Ketika  Badai Itu  Menerjang
Tekad  Teuku Mudien sudah bulat. Rencana pernikahan  itu  akan dilaksanakan  bulan Januari nanti.  Pokoknya harus terwujud. Ia sudah bosan tidur sendirian. Itu artinya,  menapak ke tahun baru,  Teuku Mudien akan memulai hidup baru pula. Ia akan menikahi  Meutia, gadis manis yang ia cintai sejak tiga tahun lalu.
Yang ia kagumi dari sosok Meutia, karena gadis itu tidak mata duitan. Padahal, kalau Meutia mau, ada seorang pemuda yang bekerja di PT Semen Andalas akan mempersuntingnya menjadi istri.  Tapi dengan cara halus Meutia menolak pemuda itu. 
‘’Ah,  calon istriku itu benar-benar gadis sederhana yang tidak memandang harta. Aku  sangat beruntung menyintai gadis seperti dia,’’ begitu bisik hati Mudien.
Ia melihat arlojinya. Hm, baru pukul 7.30 WIB. Siang nanti, rencanannya Teuku Mudien akan mengajak Meutia foto berdua ke studio di Kota Teunom.  Foto itu nantinya akan ditempel di akta nikah.  ‘’Aku akan berekspresi sebaik-baiknya, agar hasilnya bagus dan terlihat tampan’’.
Tak seperti  biasanya,  hari itu wajah Mudien  benar-benar cerah. Selepas mandi, ia bersiul-siul kecil menyenandungkan lagu yang tak jelas iramanya. Di kamarnya,  ia membuka lemari pakaian yang sudah tua. Maklum, lemari pakaian tua itu merupakan warisan mendiang ayahnya.
Mudien segera mencocokkan baju putih yang ia beli di pasar Kecamatan Calang dua minggu lalu. ‘’Ah, untuk foto berdua dengan Meutia  sebaiknya aku memakai baju ini saja. Lagi pula wajahku terlihat  tampan mengenakan baju ini,’’ begitu Mudien bergaya di depan cermin.
Pintu depan berderit.  Ibu Mudien baru pulang dari pasar.  Suara batuknya terdengar dari kamar. ‘’Teuku.  Kau sudah bangun dari tidur, Nak?’’ begitu suara Mak Bibah memanggil anaknya.
‘’Sudah, Mak. Bahkan saya sudah mandi,’’  jawab Mudien dari kamarnya.
‘’Ini, mak bawakan makanan kesukaanmu. Mak membelinya tadi  di pasar,’’  tukas Mak Bibah disertai batuk yang membuat sesak napas orang tua itu. Teuku Mudien keluar dari kamar. Ia menyalami ibunya.
‘’Sebaiknya mak minum obat batuk yang Mudien beli di apotek kemarin. Obat batuk hitam ini cukup manjur, mak. Cobalah,’’ kata Mudien  memberikan obat batuk botolan  itu ke ibunya. 
Sejak usia muda, Mak Bibah sudah terbiasa jualan di pasar Calang. Tiap hari ia  menjual kue-kue yang diambilnya dari beberapa pelanggan di kampungnya.  Sepulangnya dari pasar,  ia akan membeli beras dan kebutuhan hidup sehari-hari.  Apalagi ayah Mudien sudah meninggal ketika pemuda itu baru berusia delapan tahun.
Untuk membantu beban ibunya,  setamat dari  sekolah, Mudien ikut Bang Jaffar dagang ayam potong di pasar Meulaboh.  Dari hasil kerjanya ikut Bang Jaffar, ia menerima upah Rp 15 ribu sehari.  Jadilah. Yang penting,  setiap hari,  ia memperoleh upah lumayan.  Maka, selama tiga tahun ia bekerja,  selain dapat membantu meringankan biaya hidup keluarga, hasil tabungannya digunakan untuk biaya meminang Meutia.
‘’Mak,  saya  mau pergi ke rumah Meutia. Kami mau foto berdua untuk kelengkapan akta nikah,’’ ujar Mudien pamit kepada ibunya.
‘’Apa tidak kepagian, Teuku? Jam segini studio foto belum buka. Lagi pula tidak enak pagi-pagi bertandang ke rumah gadis,’’ jawab Mak Bibah sembari membawa belanjaannya ke dapur.
‘’Nggak apa, Mak. Saya sudah janji dengan Meutia dan sebelumnya saya juga sudah minta ijin kepada  kedua orang tuanya,’’ ucap Mudien.
‘’Apa mak dan bapaknya merestui?’’
‘’Ya, mak’’.
‘’Ya  sudah, mak juga merestui.  Pergilah ke sana. Baik-baik membawa anak gadis orang ya. Jangan kau apa-apakan dia. Kalian belum menikah,’’  begitu Mak Bibah berpesan.
‘’Insya Allah.  Lun nak jak, Mak. Saya pamit dulu. Assalamu’alaikum’’. Teuku Mudien mencium tangan ibunya. 
‘’Wa’alaikumsalam,’’ jawab Mak Bibah pelan. Suaranya seperti menggumam. Pandangan wanita tua itu mengiringi kepergian anak semata wayangnya dari ambang pintu rumah.  Hmm,  anak sekarang. kalau ingin memenuhi  segala kemauannya,  apa pun diterjang.  Orang tua itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.  Setelah bayangan Mudien menghilang di kelokan jalan, Mak Bibah menutup pintu rumahnya.
              
                 ***
Di atas angkutan desa (angdes), Mudien dan Meutia membicarakan  rencana pernikahan  mereka.  Pokoknya, segala persiapan untuk pesta pernikahan sudah dirancang sedemikian rupa.  Tinggal pelaksanaan saja. 
‘’Pesta ini hanya satu kali kita rayakan seumur hidup. Makanya, meski kita gelar secara sederhana, tapi harus meriah,’’ ujar Meutia dengan suara manja.
‘’Abang setuju’’.
 Ketika melewati jalan kecil antara Meulaboh dan Kecamatan Calang,  kendaraan yang  mereka tumpangi itu terasa terguncang. Getarannya begitu hebat.  Serta-merta Meutia merasa kecut. Ia memeluk erat lengan Mudien.
‘’Ah,  seperti ada gempa, Bang’’.
‘’Tampaknya begitu’’.
Sementara di luar kendaraan, tampak orang-orang  kampung yang tinggal  di pinggiran jalan berlarian ke luar rumah. ‘’Ada gempa, ada gempa!’’ begitu mereka berteriak hampir berbarengan.  Dengan wajah cemas,  secara bergerombol, mereka lari ke lapangan sembari menggendong dan menuntun anak-anaknya.
‘’Allahuakbar, Allahuakbar!!’’ suara beberapa orang kampung menyenandungkan azan di  lapangan terbuka.
Untuk mengetahui situasi, Mudien melemparkan pandangannya lewat jendela mobil.  Karena kendaraan tak dapat melewati perempatan jalan  antara Meulaboh dan Kecamatan Calang,  akhirnya angdes yang mereka tumpangi berhenti di antara kerumunan  orang. 
‘’Ada apa, Bu,’’ tanya Mudien kepada seorang ibu yang berlarian mengapit bayinya di gedongan.
‘’Ada gempa berkekuatan besar,’’ jawabnya dengan napas memburu. Wajah ibu itu pucat pasih. Sementara ratap pilu dari orang-orang yang berlarian ke sana-sini membuat suasana semakin gaduh tak karuan.
‘’Maaf, kami  mau pergi dari sini, karena takut ada gempa susulan,’’ kata ibu tersebut buru-buru pergi dari tempat itu.
Tiga menit setelah  orang-orang kampung Calang meninggalkan tempat itu, gempa kembali bergetar. Kali ini guncangannya lebih besar dari getaran sebelumnya. Perasaan Mudien ciut juga. Karena takut, Meutia memeluk lengan kekasihnya erat-erat.
‘’Mari Bang,  kita pulang saja.  Tia takut terjadi apa-apa dengan mak, bapak, dan adik-adik,’’ suara Meutia  diwarnai  perasaan cemas.
Di antara riuh kepanikan orang-orang kampung,  suara azan semakin ramai  berkumandang. Terutama setelah ada beberapa rumah penduduk yang ambruk. Allahuakbar,  Allahuakbar!!
Sambil berpegangan erat Mudien dan Meutia melarikan diri sekuat-kuatnya. Dari mulut mereka berdua tak henti-hentinya meluncur lafas istighfar. Astaqfirullahalaziem!  Selamatkan keluarga kami, ya Allah. Ampuni dosa-dosa kami ya Allah.  Allahuakbar!
Ucapan-ucapan sakral itu pecah dari  mulut semua orang yang mengalami guncangan  gempa berkekuatan besar itu.  Dalam kekalutannya, mata Mudien menyapu ke segenap arah.  Ia mencari angdes yang membawa mereka dari kampungnya. Ternyata  kendaraan itu sudah tidak ada di tempat. Ah, Mudien kecewa.
Kepanikan masyarakat  semakin menjadi-jadi setelah terdengar deburan air yang mengejar dari arah pantai. Mudien dan Meutia segara memperkuat  langkah larinya.
‘’Ya Allah, apakah hari akan kiamat?’’ itulah kekhawatiran yang muncul dari dalam diri Mudien dan Meutia.
Tak lama di antaranya,  dari  sebelah  utara  Kecamatan Calang,  air laut setinggi pohon kelapa menyerbu ke daratan tempat orang-orang kampung berlarian. Mudien  dan Meutia benar-benar kalut. Meski pun begitu, mereka tidak melepaskan pegangan. Bila perlu keduanya rela mati bersama. 
Sembari menghindari kejaran gelombang air laut yang  berwarna keruh kehitaman, kedua sejoli itu  berlari kencang bersama ratusan penduduk kampung Calang  yang berserabutan mencari dataran lebih tinggi.
Malang tak dapat ditolak,  mujur pun tak dapat diraih, Mudien dan Meutia akhirnya tergulung gelombang yang maha dahsyat itu. Dalam gelutan ombak yang memporak-porandakan apa pun di daratan, Mudien tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya pasrah terhadap Sang Takdir. Meutia yang ia cintai terlepas dari pegangannya. Ya, Allah!
Meski pun begitu,  dalam  gelutan ombak yang tak terkira dahsyatnya, kesadaran Mudien masih penuh. Sesekali, pandangan matanya masih sempat melihat kepingan-kepingan seng dan papan rumah penduduk luluh lantak disapu ombak.  Sementara tubuh orang-orang kampung yang hanyut diterjang air laut, terhumbalang ke sana-sini.  Tampaknya, ombak yang bergelombang dahsyat itu datang secara berlapis dan menggulung  apa saja yang  ada di daratan.
Mudien tak kuasa berteriak minta tolong.  Pada saat gelombang tsunami yang maha dahsyat itu datang melimpahkan keganasannya,  siapa yang dapat menghalangi keperkasaan-Nya? 
Ternyata Tuhan berkehandak lain. Nasib Mudien masih mujur. Baju dan celananya yang compang-camping dihempas tsunami itu, secara kebetulan tersangkut di pelepah pohon kelapa. Akhirnya, seretan ombak yang menghanyutkan tubuh Mudien sejauh 15 kilometer,  terhenti di sana. ‘’Ya Allah. Hanya mukjizat-Mu saja  yang membuat hamba ini dapat terdampar di pelepah pohon ini’’.
Begitu gelombang reda,  suasana di sekelilingnya  luluh-lantak rata dengan tanah. Untunglah, ketika gelombang laut menyeretnya sejauh belasan kilometer,  ia tidak terminum air berlumpur hitam itu, sebab, saat  diterjang ombak, kesadarannya tetap terjaga. 
Pengalaman  hidup di luar akal sehat itu membuat perasaannya miris.  Padahal Mudien sudah terbiasa dengan penderitaan hidup yang pahit. Dan, selama ini ia tidak pernah menangisi penderitaan hidupnya.   Tapi ketika ia mengalami  bencana alam yang dahsyat seperti itu, Mudien menangis juga. Ia tak kuasa membendung kesedihannya.  Terutama setelah Meutia terlepas  dari pegangannya, sehingga nasibnya tak diketahui.  
‘’Meutia,  dimana kamu?’’  sambil menangis meraung-raung, Mudien memanggil kekasihnya.  Perasaannya semakin terguncang tatkala  ia  pun terkenang keselamatan  ibunya di rumah.
Setelah gelombang reda, pelan-pelan  Mudien turun dari pohon kelapa. Di  atas tanah yang porak-poranda, Mudien justru bingung. Entah apa yang harus ia lakukan. Yang pasti,  karena guncangan jiwa yang begitu hebat,  lelaki muda itu hanya  melongo, tidak tahu harus berbuat apa. Lama sekali ia tertegun di sana, hingga  akhirnya ada seorang lelaki setengah baya  menegurnya.
‘’Adik, mari kita pergi dari tempat ini. Tapi kau harus hati-hati, karena  kepingan kayu dan seng  rumah penduduk yang dihanyutkan banjir ini dapat melukai kaki kita,’’ kata orang itu sembari meraih lengan Mudien.
Pada saat yang sama, dari arah barat,  datang lima orang korban gulungan  gelombang tsunami. Pakaian mereka  berantakan. Salah seorang perempuan di antara mereka menangisi keadaannya. Untunglah, lelaki paruh baya yang menuntun Mudien itu pandai membujuk dan menyejukkan  perasaan wanita itu. Akhirnya wanita itu mengucapkan istighfar secara berulang-ulang.
‘’Adik-adik, kita tidak usah larut dalam kesedihan ini. Kita semua sedang dilanda kesedihan dan kepedihan yang dalam. Namun kita harus ingat, bahwa semua bencana yang datang,  tidak terlepas dari kodrat yang  Ia tentukan.  Yakinlah, di balik semua ini pasti ada hikmah bagi kita semua,’’ begitu lelaki  itu  menyejukkan suasana hati orang-orang  di sekelilingnya.
‘’Adik mau kemana?’’ tanya lelaki itu pada Mudien.
‘’Saya ingin mengetahui kondisi  ibu dan calon isteri saya, Pak. Sebelum gelombang laut datang, saya mau foto berdua dengan calon isteri saya.  Dalam  gulungan ombak,  ia terlepas dari pegangan saya,’’ ucap Mudien bercucuran airmata.
Lelaki itu  berkerut  dahi.  ‘’Di mana rumahmu?’’
‘’Di  kampung Calang’’.
‘’Wah, jauh dari sini, rupanya. Kalau begitu, kau harus melewati jalan ini, kemudian belok ke utara. Pelan-pelan saja. Jangan terburu-buru. Kalau nasib baik,  kau pasti akan bertemu ibu dan calon  isterimu. Pergilah.  Hati-hati, ya? ’’. 
Mudien tak kuasa berbicara. Hanya airmatanya saja yang bercucuran tanpa henti. Ia  menyalami orang itu dan  segera berlalu dari sana.
Ketika  ia tiba di kampung kelahirannya, suasana di sana sudah tak bisa dikenali lagi.  Rumah tempat ia tinggal sejak kecil bersama ibunya, tercerabut oleh  ganasnya  gelombang tsunami. Akibat terjangan ombak, kampung tempat ia tinggal menjadi  gundukan sampah yang bertebar di sana-sini.   Tak ada lagi suara kicau burung. Dan, tak terdengar lagi suara ibunya yang melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Semuanya musnah. Segalanya binasa. Menyaksikan itu,  perasaan Mudien  sangat terpukul. Airmatanya kembali bercucuran. Oh emak, apakah mak selamat? 
                                
                ***
Sudah sepekan Mudien  bertualang ke beberapa tempat untuk mencari informasi mengenai keberadaan ibu dan calon isterinya. Di posko-posko  yang ia singgahi, Mudien tidak menerima kabar tentang keberadaan Meutia dan orang tuanya. Seolah  kedua orang yang ia cintai itu raib ditelan bumi.
Ia  benar-benar lelah.  Pakaian yang ia kenakan sudah sangat lusuh.  Itu pun ia peroleh dari posko bantuan di Kota Teunom, karena baju yang ia kenakan  sudah compang-camping  saat dihantam tsunami pada hari pertama gempa.
Sampai hari ketiga belas ia  mencari tahu tentang keberadaan ibu  dan keluarga Meutia, tapi sia-sia. Semua  petugas posko bantuan hanya mengatakan  belum menerima  kabar tentang mereka. Oh Tuhan,  kemana aku harus menemui mereka?
Dalam kondisi seperti itu,  Mudien  sudah tidak peduli lagi dengan kondisinya sendiri.  Yang ada di pikirannya sekarang,  kemana ia harus mencari  keluarganya. Bahkan,  himpitan batinnya yang begitu berat,  tampaknya melampaui batas realita berpikir. Akibatnya,  Mudien mengalami depresi hebat.  Tiap mayat perempuan muda yang tergeletak di tepian jalan, dalam pandangannya adalah Meutia. Ia menangis sejadi-jadinya. Terkadang tangisan itu disertai gelak tawa menyayat. Apakah Mudien  sudah gila?
‘’Adik, kuatkan batinmu. Ini cobaan buat kita semua. Kau jangan hanyut dalam arus kesedihan yang dalam. Karena hanya kau sendirilah yang dapat mengatasi kemelut ini.  Bangkitlah.  Tuhan tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.  Ingat itu,’’ suara lelaki separuh baya yang pernah ketemu Mudien di kampung Calang pada hari pertama badai tsunami melanda,  menegur pemuda itu.
Tiba-tiba kesadaran Mudien  pulih setelah lelaki itu menepuk bahunya pelan.. ‘’Astaghfirullah.  Ada apa dengan saya? Oh, bapak rupanya.  Kok bapak tahu saya ada di sini?’’
‘’Tak usah kau tanyakan itu.  Dalam kondisi seperti ini, kita harus saling membantu.  Apalagi masa pencarianmu masih panjang.  Ayo bangkit. Cari ibumu di posko pengungsian Kota Banda Aceh. Barangkali ia ada di sana,’’ kata lelaki itu. Mimiknya sangat serius.
Antara percaya  dan tidak, Mudien memandang lekat-lekat ke arah lelaki itu.  Dari hari pertama badai tsunami  meluluh-lantakkan  Kecamatan Calang,   lelaki inilah yang pernah membangkitkan semangatnya. Ketika batinnya sudah terlalu lelah, lelaki ini pula yang mendorong semangatnya. 
‘’Siapakah bapak?’’
Lelaki itu hanya tersenyum.  ‘’Nanti kita ketemu lagi. Pergilah ke Banda Aceh.  Meski  calon  isterimu  hilang,  yang penting ibumu harus ditemukan. Sebaiknya kau ikut  kendaraan militer yang akan memasok bahan makanan dan obat-obatan ke sana.  Cepatlah, nanti kau ketinggalan,’’ katanya.
Meski  digayuti tanda-tanya mengenai lelaki misterius itu,  akhirnya Mudien mengikuti anjurannya. Ia mendatangi  beberapa petugas untuk minta ijin diajak ikut truk militer yang akan mengantar obat-obatan ke posko pengungsian di Banda Aceh.
Dengan penuh selidik, para petugas itu memperhatikan keadaan Mudien. Lalu seorang di antaranya yang berwajah angker  mengajukan pertanyaan, ‘’Ada keperluan apa anda ke sana?’’.
‘’Saya akan mencari ibu saya, Pak. Saya sudah mencarinya ke sana-sini, tapi tidak ditemukan juga.  Ada kabar dari seseorang, ibu saya diungsikan ke posko  pengungsian  Banda Aceh.  Makanya  saya minta ijin ke bapak agar saya diajak serta pergi ke sana.  Selain ibu,  saya sudah tidak punya apa-apa lagi, Pak.  Mohon ijinkan saya ikut truk ini’’.
Wajah Mudien begitu memelas. Melihat kondisinya, petugas itu menjadi iba.  ‘’Silakan. Tapi anda harus duduk berdesakan dengan barang kiriman ini’’.
‘’Tidak masalah. Terima kasih, Pak’’.
Cuaca siang itu cukup panas, membuat suasana di posko pengungsian  itu benar-benar sumpek.  Ratusan pengungsi yang berjubel di sana membuat kondisi dalam tenda sangat menyesakkan. Suara tangis anak-anak  dan erangan orang-orang  terluka  di tenda  pengungsian itu menyentuh perasaan setiap orang.
Mudien turun dari truk militer.  Ia segera  ke tenda. Matanya  menyapu ke setiap pengungsi yang ada di sana. Ada  yang duduk meratapi nasibnya. Ada  pengungsi  yang mengerang kesakitan karena menderita luka yang cukup parah.  
Di antara petugas medis yang sibuk bekerja,   di sudut kanan posko terdapat seorang  wanita tua duduk di atas kotak kayu.  Matanya memandang  hampa ke satu titik.  Sementara mulutnya  komat-kamit, sambil sesekali ia  tertawa sendiri.
‘’Mak, emak,’’  begitu Mudien berteriak memanggil ibunya. Suaranya meninggi, sehingga pandangan semua orang nyaris mengarah ke dirinya. Ia merangkul  tubuh ibunya. Pipi dan rambut ibunya yang putih menyeluruh itu diciumi Mudien. Namun wanita tua itu tidak bereaksi.  Kondisi Mak Bibah seperti patung hidup.  Tampaknya ia mengalami guncangan batin yang teramat hebat. 
Melihat kondisi  ibunya seperti itu,  jiwa Mudien  kembali terguncang.  Ia sudah kehilangan tempat tinggalnya.  Ia juga kehilangan calon isterinya. Namun yang lebih berat pukulan batinnya adalah kehilangan ingatan ibu yang ia kasihi. Ia sudah kehilangan segala-galanya. Yah Allah! Mudien berteriak histeris  lalu terkulai tak  sadarkan diri.   (*)
Jumat, 22 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar