Ungkapan Birahi Sang Nyonya Lirik?
MAUT dan kematian, bagi banyak orang merupakan peristiwa seram dan menakutkan. Terutama bagi mereka yang tak siap menghadapi hal tersebut, tentu akan sangat takut mengalaminya. Padahal, bagi orang hidup, kematian adalah peristiwa pasti yang akan melanda siapa pun. Tidak ada makhluk hidup yang tidak mati pada akhir riwayat mereka.
Tapi bagi penyair, keseraman kata maut atau ungkapan mati, secara konotatif merupakan pintu masuk yang sangat indah bagi perpindahan hamba Tuhan. Benarkah demikian?
Proses sakaratul maut (menjelang kematian) seperti yang dituturkan di atas, digambarkan penyair Anwar Putra Bayu dalam puisinya bertajuk, Pesan Terkirim. Tapi penggambaran itu tidak seseram seperti perasaan seseorang yang tak siap menghadapi kematian. Justru, penggambaran sakaratulmaut dalam puisi itu dikemas dalam bahasa puitis yang kaya jebakan persepsi. Bahkan kehadiran sang nyonya lirik dalam puisi itu tergambar begitu bergairah menumpahkan birahinya.
Tapi untuk memahami isi puisi tak segampang ketika kita membaca karya fiksi seperti cerpen, cerber, atau novel. Banyak karya fiksi seperti cerpen, misalnya, format penyajiannya selalu menggambarkan peristiwa secara bertutur, sehingga pembaca akan langsung dapat menangkap maksud pengambaran cerita yang disajikan penulis.
Bahkan, si pembaca terkadang bisa langsung mencerna isi cerpen kendati ia belum menuntaskan bacaannya. Tapi untuk mengerti maksud pada larik-larik (kalimat) puisi, seseorang perlu membedah atau melakukan pendekatan empirik untuk memahami pikiran penyairnya. Lantas, bagaimana orang bisa menerobos masuk ke makna dunia puitika?
Guru besar Rijks-Universiteit Utrecht, Dr TH Fischer mengatakan, masuk ke dalam rumusan budaya pikir seseorang atau masyarakat, perlu mengenal kehidupan mereka sehari-hari. Dengan begitu akan dapat diketahui rumusan pola pikirnya mengenai perkembangan sesuatu hal yang ia tulis (halaman 10 buku.. Enleiding Tot De Culturele Anthropologie Van Indonesie terbitan PT Pembangunan 1953).
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, budaya puisi (baca: pantun) selalu terkait dalam kehidupan sehari-hari mereka. Maka itu andai-andai (bahasa perumpamaan) yang digunakan selalu tercermin dalam berbagai pola idiom. Karenanya, kekayaan puisi modern terhadap idiom yang disajikan lewat kata-kata pilihan (diksi), selalu menggambarkan kekayaan pola pikir sang penyair. Sebab, ia mampu meneropong beragam persoalan melalui kiasan alam, wujud Tuhan lirik, serta kepribadian sang penyair yang lebur sebagai aku lirik.
Tentu saja, idiom dan diksi tidak mungkin akan tergambar jika ide yang muncul dalam gagasan seorang penyair tidak ia kelola dengan pengalaman batin yang mengendap sebagai residu yang kental. Jika tidak demikian, akan terjadi kekaburan makna (misinterpretasi). Kekaburan makna ini tidak mampu mengangkat kekuatan karyanya untuk dijadikan pokok bahasan, karena ketidakjujuran sikapnya sendiri.
Seorang penyair seperti Anwar Putra Bayu (APB) yang sudah saya kenal sejak sama-sama berkecimpung dalam dunia sastra pada awal 1980-an, seringkali memiliki ide-ide nakal yang dinamis. Karenanya, sejumlah karyanya kerapkali menggelitik minat untuk dipahami sebagai karya yang perlu dianalisis.
Dalam puisinya berjudul Pesan Terkirim yang direlease tahun 2005, penyampaiannya mengacu ke soal pengiriman SMS pada seseorang dalam lirik. Tapi dari lirik-liriknya yang nakal membuat puisi itu menjadi menarik, karena ada rasa dan ‘’rangsangan’’ gagasan.
Dalam konteks itu pula kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana, mengatakan keelokan puisi APB tergambar dari kebinalan ide dan keberaniannya mematok diksi aneh, sehingga menarik untuk dianalisis dan dibaca.
‘’Padahal idenya sangat sederhana. Seperti puisi Pesan Terkirim, misalnya. Tapi karena APB cukup berpengalaman mengolah ide menjadi karya yang nakal, maka sejumlah puisinya menjadi sangat kuat dan seringkali menjadi pokok bahasan di berbagai media massa dan perguruan tinggi,’’ kata Maman.
Apa yang melatarbelakangi seorang APB menulis puisi Pesan Terkirim? Bentuk apapun ide yang muncul, maka itulah bahan yang harus digarap sekuatnya, sesuai dengan tahap kemampuan dan pengalaman sang penyair.
Andaikan saya mencoba mengupas puisi Pesan Terkirim menurut analisis yang terbatas dan sesuai dengan sudut pandang saya sendiri, itulah maksud tujuan sang penyair. Lantas, apakah hasil analisis saya tentang puisi Pesan Terkirim itu sesuai makna yang tepat?
Kritikus sastra, HB Yassin (alm) sendiri tidak berani mengatakan bahwa analisanya terhadap sebuah karya puisi merupakan analisis yang tepat. Sebab, kandungan interpretatif dalam wilayah jangkau puisi memiliki areal pemahaman yang sangat luas. Meski demikian, kedalaman dunia interpretasi pada sastra puisi, tersedia sebuah ruang bagi pembedah untuk memberikan nilai pemaknaan (apresiasi) sesuai sudut pandang yang ia kuasai.
Ada hal menarik yang perlu dicermati pada kandungan majas puisi Pesan Terkirim. Pada bait pertama terdapat empat larik, Sesenja ini kau tiba di depan pintu, nyonya/ seraya menggincu bibir kau pun berkata:/ Aku telah datang/ siapkah kita terbang sayang? Sepintas kita disuguhi penafsiran tentang kegenitan seorang wanita yang datang kepada.. (aku lirik).
Kemudian kegenitan dan kebinalan itu berlanjut pada bait kedua, Kau jilati tubuhku setelah merayu/ lalu kau raba serta mencium ubun-ubun./ Nyonya sabarlah/ Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar. Pada bait kedua ini keberanian sang nyonya lirik menumpahkan segenap rasa birahinya kepada sang aku lirik benar-benar mengikat persepsi para penikmat puisi. Terutama pada larik pertama dan dua (bait kedua), gambaran yang disajikan benar-benar aduhai.
Dapat dibayangkan, ketika larik-larik itu menjelaskan ekspresi birahi sang nyonya lirik (Kau jilati tubuhku setelah merayu/lalu kau raba serta mencium ubun-ubun). Pada larik ketiga (bait kedua), aku lirik mencoba meredakan rangsangan birahi sang nyonya lirik, Nyonya sabarlah. Justru larik keempat, aku lirik menjebak persepsi kita dengan kalimat, Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar.
Dalam bait empat, APB meningkatkan persepsi yang kian menanjak, misalnya, Lewat udara bergelombang/ Sejak kau datang/ Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Wah, dia (APB) begitu pandai menggiring persepsi kita pada jebakan interpretatif kebirahian. Memasuki bait lima (tiga larik), persepsi birahi jadi pecah. Coba kita simak, Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. Apakah di bait ini ada puncak persetubuhan persepsi yang begitu binal? Pertanyaan itu kian tak terjawab setelah bait enam (tiga larik) menutup kelengkapan puisi Pesan Terkirim,.. Telepon genggam masuk di kepala merusak jaringan/sinyal berbunyi: Pesan terkirim.
Benarkah puisi Pesan Terkirim ini bertutur tentang kebinalan seorang nyonya (lirik) yang selalu mengumbar birahinya? Bisa jadi ini sebuah jebakan. Jebakan-jebakan persepsi secara interpretatif di dalam ruang puisi ini menarik kita untuk menerobos masuk ke lorong persepsi.
Maka itu, untuk mencari pintu masuk ke ruang interpretatif sebuah puisi, kita perlu membaca keseluruhan majas puisi tersebut. Dengan begitu, secara semiotik, kita dapat melakukan pendekatan terhadap kata per kata yang dipapar dalam larik-larik puitika.
Saya menangkap, ketika seorang APB mulai merelease Pesan Terkirim, maksud sesungguhnya bukan menuturkan ’’kebinalan birahi’’ sang nyonya lirik. Pengaburan persepsi ini merupakan jebakan puitika yang paling banyak dilakukan penyair. Kekayaan konotasi dalam ide dan gagasan karya seperti itu merupakan kreatifitas yang dinamis dari sang penyair ketika mengungkapkan keutuhan bentuk dan isi puisinya. Maka itu corak karya APB ini (Pesan Terkirim) perlu disimak secara hati-hati.
Pesan Terkirim, setidaknya mengingatkan kita kepada konteks person tertulis melalui telepon genggam. Entah, hanya sang penyair sendiri yang tahu persis ketika ia mengembangkan idenya dari telepon genggam. Tapi, tentu saja maksudnya bukan itu. Gambaran estetik yang terang-terang buram dalam puisi Pesan Terkirim, menyirat tentang sebuah peristiwa sakarultmaut (kehadiran malaikat pencabut nyawa) pada diri sang aku lirik.
’’Kengerian’’ peristiwa itu dijelaskan pada bait ketiga dan keempat,...Lewat udara bergelombang/Sejak kau datang/Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Kemudian berlanjut pada tiga larik di bait keempat.. Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. Pada bait selanjutnya dari puisi Pesan Terkirim itu makin memperjelas peristiwa tersebut.
Coba kita simak, ..Ledakan napas terhenti (larik kedua bait empat) menjelaskan tentang kematian sebenarnya. Tiga larik di bait terakhir, keperkasaan malaikat maut (ajal) begitu berkuasa. Bagaimana keperkasaannya merusak segala metabolisme hidup aku lirik yang mampu mencabut nyawa setelah seluruh jaringan tidak berfungsi..sinyal berbunyi: Pesan terkirim..(nyawa lepas dari jasad)
Begitu bergetarnya pengalaman religusitas yang mengerikan aku lirik ketika menghadapi sakaratulmaut memenuhi panggilan Tuhannya dalam Aras sanubari yang dekat tapi terasa jauh, jauh namun teramat dekat (..jika ada yang bertanya tentang Aku, katakan ya Muhammad.., Aku tidak jauh dari urat lehermu...: Hadist Qudsi). Anto Narasoma