Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (1)

Petak-petak catur


Sepulang tahlilan dari rumah sepupunya yang tewas terbunuh, perasaan Paitok was-was. Terkadang, dalam perjalanan pulang ke rumah, matanya selalu awas dan melirik ke sana-sini.
Sebab, semasa hidupnya, sepupunya --Mat Kukul-- dikenal sebagai preman yang sering membuat onar di mana pun ia berada. Dia tewas akibat dendam dari seorang preman pasar berwajah codet yang pernah ia tikam tulang belikatnya, setahun lalu.
Karena itu Paitok takut kalau-kalau nanti ada preman lain yang akan membalas dendam, sehingga jiwanya akan terancam dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Apalagi keluarga preman yang bermusuhan dengan korban di kampung itu tahu betul kalau Paitok adalah saudara sepupu Mat Kukul.
Korban, selain dikenal pemarah dan sok jagoan, setiap kali mabuk minuman keras, selalu mengganggu siapa pun yang kebetulan melintas di hadapannya. Pokoknya, jika ia sedang mencekik leher botol minuman, tak seorang pun berani lewat di depannya. Risikonya, kalau tidak 'dipajaki' (dimintai duit), orang tersebut akan dipukuli jika tidak disukai Mat Kukul. Bahkan, kalau nasib sedang apes, Mat Kukul tak segan-segan main pisau untuk melukai 'mangsanya'.
''Kenapa gelisah dan berjalan tergesa-gesa, Nak,'' tanya seseorang dengan nada suara berat dan parau. Seketika darah di sekujur tubuh Paitok seakan terhenti. Ia kaget setengah mati. Karena pertanyaan itu muncul di ssmpingnya secara tiba-tiba. Apalagi listrik PLN di jalan kampung itu padam sebelum maghrib tadi.
''Oh, saya harus segera pulang Pak, karena sejak tadi ada teman yang menunggu saya di rumah,'' jawab Paitok sekenanya. Dari keremangan suasana yang mulai gelap, ia sempat melirik ke samping kiri. Dilihatya seorang laki-laki tua bersarung kotak-kotak hijau, berbusana muslim dan bersorban putih. Di kulit wajahnya yang kuning bersih itu terdapat kumis dan janggut putih keperakan.
Paitok heran, kok ada lelaki yang berjalan di sampingnya. Padahal ketika ia turun dari rumah panggung selepas tahlilan dikediaman Mat kukul, rasanya ia jalan sendirian. Tapi secara tiba-tiba ada lelaki tua yang berjalan mengiringinya. Wah, aneh sekali! Perasaan Paitok
semakin tidak karuan.
''Tak usah risau. Di dalam agama disebutkan bahwa dosa seseorang tidak mungkin ditimpakan oleh Allah SWT ke lain orang. Baik buruknya, siapa yang berbuat sesuatu, maka dia sendirilah yang akan menerima ganjaran dari apa yang telah dilakukannya. Seperti dosa yang telah dilakukan Mat Kukul selama ini, misalnya. Jadi tidak perlu takut terhadap siapa pun kecuali kepada Sang Mahapenentu. Karena tidak akan ada orang yang akan mengancam jiwamu dari peristiwa terbunuhnya Mat Kukul''.
''Tapi bukankah Mat Kukul ini banyak musuh dan dikenal suka menganggu orang pada saat dia mabuk minuman keras?''.
''Karena itulah dia tewas terbunuh. Peristiwa buruk yang sering ia timbulkan dari perilakunya yang buruk, memaksa orang lain menjadi dendam dan melampiaskan keangkaramurkaannya lewat senjata tajam. Akibatnya Mat Kukul binasa,'' jawab orang tua itu.
Paitok diam. Rasa takut akibat ancaman sepulang dari tahlilan itu agak berkurang. Tapi keheranannya terhadap lelaki tua yang berjalan di samping kirinya semakin menjadi-jadi. Apalagi langkah lelaki tua itu tidak terdengar sesaat setelah Paitok turun dari tangga kayu ulin (unglen) rumah Mat Kukul almarhum.
Dalam perjalanan pulang secara bersama, orang tua itu mengatakan, waspada itu perlu. Namun jika rasa takut menghantui seseorang secara berlebihan, maka porsinya akan merusak akidah (iman) yang ada di dalam diri seseorang. Apalagi rasa takut yang muncul tidak didasari alasan yang jelas.
''Meski rasa takut adalah bagian dari hidup manusia, namun kita tidak boleh memanjakan itu. Karena dosa yang dilakukan Mat Kukul semasa hidupnya, dia sendirilah yang akan menerima segala risikonya. Karena itu, kalau kau merasa takut atas segala kekeliruan yang dilakukannya selama ini, berarti akan muncul penilanan bahwa selama ini kau telah ikut andil menjadikan seorang Mat Kukul sebagai bandit yang meresahkan masyarakat''.
Paitok terbelalak mendengar penuturan akhir orang tua di sampingnya. Apa yang dikatakannya memang benar. Ia tidak perlu takut. Karena dosa yang diperbuat Mat Kukul selama ini, merupakan dosa pribadinya yang tidak mungkin dilimpahkan ke orang lain.
''Kata hatimu itu memang benar. Dosa seseorang tak mungkin ditanggung oleh orang lain. Jadi jangan takut. Setiap langkah hidup pasti ada risikonya sendiri. Ibarat sebuah strategi permainan, di papan catur tergambar petak hitam-putih yang menentukan setiap langkah. Dan, setiap orang pasti ingin memilih petak putih sebagai cerminan perbuatan baik. Jika tidak hati-hati, mereka akan tergelincir ke petak hitam yang memenjarakan kebersihan hati manusia dalam gelimang dosa. Ingat, petak-petak catur ibarat jalan kehidupan yang menentukan arah, kemana kita menuju. Apabila salah memilih, kita akan masuk ke dalam petak hitam yang meresahkan masyarakat, seperti ulah Mat Kukul semasa hidupnya. Jika sudah begitu, risikonya akan mati terbunuh,'' tutur orang itu panjang-lebar.
Mendengar tuturan orang tua itu, wajah Paitok seperti raut muka orang tolol. Ia tak mengerti, kok orang itu dapat membaca pikirannya?
Tiba-tiba lamunannya buyar ketika segerombolan orang berjalan cepat ke arah dirinya. Ah, ada apa? Nyalinya ciut seketika. Ia merasa ada cairan hangat yang membasahi celananya. Untuk berlari, kakinya sudah seperti terpaku ke bumi. Degup jantung Paitok seolah akan berhenti. Oh Tuhan, apakah ajalku tiba?
''Mas Paitok, terima kasih. Selama ini kau telah memperjuangkan perdaimanan antara warga kampung kami dengan orang-orang di seberang desa sana. Akibat ulah Mat Kukul selama ini, warga desa seberang seringkali menyerang warga kami dengan senjata tajam. Karena perjuangan Mas Paitok menyelesaikan persoalan kami, maka kedua pihak sudah damai,'' teriak seseorang di antara gerombolan yang datang.
Orang-orang itu menjulurkan tangannya. Mereka ingin menyalami Paitok. Karena rasa takut yang berkecamuk di dalam dirinya demikian hebat, maka pandangan Paitok gelap seketika. Ia tergeletak pingsan. Ternyata, rasa takut telah melelehkan keberaniannya. Orang-orang kampung segera mengusungnya ke balai desa. Sementara orang tua --lawan bicara Paitok- hanya tersenyum dan menghilang dalam gelap.


Palembang, 3 April 1987

Tidak ada komentar: