Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (4)

Paket Lebaran Penebar Maut



Hari kedua puluh Ramadan, keluarga muslim pasti repot untuk persiapan Idul Fitri. Terutama memersiapkan pakaian baru untuk anak-anak mereka. Namun tidak demikian dengan Nek Onik. Kemiskinan yang menjerat sepanjang kehidupannya, sangat sulit untuk mengikuti cara keluarga berada yang sudah lebih dulu mempersiapkan diri menyambut hari lebaran.
‘’Ya Allah, beri jalan keluar untukku Ya, Sang Pemberi rezeki. Kasihanilah nasib kedua cucuku ini. Mereka sudah bertahan untuk puasa sebisanya. Beri kesempatan kepada mereka untuk ikut bergembira di hari lebaran tahun ini,’’ begitu Nek Onik bermunajat kehadirat Ilahi dengan suara bergetar.
Selepas salat subuh tadi, airmatanya mengucur deras bak mutiara ke pipinya yang keriput. Apalagi saat ia memperhatikan dua cucunya yang masih tergolek di tempat tidur terbuat dari kayu bekas kemasan mesin jahit itu, begitu menguras perasaan ibanya. Sebelum pulas, Melati dan Kenanga berharap neneknya dapat membelikan baju baru untuk mereka, setelah terjaga dari tidur nanti. Ah, kemana aku harus mencari uang pembeli baju baru untuk kedua cucuku itu?
Nek Onik masih ingat bagaimana sore tadi kedua cucunya minta dibelikan pakaian baru seperti anak tetangga teman main mereka yang sudah dibelikan orang tuanya. Meski tidak memaksa neneknya, namun dari sorot mata kedua anak itu yang berkaca-kaca, mereka tentu minta dibelikan baju baru untuk lebaran.
‘’Sabar nak, ya. Nanti nenek ikut antre paket lebaran di kantor majikan nenek dulu. Kalau dapat, nenek janji akan membelikan pakaian untuk kalian berdua, ya,’’ begitu Nek Onik berusaha menyenangkan perasaan cucunya.
Tapi di balik hatinya yang terdalam, tersisip perasaan perih seperti ditusuk sembilu. Terutama ketika ia membayangkan bagaimana kedua cucunya begitu gembira mendengar ucapan neneknya yang janji akan membelikan baju lebaran.
‘’Horeee, Nenek akan membelikan baju baru untuk kita, Kenanga,’’ kata Melati kepada adiknya. Sikapnya yang lucu memaksa senyum Nek Onik merekah di bibirnya yang keriput. Melati menari-nari sembari menghayal memperagakan baju baru yang akan dibelikan neneknya nanti.
Hmm, sampai di situ Nek Onik sadar, apakah jika berhasil mendapat paket lebaran dari PT Onik Jaya Perkasa nanti cukup untuk membeli baju baru bagi kedua cucunya?
Orang tua yang pernah kena stroke ini berjalan tertatih ke tempat tidurnya. Ia membuka lipatan alas tidurnya. Di bawah lipatan kain itu terdapat ponjen (kantong uang dari kain) yang sudah kucel. Dalam ponjen itulah biasanya Nek Onik menyisakan sedikit keuntungan dari hasil dagangannya tiap pagi.
Jika tidak bulan puasa, biasanya Nek Onik mengambil dagangan ke pemubuat roti dan kue di kampungnya. Tiap hari, untuk menghidupi dua cucunya, Nek Onik berjualan roti goreng dan kue-kue. Ia menjajakannya ke seputaran kampung tempat ia bermukim. Jika nasib lagi bagus, Nek Onik masih memperoleh keuntungan sebesar Rp 20 ribu. ‘’Lumayan nak, untuk membeli dua kilogram beras, sayur, dan ikan asin buat makan dua cucuku,’’ tutur Nek Onik saat diwawancarai seorang wartawan penulis feature, beberapa waktu lalu.
Di bulan puasa ini, Nek Onik terpaksa harus libur. Ia tidak jualan kue. Namun untuk mengisi kekosongan aktivitasnya, orang tua itu membuat cendol dan dijualnya ke emperan pasar. Yah, meski untungnya tidak banyak, tapi cukup untuk mengatasi kebutuhan hidup dengan dua cucunya di rumah.
Ia melepas tali pengikat ponjen tersebut. Kemudian kantong uang itu dikuaknya. Dari dalam ponjen tersebut Nek Onik mengeluarkan uang recehan simpanannya. ‘’Wah, kalau uang simpananku ini dipakai untuk membeli baju cucuku, apakah aku bisa jualan cendol lagi. Ah, bagaimana ini?’’.
Nek Onik memutar otak untuk menggunakan uang simpanannya. Digunakan atau tidak? Tidak atau kugunakan untuk membeli baju cucuku? Ah, pikirannya jadi buntu. Tiga tahun lalu, Nek Onik harus menanggung beban untuk menghidupi Melati dan Kenanga. Beban berat itu terpaksa harus ia lakukan, karena Farida anaknya (ibu Melati dan Kenanga), tewas dibantai musuh suaminya.
Herman, suami Farida, pernah merampok toko emas dengan temannya, Firza. Tapi saat keduanya berhasil mengambil sekitar dua kilogram emas dari toko tersebut, Firza tertangkap polisi. Sedangkan Herman buron hingga sekarang.
Sepulang dari penjara, Firza berkunjung ke rumah Farida. Lelaki itu minta bagian emas hasil rampokan mereka kepada Farida. Meski Farida sudah bersumpah atas nama Allah bahwa dia tidak tahu sama sekali mengenai emas tersebut, Firza tidak percaya. Bahkan emosinya menggelegak tak terkendali.
Dengan sebilah parang tajam yang ia persiapkan sejak mendatangi rumah Farida, wanita malang itu tewas dibacok Firza dengan dua belas tebasan. Saat itu, leher Farida nyaris putus. Untunglah saat pembunuhan itu terjadi, cucunya Kenanga dan Melati sedang istirahat di rumah Nek Onik.
Mengenang kejadian tragis yang menimpa anaknya itu membuat Nek Onik trauma. Tapi orang tua ini selalu berdoa kepada Sang Pencipta, agar batinnya selalu terjaga. Kekuatan doa itulah yang membuat ia masih bertahan hidup hingga sekarang.
‘’Nek, mengapa Nenek menangis? Apa yang membuat nenek bersedih?’’ suara Melati membuyarkan lamunan Nek Onik.
‘’Ooo, tidak Nak. Nenek tadi membersihkan kolong tempat tidur nenek. Wuih, banyak sekali debunya. Makanya mata nenek kelilipan,’’ tukas Nek Onik mencoba tersenyum.
‘’Oo, Melati kira nenek menangis’’.
Nek Onik tersenyum sembari menggelengkan kepala. Ia memeluk dan menciumi cucunya yang baru bangun tidur itu. ‘’Hmm, bau ompol,’’ ucap Nek Onik menutup lobang hidungnya. Ia pun lalu tertawa renyah. Sembari menimang cucunya, Nek Onik menyuruh Melati mandi. ‘’Supaya tubuhmu segar, ayo mandi. Air sumur bagus untuk kesegaran tubuh kita pada pagi ini. Nanti nenek timba untuk kamu mandi, ya’’.

****

Setelah menitipkan Melati dan Kenanga kepada tetangganya, Nek Onik pergi ke PT Onik Jaya Perkasa untuk antre paket lebaran. Kebetulan ia dapat kupon dari petugas paket lebaran dari perusahaan tersebut yang sengaja membagikannya ke warga tidak mampu di kampung Nek Onik.
Padahal, pemilik PT Onik Jaya Perkasa (Hadi Jaya Subrata) pernah menjadi majikan Nek Onik. Ia bekerja dengan Pak Hadi selama 15 tahun. Sebelum dia memiliki perusahaan, Pak Hadi hanya seorang PNS golongan rendah. Sedangkan ayahnya pernah menjadi pengusaha kayu. Karena bahan bakunya habis, panglong ((pabrik penggergajian kayu) itu tutup. Karena itu di bekas areal panglong ayahnya banyak potongan kayu yang tidak termanfaatkan.
Nek Onik, saat mudanya di Jawa dulu, pernah bekerja sebagai perajin kayu bekas. Potongan kayu itu dibuat sajadah, tirai, dan tikar kayu untuk ruang tamu. Namun potongan kayu itu terlebih dulu dibubut, dihaluskan, dan dipolitur, kemudian disambung satu sama lain dengan drat sambungan. Hasil karyanya begitu memikat. Karena itu banyak pesanan dari luar Pulau Jawa yang meminta sajadah kayu bikinan Onik dalam jumlah besar.
Idenya itu disampaikan ke Pak Hadi. Seperti gayung bersambut, majikannya menerima ide tersebut. Baru dua bulan Hadi Subrata mengusahakan potongan kayu bekas di areal panglong ayahnya, sudah banyak pesanan dari luar kota.
Karena omzet pesanan kian meningkat, Pak Hadi membuka perusahaan dengan mengambil nama Nek Onik (PT Onik Jaya Perkasa). Tapi setelah perusahaannya besar, Hadi Jaya Subrata membuka cabang di Jakarta. Sedangkan manajemen PT Onik Jaya Perkasa di Palembang diserahkan ke adiknya. Sebelum pindah ke Jakarta, Pak Hadi meminta ke adiknya agar memperhatikan kebutuhan Nek Onik sehari-hari. ‘’Karena usaha ini berkat jasanya,’’ kata Pak Hadi kepada Pamuji.
Meski Pamuji menyetujuinya, tapi hingga kini ia tidak pernah mewujudkan pesan dan permintaan kakaknya. Itulah momen terakhir yang memisahkan Nek Onik dengan keluarga Hadi Jaya Subrata.
Antrean paket lebaran di PT Onik Jaya Perkasa sudah demikian panjang. Nek Onik merasa tidak berdaya ikut antre bersama orang ramai. Ia mencoba menemui Pak Pamuji. Tapi petugas paket lebaran melarangnya dengan gaya bahasa yang sangat ketus,’’Pak Pamuji tidak ada di tempat. Nenek harus ikut antre. Ayo, ke sana!’’. Petugas itu mendorong tubuh Nek Onik yang renta.
Meski hatinya sakit mendengar hardikan petugas tersebut, namun Nek Onik tak punya pilihan lain. Ia pun akhirnya ikut antre. Saat paket lebaran mulai dibagikan cuaca siang begitu terik. Karena kegerahan, suasana mulai kacau. Saling dorong pun terjadi. Posisi Nek Onik yang berada di dua jalur kekuatan itu pun terjatuh. Ia terinjak-injak para pengantre. Suara teriakan minta tolong dari mulut wanita tua itu sia-sia. Orang-orang mulai kesetanan untuk mengambil paket lebaran yang dibagikan.
Petugas paket tak dapat mengatasi kekalutan tersebut. Saat polisi datang ke tempat kejadian, nyawa Nek Onik sudah melayang. Ia tewas seketika dalam kekacauan itu. Dari mulut Nek Onik meleleh darah segar. Dengan wajah pucat orang-orang yang ikut atrean tersebut hanya mampu saling pandang seperti orang tolol. (*)

5 September 2007

Tidak ada komentar: