumi.<br />Ia benar-benar lelah. Pakaian yang ia kenakan sudah sangat lusuh. Itu pun ia peroleh dari posko bantuan di Kota Teunom, karena baju yang ia kenakan sudah compang-camping saat dihantam tsunami pada hari pertama gempa.<br />Sampai hari ketiga belas ia mencari tahu tentang keberadaan ibu dan keluarga Meutia, tapi sia-sia. Semua petugas posko bantuan hanya mengatakan belum menerima kabar tentang mereka. Oh Tuhan, kemana aku harus menemui mereka?<br />Dalam kondisi seperti itu, Mudien sudah tidak peduli lagi dengan kondisinya sendiri. Yang ada di pikirannya sekarang, kemana ia harus mencari keluarganya. Bahkan, himpitan batinnya yang begitu berat, tampaknya melampaui batas realita berpikir. Akibatnya, Mudien mengalami depresi hebat. Tiap mayat perempuan muda yang tergeletak di tepian jalan, dalam pandangannya adalah Meutia. Ia menangis sejadi-jadinya. Terkadang tangisan itu disertai gelak tawa menyayat. Apakah Mudien sudah gila?<br />‘’Adik, kuatkan batinmu. Ini cobaan buat kita semua. Kau jangan hanyut dalam arus kesedihan yang dalam. Karena hanya kau sendirilah yang dapat mengatasi kemelut ini. Bangkitlah. Tuhan tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Ingat itu,’’ suara lelaki separuh baya yang pernah ketemu Mudien di kampung Calang pada hari pertama badai tsunami melanda, menegur pemuda itu.<br />Tiba-tiba kesadaran Mudien pulih setelah lelaki itu menepuk bahunya pelan.. ‘’Astaghfirullah. Ada apa dengan saya? Oh, bapak rupanya. Kok bapak tahu saya ada di sini?’’<br />‘’Tak usah kau tanyakan itu. Dalam kondisi seperti ini, kita harus saling membantu. Apalagi masa pencarianmu masih panjang. Ayo bangkit. Cari ibumu di posko pengungsian Kota Banda Aceh. Barangkali ia ada di sana,’’ kata lelaki itu. Mimiknya sangat serius.<br />Antara percaya dan tidak, Mudien memandang lekat-lekat ke arah lelaki itu. Dari hari pertama badai tsunami meluluh-lantakkan Kecamatan Calang, lelaki inilah yang pernah membangkitkan semangatnya. Ketika batinnya sudah terlalu lelah, lelaki ini pula yang mendorong semangatnya. <br />‘’Siapakah bapak?’’<br />Lelaki itu hanya tersenyum. ‘’Nanti kita ketemu lagi. Pergilah ke Banda Aceh. Meski calon isterimu hilang, yang penting ibumu harus ditemukan. Sebaiknya kau ikut kendaraan militer yang akan memasok bahan makanan dan obat-obatan ke sana. Cepatlah, nanti kau ketinggalan,’’ katanya.<br />Meski digayuti tanda-tanya mengenai lelaki misterius itu, akhirnya Mudien mengikuti anjurannya. Ia mendatangi beberapa petugas untuk minta ijin diajak ikut truk militer yang akan mengantar obat-obatan ke posko pengungsian di Banda Aceh.<br />Dengan penuh selidik, para petugas itu memperhatikan keadaan Mudien. Lalu seorang di antaranya yang berwajah angker mengajukan pertanyaan, ‘’Ada keperluan apa anda ke sana?’’.<br />‘’Saya akan mencari ibu saya, Pak. Saya sudah mencarinya ke sana-sini, tapi tidak ditemukan juga. Ada kabar dari seseorang, ibu saya diungsikan ke posko pengungsian Banda Aceh. Makanya saya minta ijin ke bapak agar saya diajak serta pergi ke sana. Selain ibu, saya sudah tidak punya apa-apa lagi, Pak. Mohon ijinkan saya ikut truk ini’’.<br />Wajah Mudien begitu memelas. Melihat kondisinya, petugas itu menjadi iba. ‘’Silakan. Tapi anda harus duduk berdesakan dengan barang kiriman ini’’.<br />‘’Tidak masalah. Terima kasih, Pak’’.<br />Cuaca siang itu cukup panas, membuat suasana di posko pengungsian itu benar-benar sumpek. Ratusan pengungsi yang berjubel di sana membuat kondisi dalam tenda sangat menyesakkan. Suara tangis anak-anak dan erangan orang-orang terluka di tenda pengungsian itu menyentuh perasaan setiap orang.<br />Mudien turun dari truk militer. Ia segera ke tenda. Matanya menyapu ke setiap pengungsi yang ada di sana. Ada yang duduk meratapi nasibnya. Ada pengungsi yang mengerang kesakitan karena menderita luka yang cukup parah. <br />Di antara petugas medis yang sibuk bekerja, di sudut kanan posko terdapat seorang wanita tua duduk di atas kotak kayu. Matanya memandang hampa ke satu titik. Sementara mulutnya komat-kamit, sambil sesekali ia tertawa sendiri.<br />‘’Mak, emak,’’ begitu Mudien berteriak memanggil ibunya. Suaranya meninggi, sehingga pandangan semua orang nyaris mengarah ke dirinya. Ia merangkul tubuh ibunya. Pipi dan rambut ibunya yang putih menyeluruh itu diciumi Mudien. Namun wanita tua itu tidak bereaksi. Kondisi Mak Bibah seperti patung hidup. Tampaknya ia mengalami guncangan batin yang teramat hebat. <br />Melihat kondisi ibunya seperti itu, jiwa Mudien kembali terguncang. Ia sudah kehilangan tempat tinggalnya. Ia juga kehilangan calon isterinya. Namun yang lebih berat pukulan batinnya adalah kehilangan ingatan ibu yang ia kasihi. Ia sudah kehilangan segala-galanya. Yah Allah! Mudien berteriak histeris lalu terkulai tak sadarkan diri. (*)Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-83044899721909448692008-02-22T23:37:00.002-08:002008-02-22T23:38:51.628-08:00Cerpen (4)Paket Lebaran Penebar Maut<br /><br /><br /><br />Hari kedua puluh Ramadan, keluarga muslim pasti repot untuk persiapan Idul Fitri. Terutama memersiapkan pakaian baru untuk anak-anak mereka. Namun tidak demikian dengan Nek Onik. Kemiskinan yang menjerat sepanjang kehidupannya, sangat sulit untuk mengikuti cara keluarga berada yang sudah lebih dulu mempersiapkan diri menyambut hari lebaran.<br />‘’Ya Allah, beri jalan keluar untukku Ya, Sang Pemberi rezeki. Kasihanilah nasib kedua cucuku ini. Mereka sudah bertahan untuk puasa sebisanya. Beri kesempatan kepada mereka untuk ikut bergembira di hari lebaran tahun ini,’’ begitu Nek Onik bermunajat kehadirat Ilahi dengan suara bergetar. <br />Selepas salat subuh tadi, airmatanya mengucur deras bak mutiara ke pipinya yang keriput. Apalagi saat ia memperhatikan dua cucunya yang masih tergolek di tempat tidur terbuat dari kayu bekas kemasan mesin jahit itu, begitu menguras perasaan ibanya. Sebelum pulas, Melati dan Kenanga berharap neneknya dapat membelikan baju baru untuk mereka, setelah terjaga dari tidur nanti. Ah, kemana aku harus mencari uang pembeli baju baru untuk kedua cucuku itu?<br />Nek Onik masih ingat bagaimana sore tadi kedua cucunya minta dibelikan pakaian baru seperti anak tetangga teman main mereka yang sudah dibelikan orang tuanya. Meski tidak memaksa neneknya, namun dari sorot mata kedua anak itu yang berkaca-kaca, mereka tentu minta dibelikan baju baru untuk lebaran.<br />‘’Sabar nak, ya. Nanti nenek ikut antre paket lebaran di kantor majikan nenek dulu. Kalau dapat, nenek janji akan membelikan pakaian untuk kalian berdua, ya,’’ begitu Nek Onik berusaha menyenangkan perasaan cucunya. <br />Tapi di balik hatinya yang terdalam, tersisip perasaan perih seperti ditusuk sembilu. Terutama ketika ia membayangkan bagaimana kedua cucunya begitu gembira mendengar ucapan neneknya yang janji akan membelikan baju lebaran.<br />‘’Horeee, Nenek akan membelikan baju baru untuk kita, Kenanga,’’ kata Melati kepada adiknya. Sikapnya yang lucu memaksa senyum Nek Onik merekah di bibirnya yang keriput. Melati menari-nari sembari menghayal memperagakan baju baru yang akan dibelikan neneknya nanti.<br />Hmm, sampai di situ Nek Onik sadar, apakah jika berhasil mendapat paket lebaran dari PT Onik Jaya Perkasa nanti cukup untuk membeli baju baru bagi kedua cucunya?<br />Orang tua yang pernah kena stroke ini berjalan tertatih ke tempat tidurnya. Ia membuka lipatan alas tidurnya. Di bawah lipatan kain itu terdapat ponjen (kantong uang dari kain) yang sudah kucel. Dalam ponjen itulah biasanya Nek Onik menyisakan sedikit keuntungan dari hasil dagangannya tiap pagi.<br />Jika tidak bulan puasa, biasanya Nek Onik mengambil dagangan ke pemubuat roti dan kue di kampungnya. Tiap hari, untuk menghidupi dua cucunya, Nek Onik berjualan roti goreng dan kue-kue. Ia menjajakannya ke seputaran kampung tempat ia bermukim. Jika nasib lagi bagus, Nek Onik masih memperoleh keuntungan sebesar Rp 20 ribu. ‘’Lumayan nak, untuk membeli dua kilogram beras, sayur, dan ikan asin buat makan dua cucuku,’’ tutur Nek Onik saat diwawancarai seorang wartawan penulis feature, beberapa waktu lalu.<br />Di bulan puasa ini, Nek Onik terpaksa harus libur. Ia tidak jualan kue. Namun untuk mengisi kekosongan aktivitasnya, orang tua itu membuat cendol dan dijualnya ke emperan pasar. Yah, meski untungnya tidak banyak, tapi cukup untuk mengatasi kebutuhan hidup dengan dua cucunya di rumah.<br />Ia melepas tali pengikat ponjen tersebut. Kemudian kantong uang itu dikuaknya. Dari dalam ponjen tersebut Nek Onik mengeluarkan uang recehan simpanannya. ‘’Wah, kalau uang simpananku ini dipakai untuk membeli baju cucuku, apakah aku bisa jualan cendol lagi. Ah, bagaimana ini?’’. <br />Nek Onik memutar otak untuk menggunakan uang simpanannya. Digunakan atau tidak? Tidak atau kugunakan untuk membeli baju cucuku? Ah, pikirannya jadi buntu. Tiga tahun lalu, Nek Onik harus menanggung beban untuk menghidupi Melati dan Kenanga. Beban berat itu terpaksa harus ia lakukan, karena Farida anaknya (ibu Melati dan Kenanga), tewas dibantai musuh suaminya.<br />Herman, suami Farida, pernah merampok toko emas dengan temannya, Firza. Tapi saat keduanya berhasil mengambil sekitar dua kilogram emas dari toko tersebut, Firza tertangkap polisi. Sedangkan Herman buron hingga sekarang.<br />Sepulang dari penjara, Firza berkunjung ke rumah Farida. Lelaki itu minta bagian emas hasil rampokan mereka kepada Farida. Meski Farida sudah bersumpah atas nama Allah bahwa dia tidak tahu sama sekali mengenai emas tersebut, Firza tidak percaya. Bahkan emosinya menggelegak tak terkendali. <br />Dengan sebilah parang tajam yang ia persiapkan sejak mendatangi rumah Farida, wanita malang itu tewas dibacok Firza dengan dua belas tebasan. Saat itu, leher Farida nyaris putus. Untunglah saat pembunuhan itu terjadi, cucunya Kenanga dan Melati sedang istirahat di rumah Nek Onik. <br />Mengenang kejadian tragis yang menimpa anaknya itu membuat Nek Onik trauma. Tapi orang tua ini selalu berdoa kepada Sang Pencipta, agar batinnya selalu terjaga. Kekuatan doa itulah yang membuat ia masih bertahan hidup hingga sekarang.<br />‘’Nek, mengapa Nenek menangis? Apa yang membuat nenek bersedih?’’ suara Melati membuyarkan lamunan Nek Onik.<br />‘’Ooo, tidak Nak. Nenek tadi membersihkan kolong tempat tidur nenek. Wuih, banyak sekali debunya. Makanya mata nenek kelilipan,’’ tukas Nek Onik mencoba tersenyum. <br />‘’Oo, Melati kira nenek menangis’’.<br />Nek Onik tersenyum sembari menggelengkan kepala. Ia memeluk dan menciumi cucunya yang baru bangun tidur itu. ‘’Hmm, bau ompol,’’ ucap Nek Onik menutup lobang hidungnya. Ia pun lalu tertawa renyah. Sembari menimang cucunya, Nek Onik menyuruh Melati mandi. ‘’Supaya tubuhmu segar, ayo mandi. Air sumur bagus untuk kesegaran tubuh kita pada pagi ini. Nanti nenek timba untuk kamu mandi, ya’’.<br /><br /> ****<br /><br />Setelah menitipkan Melati dan Kenanga kepada tetangganya, Nek Onik pergi ke PT Onik Jaya Perkasa untuk antre paket lebaran. Kebetulan ia dapat kupon dari petugas paket lebaran dari perusahaan tersebut yang sengaja membagikannya ke warga tidak mampu di kampung Nek Onik.<br />Padahal, pemilik PT Onik Jaya Perkasa (Hadi Jaya Subrata) pernah menjadi majikan Nek Onik. Ia bekerja dengan Pak Hadi selama 15 tahun. Sebelum dia memiliki perusahaan, Pak Hadi hanya seorang PNS golongan rendah. Sedangkan ayahnya pernah menjadi pengusaha kayu. Karena bahan bakunya habis, panglong ((pabrik penggergajian kayu) itu tutup. Karena itu di bekas areal panglong ayahnya banyak potongan kayu yang tidak termanfaatkan.<br />Nek Onik, saat mudanya di Jawa dulu, pernah bekerja sebagai perajin kayu bekas. Potongan kayu itu dibuat sajadah, tirai, dan tikar kayu untuk ruang tamu. Namun potongan kayu itu terlebih dulu dibubut, dihaluskan, dan dipolitur, kemudian disambung satu sama lain dengan drat sambungan. Hasil karyanya begitu memikat. Karena itu banyak pesanan dari luar Pulau Jawa yang meminta sajadah kayu bikinan Onik dalam jumlah besar.<br />Idenya itu disampaikan ke Pak Hadi. Seperti gayung bersambut, majikannya menerima ide tersebut. Baru dua bulan Hadi Subrata mengusahakan potongan kayu bekas di areal panglong ayahnya, sudah banyak pesanan dari luar kota. <br />Karena omzet pesanan kian meningkat, Pak Hadi membuka perusahaan dengan mengambil nama Nek Onik (PT Onik Jaya Perkasa). Tapi setelah perusahaannya besar, Hadi Jaya Subrata membuka cabang di Jakarta. Sedangkan manajemen PT Onik Jaya Perkasa di Palembang diserahkan ke adiknya. Sebelum pindah ke Jakarta, Pak Hadi meminta ke adiknya agar memperhatikan kebutuhan Nek Onik sehari-hari. ‘’Karena usaha ini berkat jasanya,’’ kata Pak Hadi kepada Pamuji.<br />Meski Pamuji menyetujuinya, tapi hingga kini ia tidak pernah mewujudkan pesan dan permintaan kakaknya. Itulah momen terakhir yang memisahkan Nek Onik dengan keluarga Hadi Jaya Subrata.<br />Antrean paket lebaran di PT Onik Jaya Perkasa sudah demikian panjang. Nek Onik merasa tidak berdaya ikut antre bersama orang ramai. Ia mencoba menemui Pak Pamuji. Tapi petugas paket lebaran melarangnya dengan gaya bahasa yang sangat ketus,’’Pak Pamuji tidak ada di tempat. Nenek harus ikut antre. Ayo, ke sana!’’. Petugas itu mendorong tubuh Nek Onik yang renta.<br />Meski hatinya sakit mendengar hardikan petugas tersebut, namun Nek Onik tak punya pilihan lain. Ia pun akhirnya ikut antre. Saat paket lebaran mulai dibagikan cuaca siang begitu terik. Karena kegerahan, suasana mulai kacau. Saling dorong pun terjadi. Posisi Nek Onik yang berada di dua jalur kekuatan itu pun terjatuh. Ia terinjak-injak para pengantre. Suara teriakan minta tolong dari mulut wanita tua itu sia-sia. Orang-orang mulai kesetanan untuk mengambil paket lebaran yang dibagikan. <br />Petugas paket tak dapat mengatasi kekalutan tersebut. Saat polisi datang ke tempat kejadian, nyawa Nek Onik sudah melayang. Ia tewas seketika dalam kekacauan itu. Dari mulut Nek Onik meleleh darah segar. Dengan wajah pucat orang-orang yang ikut atrean tersebut hanya mampu saling pandang seperti orang tolol. (*)<br /><br />5 September 2007Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-3482649550058351432008-02-22T23:37:00.001-08:002008-02-22T23:37:51.545-08:00Cerpen (3)Bohak<br /><br /><br /> MALAM semakin tua. Cahaya bulan berwarna keemasan di langit lepas, menerobos lewat kisi-kisi dinding penjara. Bulatnya sudah tidak benjol lagi. Itu pertanda, usianya sudah memasuki hitungan keempat belas hari penuh. <br /> Sementara dengkur napas para narapidana yang sudah terlelap sejak selepas isya, terdengar beragam. Seolah di sel tahanan berukuran satu setengah kali dua meter itu sedang diadakan latihan pernapasan bersama.<br /> Namun pada malam berakhirnya masa penahanannya di rumah tahanan itu, Bohak tak dapat memejamkan mata. Padahal sejak tadi ia sudah menguap berkali-kali. Ada perasaan gembira setelah selama 15 tahun ia menjadi penghuni sel tahanan nomor 8B, karena besok, tanggal 17 Agustus, ia akan bebas menghirup udara segar lagi, di luar tembok penjara.<br /> Karena itu, bermacam khayal indah berputar-putar di benaknya. Di lantai tahanan yang dingin, dengan berbantal lengannya sendiri, pikirannya melayang ke anak dan istrinya yang ia tinggalkan. Membayangkan nasib anak dan istrinya yang sangat menyayanginya selama ia menjalani proses hukum, ia jadi menangis sendiri. Ah, alangkah luhurnya sikap istriku. <br /> Bahkan, selama di penjara, istri dan kedua anaknya selalu membesuknya. Dalam perjumpaan sesaat itulah, ia selalu mengutarakan berbagai persoalan dengan keluarganya. Barangkali, hal itu pulalah yang menyadarkan dirinya bahwa berpisah dengan keluarga sangat tidak menyenangkan. Ia kerapkali mendekap perasaan rindu terhadap anak dan istrinya. Hal ini pulalah yang membuat kepekaan sosialnya semakin menebal.<br /> Selama mendekam di penjara, ia tidak pernah berbuat gaduh atau memberi "salam perkenalan" (menyiksa) kepada tahanan baru. Padahal namanya sangat disegani di lembaga pemasyarakatan itu.<br /> Ia sudah bersumpah kepada dirinya sendiri, untuk tidak melakukan perbuatan buruk lagi, meski dalam bentuk apapun juga. Bahkan, jika ada sesama napi yang berbuat kasar terhadap "pendatang baru", sikap Bohak justru menjadi "pahlawan". Tak heran jika di antara sesama napi, Bohak dianggap sebagai narapidana yang dituakan.<br /> ''Ya Allah, ampuni dosa hamba-Mu ini. Setelah bebas dari hukuman ini, hamba berjanji pada diri sendiri, untuk tidak berbuat dosa lagi,'' ujar Bohak dalam doa terakhir sehabis salat tahajud. <br /> Air matanya menggenang dan meluncur ke permukaan pipi. Ia mamasrahkan diri setulus-tulusnya kepada Sang Maha Pengampun. Cucuran air matanya benar-benar melumatkan keangkaramurkaan di dalam dirinya.<br /> Tepat di usianya ke-42 tahun itu, Bohak benar-benar sadar. Sebab, selama ini, hampir separuh dari hidupnya, ia selalu tenggelam di dunia hitam. Jika tidak mencuri, ia merampok nasabah bank yang membawa uang jutaan rupiah. Modalnya cuma nekat dan senjata api rakitan. <br /> Jika melawan, Bohak tidak segan-segan menembak atau melukai mangsanya. Pokoknya, di dunia hitam, nama Bohak dikenal sebagai perampok ganas dan sangat kejam. <br /> Setelah terakhir ia merampok direktur sebuah perusahaan konstruksi di kotanya, ia tertangkap. Direktur tersebut ia tembak di bagian kepalanya. Karena itu hukuman yang harus dijalaninya di penjara semakin berat setelah sang direktur tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. <br /> Akibat aksinya, ia terpaksa harus mendekam selama 15 tahun setelah palu hakim berdentang menghantam meja hijau sebanyak tiga kali. Dia terhentak. Hantaman palu itu menggetarkan hatinya. <br /> Perasaan takut dan bersalah pun menghimpit sanubarinya. Ia menangis di depan hakim. Dalam persidangan itu, ketika ditawarkan apakah Bohak akan naik banding, ia cuma menggeleng. Bahkan ritme tangisnya semakin mengguncang tubuhnya. Ia terhenyak ke lantai ruang sidang. Peci penutup kepalanya terjatuh di lantai. Jangankan berdiri, untuk mengambil peci itu pun Bohak tak mampu. <br /> Padahal, seberat apapun persoalan yang ia hadapi selama ini, ia tetap tegar dan angkuh. Tak setitik air mata pun tumpah ke pipinya. Sikapnya yang angkuh itulah makin memberi kesan bahwa Bohak benar-benar penjahat kejam. Itulah gambaran 15 tahun lalu, ketika Bohak yang masih tegar dan angkuh itu, harus dipapah keluar dari ruang sidang. <br /><br /> ***<br /> Pukul 9.30 WIB, Bohak dipanggil Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) di kotanya. Ia harus menandatangani surat pembebasannya. Wajah Bohak tampak cerah. Terutama sorot cahaya matahari pagi yang membias dari kaca jendela ruang kerja Kalapas, memantul ke wajahnya.<br /> ''Anda tahu bahwa masa hukumanmu berakhir hari ini?'' tanya Kalapas. Raut wajah Kalapas yang berkumis tebal itu benar-benar berwibawa.<br /> Bohak tak mampu menjawab. Ia hanya mampu menganggukkan kepala. Padahal, jika mengingat mentalnya dulu, dalam proses verbal di hadapan polisi, ia sanggup bertatap mata secara tajam dengan petugas. Sehingga wajahnya pernah pecah dan berdarah dihantam popor senjata, karena petugas yang memprosesnya merasa tersinggung dengan tatapan mata Bohak yang tidak bersahabat itu.<br /> ''Kok Anda melamun? Tidak ada kegembiraan menyambut hari pembebasanmu?'' suara Kalapas membuyarkan lamunannya.<br /> ''Oh, maaf Pak. Karena terlalu gembira, pikiran saya sejenak melayang ke anak istri saya, Pak,'' jawab Bohak sekenanya.<br /> Kalapas tersenyum. ''Istrimu sudah menunggu di ruang besuk. Sudah sejak dua jam lalu ia menantikan kepulanganmu,'' ujar Kalapas.<br /> ''Terima kasih Pak.'' <br /> Kalapas hanya mengangguk. ''Saya berharap Anda tidak pernah masuk kesini lagi. Untuk itu, perbaiki sikap Anda di dalam hidup bermasyarakat. Tidak ada yang lebih berharga selain dari sebuah kebebasan dalam melaksanakan tanggung jawab hidup. Karena itu, berbuat baiklah sesama makhluk hidup.'' <br /> Nasihat Kalapas itu benar-benar menyentuh perasaan Bohak. Mau tak mau, air matanya menggenang di pelupuk mata. ''Saya akan mengingat segala nasihat Bapak,'' kata Bohak dengan suara tersendat menahan tangis.<br /> ''Nah, tanda tangani berkas pembebasanmu ini,'' ujar Kalapas sembari menyodorkan seberkas akta pembebasan Bohak.<br /> Dengan tangan gemetar karena haru, Bohak segera menandatangani berkas pembebasannya. Saat itu, tepat di luar ruang kerja Kalapas, terdengar suara burung murai yang berkicau merdu. Bohak jadi teringat dengan sejumlah burung peliharaannya di rumah. "Ah, burung-burungku, apa kabar kalian." Demikian bisik hatinya.<br /> ''Silakan, sekarang Anda sudah bebas. Anda akan diantar oleh sipir kami.'' Kalapas menyodorkan tangannya. Bohak menyambut hangat. Selepas bersalaman, Bohak diantar dua orang sipir keluar dari penjara.<br /> Di pintu depan, ia sudah dinantikan istri dan keluarganya. Dengan tangan terbuka, sang istri menyambut hari pembebasan Bohak. Lama sekali ia memeluk istrinya.<br /> ''Istriku, selepas ini, aku tidak ingin melakukan hal-hal yang merugikan orang lain lagi. Dengan sisa uang simpanan yang ada, aku akan membangun keluarga kita. Agar kedua anak kita itu kelak menjadi manusia-manusia terhormat,'' ujar Bohak berbisik di telinga istrinya.<br /> ''Semoga saja, Mas. Aku berharap pembebasanmu menjadi momentum bagi kemajuan keluarga kita,'' jawab istrinya yang sudah sejak tadi dihujani tangisan haru.<br /> Begitu dramatik pertemuan antara suami-istri itu. Karena secara fisik, mereka telah dipisah oleh tembok penjara yang kokoh, selama 15 tahun. Karena itu, istrinya tak begitu saja melepas pelukannya. Segala kerinduan, keharuan, dan perasaan marah yang tertunda, dilampiaskannya lewat pelukan itu.<br /> ''Selama ini, kau benar-benar seorang bajingan yang tak bertanggung jawab, Mas,'' cetus istrinya dengan nada pelan dan tersedak oleh tangisan.<br /> ''Yah, aku memang bajingan yang tak bertanggung jawab. Tapi yakinlah, untuk ke depan, aku berjanji akan berusaha untuk mengangkat derajat keluarga kita,'' jawab Bohak. Ia tak tersinggung dengan ucapan istrinya yang cukup pedas di telinga. Karena ia sadar, istrinya punya hak untuk melampiaskan segala kekecewaan dan kemarahan yang mengendap selama ini.<br /> ''Ungkapkan segala kemarahanmu, agar segala himpitan batinmu selama ini dapat terbebas. Karena kebebasan dalam bentuk apapun, sangat bernilai bagi siapa saja. Aku menghargai itu, istriku.''<br /> Sekarang, Bohak benar-benar paham arti kebebasan. Dengan kata lain, kebebasan bagi makhluk hidup, ibarat ikan tak dapat dipisah dari air.<br /> Justru, selama di penjara, kebebasan Bohak dibelenggu oleh petak ruangan yang teramat membosankan. Ia berbaur dengan bermacam sikap para pelanggar hukum yang sadis dan sok jagoan. ''Hmm, aku muak sekali.''<br /> Setibanya di rumah, semua burung peliharaannya ia lepas, termasuk burung nuri kesayangannya yang sudah pandai bicara itu.<br /> ''Pergilah burung-burungku. Kembalilah ke habitat kalian. Karena kalian berhak mengenyam kebebasan di dunia ini. Bebaslah!'' begitu suara Bohak saat melepas sejumlah burung peliharaannya.<br /> ''Bebaslah, bebaslah,'' terdengar suara cadel burung nuri kesayangannya, membeo suara tuannya sendiri. Satwa cantik berwarna-warni itu terbang ke ranting pohon jambu air. Seolah ia mengisyaratkan salam perpisahan kepada tuannya. Bohak tersenyum. Tak sadar tangannya melambai ke burung kesayangannya yang menghilang di rerimbunan daun.<br /> <br />Palembang, 25 Juni 2003Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-72358401988560298342008-02-22T23:35:00.000-08:002008-02-22T23:36:34.908-08:00Cerpen (2)PAK HAJI DOBLANG<br /><br /><br /> SEJAK dua tahun terakhir, aku kurang simpatik dengan sikap Pak Haji Doblang. Selain angkuh, ia juga kurang menghargai orang lain. Mentang-mentang orang kaya dan punya rumah mentereng, seolah ia tidak butuh adanya kehadiran orang lain.<br /> Ketidaksukaanku terhadap sikap Pak Haji Doblang semakin tajam, tatkala aku melihat sendiri, ia mengusir seorang pengemis dan menghardiknya pergi. Bahkan, dengan tongkatnya ia mengancam akan memukul pengemis tua yang tampak kelaparan itu.<br /> ''Pergi sana. Aku sudah berkali-kali memberi uang kepada sekian banyak pengemis. Karena itu, sebelum kesabaranku hilang, aku harap kau hengkang dari sini!'' begitu hardik Haji Doblang dengan mimik marah. Roman mukanya merah padam. <br /> Sedangkan tongkat yang ada di tangannya nyaris mengenai tubuh sang pengemis. Dengan tubuh gemetar, pengemis itu tampak pasrah. Kalau Haji Doblang memukul dengan tongkat yang dipegangnya, sang pengemis, pasti tak mampu mengelak.<br /> Ya Allah, alangkah kejinya sikap Haji Doblang. Terhadap orang miskin yang butuh pertolongan, ia bersikap kasar. Begitukah sikap orang kaya yang sudah pergi ke tanah suci? Pertanyaan ini mengusik sanubariku. Namun dari lubuk sanubari itu pula ada jawaban bahwa tidak semua orang kaya bersikap seperti Haji Doblang.<br /> Airmataku meleleh melihat keadaan pengemis itu. Dengan tubuh lunglai dan rasa takut yang menggigit perasaan, pengemis itu berlalu dari pelataran rumah Haji Doblang.<br /> Aku merogoh saku celana. Ah, uangku tinggal dua ribu rupiah lagi. Padahal, uang itu sudah kucadangkan untuk ongkos oplet ke tempat aku bekerja. Tapi, ah, lebih baik aku berikan saja ke pengemis itu. Karena ia lebih membutuhkan uang tersebut daripada aku sendiri.<br /> Namun aku kaget setengah mati, setelah melihat ke arah kepergian sang pengemis, ternyata ia sudah tidak ada di tempat. Padahal, aku perkirakan, luas lapangan rumah Haji Doblang, sekitar enam ratus meter persegi. Sedangkan langkah pengemis itu lambat dan tertatih. Wah, alangkah cepatnya pengemis itu menghilang. Aneh!<br /><br /> **<br /> Selepas salat dzuhur di mesjid yang biasa kusinggahi, aku menyandarkan tubuh ke dinding berporselen putih. Para jemaah salat sudah banyak yang meninggalkan ruangan. Hanya aku sendiri masih betah duduk di sana. Apalagi siang itu cuaca sangat panas. Sedang di dalam mesjid, udaranya begitu sejuk, sehingga aku malas keluar dari ruang salat. <br /> Di ruang itu, pikiranku agak tenteram. Namun peristiwa pagi tadi tetap mengusik perasaanku. Padahal aku sudah berusaha keras untuk melupakannya. Tapi karena sikap Haji Doblang yang kasar dan sombong telah melukai perasaan orang miskin, gejolak perasaanku tak mudah melupakan peristiwa itu. <br /> Hmm, Pak Haji Doblang, pengusaha kayu yang bertubuh tambun itu, tidak sadar kalau harta yang berlimpah miliknya akan melaknat dirinya sendiri jika kelak ia datang menghadap Sang Mahakaya. <br /> Padahal, sekian persen dari harta yang ia miliki itu ada milik orang lain. Apalagi kayu-kayu yang ia jual ke pasar bebas di ibukota adalah hasil tebangan liar anak kapaknya di hutan-hutan lindung. Ini juga yang mengotori sekian banyak kekayaannya. Ih, sikapnya benar-benar kelewatan!<br /> Karena udara di ruang mesjid begitu sejuk, rasa kantuk tiba-tiba menyerang begitu hebat. Mulutku menguap berkali-kali. <br /> ''Assalamu'alaikum, anak muda. Dari getaran energimu, aku merasa bahwa perasaanmu saat ini sedang berduka,'' ujar seseorang seraya mengumbar senyum bersahabat. Ia segera menjulurkan tangannya untuk menyalami aku. Aku segera menyambutnya dengan senyuman.<br /> ''Wa'alaikumsalam,'' jawabku.<br /> ''Kau menyimpan rasa tidak suka terhadap seseorang, anak muda?'' tanyanya.<br /> ''Betul. Kok, Anda tahu kalau di hatiku saat ini sedang ada rasa marah terhadap seseorang?''. Ia tertawa. Dan, aku segera memperbaiki posisi duduk.<br /> ''Rasa marah yang ada di dalam dirimu itu jangan kau bawa ke alam tidur. Akibatnya dapat menjelma menjadi mimpi buruk di dalam kehidupanmu sehari-hari. Bahkan, apabila kau pertajam rasa marahmu ke orang yang bersangkutan, dirimu akan berdosa. Itu artinya, sikapmu tidak lebih baik dari dia,'' tukas orang itu.<br /> ''Lantas, apa yang harus aku lakukan agar kebencianku terhadap sikap seseorang itu dapat dibersihkan?''.<br /> ''Pertanyaan yang cantik. Sesungguhnya, nilai-nilai kebencian di dalam diri seseorang akan muncul apabila ia mengalami atau menyaksikan ketidakadilan yang terjadi di depan matanya. Tetapi, jika kita ikut membenci ketidakadilan itu, berarti nilai kita tidak jauh beda dengan orang yang berbuat ketidakadilan tersebut''.<br /> Alisku jadi bertaut, karena aku tidak mengerti apa yang dikemukakan orang itu. ''Kok aku jadi bingung?''.<br /> ''Wajar. Karena kau belum memahami sebab dan akibat yang terjadi dalam setiap perilaku hidup seseorang''.<br /> ''Misalnya?''.<br /> ''Yah, misalnya kau membenci sikap seseorang, seperti Pak Haji Doblang yang angkuh dan terkesan tidak membutuhkan kehadiran orang lain di lingkungannya itu,'' kata orang itu sembari membuka peci putihnya, serta menggaruk-garuk rambutnya yang keperakan.<br /> Aku terbelalak. ''Kau mengenal Pak Haji Doblang?''.<br /> Dia tertawa. ''Aku hanya mengetahui siapa Haji Doblang dan ada persoalan apa antara kau dan dia, dari kekuatan energimu sendiri'' tukas orang itu. Aku semakin tidak mengerti. <br /> ''Nah, bingungkan?''.<br /> ''Yah, bingung sekali,'' jawabku seperti seorang bocah yang baru belajar hitungan aritmatika.<br /> ''Anak muda, hakikat ke-haji-an yang disandang seseorang, belum tentu mencerminkan kebersihan dan kewelasasihan hatinya. Sebab, gelar haji yang ia peroleh, hanya dipahami sebatas predikat diri sepulang dari tanah suci. Pandangan semacam ini memang sangat sempit. Karena itu mereka tidak mampu memasuki nilai-nilai yang terkandung di dalam substansinya, sebagai haji mabrur,'' kata orang itu.<br /> Orang itu kemudian menjabarkan bahwa hakikat haji itu adalah penyucian diri lahir batin bagi seorang muslim. Gelar seorang muslim tertinggi yang ia peroleh setelah selama empat puluh hari menyerahkan diri ke hadirat Allah SWT di tanah suci, ia 'berjanji' untuk memperbaiki serta meningkatkan kualitas kepribadiannya (iman). Jika 'janji' itu menitik ke dalam hati nuraninya, maka nilai ke-haji-annya akan menjadi rahmatan lil 'alamin bagi kehidupan ini.<br /> ''Lalu, bagaimana dengan sikap Pak Haji Doblang?'' tanyaku. <br /> ''Itulah cermin dari nilai haji yang tidak menitik ke relung hati nuraninya. Dengan begitu, predikat hajinya ibarat sehelai baju yang dikenakan ke tubuh. Jika bajunya dibuka, maka akan terlihat gambaran panau dan penyakit kulit yang ada di tubuhnya''.<br /> ''Aku mengerti. Ternyata ke-haji-an Pak Haji Doblang <br />hanya predikat sampiran yang tidak sampai ke nilai makna. Kok, Bapak tahu persis kegalauanku terhadap Haji Doblang?''<br /> Orang itu tertawa. ''Karena pengemis yang dia usir itu adalah aku sendiri,'' jawab orang itu sembari mengusap wajahku.<br /> Aku kaget setengah mati. ''Astaghfirullah''. Bayangan orang itu segera hilang pada saat posisiku berada pada tingkat sadar dan tertidur.<br /><br />Palembang, 23 Juni 2003Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1036462498854113375.post-66145986115895332722008-02-22T23:33:00.000-08:002008-02-22T23:35:29.486-08:00Cerpen (1)Petak-petak catur<br /><br /><br /> Sepulang tahlilan dari rumah sepupunya yang tewas terbunuh, perasaan Paitok was-was. Terkadang, dalam perjalanan pulang ke rumah, matanya selalu awas dan melirik ke sana-sini. <br /> Sebab, semasa hidupnya, sepupunya --Mat Kukul-- dikenal sebagai preman yang sering membuat onar di mana pun ia berada. Dia tewas akibat dendam dari seorang preman pasar berwajah codet yang pernah ia tikam tulang belikatnya, setahun lalu. <br /> Karena itu Paitok takut kalau-kalau nanti ada preman lain yang akan membalas dendam, sehingga jiwanya akan terancam dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Apalagi keluarga preman yang bermusuhan dengan korban di kampung itu tahu betul kalau Paitok adalah saudara sepupu Mat Kukul.<br /> Korban, selain dikenal pemarah dan sok jagoan, setiap kali mabuk minuman keras, selalu mengganggu siapa pun yang kebetulan melintas di hadapannya. Pokoknya, jika ia sedang mencekik leher botol minuman, tak seorang pun berani lewat di depannya. Risikonya, kalau tidak 'dipajaki' (dimintai duit), orang tersebut akan dipukuli jika tidak disukai Mat Kukul. Bahkan, kalau nasib sedang apes, Mat Kukul tak segan-segan main pisau untuk melukai 'mangsanya'.<br /> ''Kenapa gelisah dan berjalan tergesa-gesa, Nak,'' tanya seseorang dengan nada suara berat dan parau. Seketika darah di sekujur tubuh Paitok seakan terhenti. Ia kaget setengah mati. Karena pertanyaan itu muncul di ssmpingnya secara tiba-tiba. Apalagi listrik PLN di jalan kampung itu padam sebelum maghrib tadi.<br /> ''Oh, saya harus segera pulang Pak, karena sejak tadi ada teman yang menunggu saya di rumah,'' jawab Paitok sekenanya. Dari keremangan suasana yang mulai gelap, ia sempat melirik ke samping kiri. Dilihatya seorang laki-laki tua bersarung kotak-kotak hijau, berbusana muslim dan bersorban putih. Di kulit wajahnya yang kuning bersih itu terdapat kumis dan janggut putih keperakan. <br /> Paitok heran, kok ada lelaki yang berjalan di sampingnya. Padahal ketika ia turun dari rumah panggung selepas tahlilan dikediaman Mat kukul, rasanya ia jalan sendirian. Tapi secara tiba-tiba ada lelaki tua yang berjalan mengiringinya. Wah, aneh sekali! Perasaan Paitok<br /> semakin tidak karuan.<br /> ''Tak usah risau. Di dalam agama disebutkan bahwa dosa seseorang tidak mungkin ditimpakan oleh Allah SWT ke lain orang. Baik buruknya, siapa yang berbuat sesuatu, maka dia sendirilah yang akan menerima ganjaran dari apa yang telah dilakukannya. Seperti dosa yang telah dilakukan Mat Kukul selama ini, misalnya. Jadi tidak perlu takut terhadap siapa pun kecuali kepada Sang Mahapenentu. Karena tidak akan ada orang yang akan mengancam jiwamu dari peristiwa terbunuhnya Mat Kukul''.<br /> ''Tapi bukankah Mat Kukul ini banyak musuh dan dikenal suka menganggu orang pada saat dia mabuk minuman keras?''.<br /> ''Karena itulah dia tewas terbunuh. Peristiwa buruk yang sering ia timbulkan dari perilakunya yang buruk, memaksa orang lain menjadi dendam dan melampiaskan keangkaramurkaannya lewat senjata tajam. Akibatnya Mat Kukul binasa,'' jawab orang tua itu. <br /> Paitok diam. Rasa takut akibat ancaman sepulang dari tahlilan itu agak berkurang. Tapi keheranannya terhadap lelaki tua yang berjalan di samping kirinya semakin menjadi-jadi. Apalagi langkah lelaki tua itu tidak terdengar sesaat setelah Paitok turun dari tangga kayu ulin (unglen) rumah Mat Kukul almarhum. <br /> Dalam perjalanan pulang secara bersama, orang tua itu mengatakan, waspada itu perlu. Namun jika rasa takut menghantui seseorang secara berlebihan, maka porsinya akan merusak akidah (iman) yang ada di dalam diri seseorang. Apalagi rasa takut yang muncul tidak didasari alasan yang jelas.<br /> ''Meski rasa takut adalah bagian dari hidup manusia, namun kita tidak boleh memanjakan itu. Karena dosa yang dilakukan Mat Kukul semasa hidupnya, dia sendirilah yang akan menerima segala risikonya. Karena itu, kalau kau merasa takut atas segala kekeliruan yang dilakukannya selama ini, berarti akan muncul penilanan bahwa selama ini kau telah ikut andil menjadikan seorang Mat Kukul sebagai bandit yang meresahkan masyarakat''.<br /> Paitok terbelalak mendengar penuturan akhir orang tua di sampingnya. Apa yang dikatakannya memang benar. Ia tidak perlu takut. Karena dosa yang diperbuat Mat Kukul selama ini, merupakan dosa pribadinya yang tidak mungkin dilimpahkan ke orang lain.<br /> ''Kata hatimu itu memang benar. Dosa seseorang tak mungkin ditanggung oleh orang lain. Jadi jangan takut. Setiap langkah hidup pasti ada risikonya sendiri. Ibarat sebuah strategi permainan, di papan catur tergambar petak hitam-putih yang menentukan setiap langkah. Dan, setiap orang pasti ingin memilih petak putih sebagai cerminan perbuatan baik. Jika tidak hati-hati, mereka akan tergelincir ke petak hitam yang memenjarakan kebersihan hati manusia dalam gelimang dosa. Ingat, petak-petak catur ibarat jalan kehidupan yang menentukan arah, kemana kita menuju. Apabila salah memilih, kita akan masuk ke dalam petak hitam yang meresahkan masyarakat, seperti ulah Mat Kukul semasa hidupnya. Jika sudah begitu, risikonya akan mati terbunuh,'' tutur orang itu panjang-lebar.<br /> Mendengar tuturan orang tua itu, wajah Paitok seperti raut muka orang tolol. Ia tak mengerti, kok orang itu dapat membaca pikirannya?<br /> Tiba-tiba lamunannya buyar ketika segerombolan orang berjalan cepat ke arah dirinya. Ah, ada apa? Nyalinya ciut seketika. Ia merasa ada cairan hangat yang membasahi celananya. Untuk berlari, kakinya sudah seperti terpaku ke bumi. Degup jantung Paitok seolah akan berhenti. Oh Tuhan, apakah ajalku tiba?<br /> ''Mas Paitok, terima kasih. Selama ini kau telah memperjuangkan perdaimanan antara warga kampung kami dengan orang-orang di seberang desa sana. Akibat ulah Mat Kukul selama ini, warga desa seberang seringkali menyerang warga kami dengan senjata tajam. Karena perjuangan Mas Paitok menyelesaikan persoalan kami, maka kedua pihak sudah damai,'' teriak seseorang di antara gerombolan yang datang. <br /> Orang-orang itu menjulurkan tangannya. Mereka ingin menyalami Paitok. Karena rasa takut yang berkecamuk di dalam dirinya demikian hebat, maka pandangan Paitok gelap seketika. Ia tergeletak pingsan. Ternyata, rasa takut telah melelehkan keberaniannya. Orang-orang kampung segera mengusungnya ke balai desa. Sementara orang tua --lawan bicara Paitok- hanya tersenyum dan menghilang dalam gelap.<br /><br /><br />Palembang, 3 April 1987Anto Narasomahttp://www.blogger.com/profile/10340500172349821400noreply@blogger.com0