Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (7)

Tamu Malam Hari



Sejak harga BBM naik, dagangan Bahar benar-benar anjlok. Omset dagangannya yang semula diperoleh Rp 1.000. 000 sehari, kini hanya Rp 250 ribu saja. Ah, pendapatan itu tak sesuai dengan ongkos operasional sehari-hari.
Bahar benar-benar bingung. Sudah banyak cara untuk mempertahankan usahanya agar omset dagangannya tetap stabil, tapi upaya itu sia-sia. Sebulan setelah kenaikan BBM, usahanya ambruk. Padahal bulan depan istrinya akan melahirkan anak kedua.
‘’Dimana aku harus mencari ongkos bersalin istriku? Ah, gawat sekali,’’ begitu hati Bahar berbisik. Perasaannya begitu gundah. Di teras rumahnya, ia kelihatan gelisah. Tak terasa, sudah tiga batang rokok yang diisap tanpa ia nikmati sama sekali.
Lampu petromak yang sejak magrib tadi ia pompa, cahanya mulai redup. Bahkan, tiupan angin dari pintu depan mulai mengganggu cahaya penerangan lampu tradisional itu.
Ia segara menurunkan petromak dari gantungan di ruang tamu. Kemudian ia pompa lagi, sehingga cahanya memancar ke sekitar ruang tamu serta menerobos ke pintu depan yang belum ia tutup. Bahar melihat ke arlojinya. Hm, hari sudah pukul 9.00 malam. Sedangkan lepas salat Isya tadi, istrinya sudah pulas bersama Nurhayati –-anak pertamanya-- yang kini sudah berusia lima tahun.
Bahar duduk di beranda depan. Rumah panggung yang terbuat dari kayu beratap daun rumbia itu merupakan satu-satunya harta warisan ayahnya. Seperti rumah (gubuk) kampung lazimnya, di beranda depan terdapat tempat duduk dari bambu.
Di bangku panjang itulah Bahar dan kerabat kampung seringkali mendiskusikan segala persoalan warga. Tapi tak seperti biasanya, ternyata malam ini benar-benar sepi. Ia tak melihat seorang pun yang lewat di depan rumahnya. Padahal Bahar sudah berjam-jam duduk di bangku beranda.
Wah, malam ini seperti sedang ada pesta lelembut (setan dan jin) yang membuat semua orang takut ke luar rumah. Sepi dan membuat bulu roma berdiri. Aneh. Ada apa ya? Wah, keadaan ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Meski begitu, ia tidak merasa takut sedikit pun.
Selagi Bahar tenggelam dalam pikirannya, dari balik gerombol semak belukar di bawah pohon kelapa yang tumbuh di halaman rumah, seseorang menyapanya.
‘’Assalamualaikum,’’ sapa orang itu dari sekitar sepuluh meter di halaman depan. Bahar tidak segera membalas salam orang itu. Dengan perasaan tak menentu ia mencermati laki-laki yang berjalan mengarah ke rumahnya. Wah, siapa itu? Pakaiannya parlente sekali. Kelihatannya ia orang kota dan bukan penduduk kampung ini. Lelaki itu kembali menyampaikan salam kepada Bahar.
‘’Wa’alaikum salam,’’ jawab Bahar.
‘’Kau masih ingat aku, Mas Bahar?’’ tanya orang itu setelah tiba di bawah tangga. Bahar kembali mencermati sosok orang itu lebih dalam. Lama sekali ia memandang tajam ke sosok pendatang yang belum ia ketahui identitasnya. Orang ini berpakaian rapih sekali. Ia pasti orang kaya yang datang dari kota. Bersepatu kulit warna cokelat berkilat dan menenteng kopor echolac hitam. Setelah samar-samar mengingat figur orang itu, Bahar kaget dan mengatakan,’’Lho, kalau tidak salah, bukankah anda ini Mas Hasan anaknya Mang Jemain?’’.
Lelaki itu tertawa ngakak. Tanpa disuruh naik, ia segera meniti tangga dan menyalami serta memeluk tubuh Bahar yang kerempeng. Aroma tubuh Hasan begitu harum. Ia pasti memakai parfum melati, karena wanginya begitu lembut dan harum seperti ramuan orang mati. Bahar sempat merinding.
Wah, dari penampilannya saja Bahar dapat memastikan bahwa teman lamannya ini sedang dalam kondisi yang bagus. Ia pasti bekerja di sebuah perusahaan yang memberi gaji besar. Ia yakin, Hasan tentu sedang memiliki banyak uang. Tapi Bahar heran, dari dulu perangai Hasan tidak berubah. Ia sangat periang dan baik hati. Suara ketawanya yang lantang membuat istri Bahar terjaga dari tidurnya.
‘’Ada tamu darimana Mas,’’ tanya Mbak Narti keluar dari kamar tidur. Ia melangkah ke beranda, sembari mengucek-ucek matanya.
‘’Wah. Dik Narti, coba kau amati. Siapa tuan besar ini. Ayo, coba tebak,’’ kata Bahar dengan senyum terkembang.
Lama sekali Narti memandangi Hasan. ‘’Lho, inikan Dik Hasan. Wah..wah, ngganteng sekali. Perasaanku sudah lima tahun kita tidak ketemu, eh, datang ke sini sudah jadi boss,’’ tukas Mbak Narti menyambut salam tangan Hasan.
‘’Apa kabar, Mbak?’’ tanya Hasan.
‘’Kalau soal kabar sih, baik-baik saja. Tapi sejak harga BBM naik, usaha Mas Bahar gulung tikar. Keadaan kami sedang susah, Dik. Padahal, bulan depan nanti Mbak mau melahirkan anak kedua. Yah, nasib keponakanmu yang kukandung ini tampaknya kurang beruntung,’’ jawab Mbak Narti.
‘’Itulah risiko hidup di zaman gila seperti sekarang, Mbak. Cobaan hidup datang bertubi-tubi. Musibah terjadi di mana-mana. Namun terlepas dari semua itu, tiap orang pasti mengalami cobaan dari-Nya. Yang penting kita sabar, karena Tuhan tidak akan lalai memberi rizki kepada setiap orang yang selalu berusaha sebisanya,’’ ujar Hasan.
‘’Caramu berpikir jauh lebih dewasa ketimbang lima tahun lalu. Syukurlah. Dik Hasan tampaknya berhasil mengatasi sulitnya kehidupan ini. Coba bantu Mas Bahar, ya. Kau bekerja di mana, Dik?’’.
‘’Saya kebetulan dipercaya menjadi pengawas di sebuah perusahaan konstruksi. Kebetulan saat ini perusahan kami sedang mengerjakan proyek jalan di pedalaman kabupaten ini, Mbak. Kalau Mas Bahar bersedia ikut bekerja di perusahaan kami, saya akan daftarkan dia sebagai pekerja harian. Siapa tahu, nantinya ia bisa diangkat sebagai karyawan tetap. Kami butuh banyak tenaga kerja, Mbak’’.
Mendengar penawaran itu, Bahar segera menyambutnya. ‘’Wah, kalau memang ada lowongan, tolong ajak aku, San,’’ Bahar memohon.
‘’Tapi Mas Bahar harus ikut ke proyek di pedalaman kabupaten ini. Bagaimana, apa anda bersedia?’’.
‘’Lho, kenapa tidak. Kalau memang harus ke sana, aku ikut kamu,’’ tukas Bahar bersemangat.
‘’Ayo. Segeralah berkemas. Siapkan pakaian ganti beberapa stel, nanti di sana Mas Bahar akan diberi busana trainingspack (pakaian kerja lapangan),’’ kata Hasan.
‘’Hah, sekarang?’’.
‘’Lha, kapan lagi’’.
‘’Tapi saya belum siap, karena saya mesti meninggalkan uang makan Mbakmu selama kita bekerja di sana,’’ ucap Bahar dengan wajah sedih.
‘’Tak perlu khawatir. Uang belanja untuk Mbak sudah saya siapkan. Ini Mbak, terima saja,’’ ujar Hasan seraya mengeluarkan seikat uang ratusan ribu rupiah dari kopor hitamnya yang segera diberikan kepada Mbak Narti.
Bahar dan Mbak Narti kaget melihat uang sebanyak itu. Kedua suami istri itu tertegun menerima uang dari Hasan. Keduanya seolah bermimpi menerima uang sebanyak itu.
‘’Lho, kok melongo seperti orang tolol? Ayo ambil, Mbak. Saya tak bisa lama-lama di sini. Kalau Mas Bahar bersedia ikut, mari kita pergi sekarang juga karena saya ditunggu oleh pimpinan di ujung jalan kampung ini’’.
‘’Tidak minum kopi dulu, Dik Hasan?’’.
‘’Nggak usah, Mbak’’.
Setelah menyiapkan beberapa stel baju ke dalam tasnya, Bahar pergi mengikuti Hasan dalam kegelapan malam. Namun sebelum pergi, Bahar berpesan agar istrinya selalu menjaga kesehatan kandungan serta kehormatan rumah tangganya.

****

Sudah sebulan Bahar bekerja sebagai operator mesin aspal curah pada proyek jalan yang dipimpin Hasan. Sebagai orang yang dipercaya Direktur Utama PT Mengkudu Hijau, Hasan benar-benar dipuji sebagai pimpro yang piawai dan sangat disayang para pekerjanya. Justru itu, selama 30 hari bekerja di sana, Bahar begitu betah merintis jalan baru di sepanjang hutan lintas utara.
Soal kesejahteraan dan menu makanan, ternyata sangat sehat dan bervariasi. Apalagi di proyek itu terdapat beberapa tenaga ahli teknis dari Jerman dan Amerika, tentu servis menu makanan dan minuman tersedia dengan standar empat sehat lima sempurna.
Malam itu, ia kebetulan off dan posisinya sebagai operator mesin aspal curah digantikan Parto, teman sekamarnya. Karena itu, kesempatan libur sehari semalam itu dimanfaatkan Bahar sebaik-baiknya agar setelah bekerja seharian penuh kemarin, tubuhnya bugar kembali.
Dalam keremangan lampu proyek, alat-alat berat seperti buldoser, ekskavator, mobil kern, serta sejumlah truk yang diparkir di pemondokan, terlihat seperti sosok kamuflase yang menyeramkan. Apalagi Bahar istirahat sendirian di kamp, tentu membuat perasaannya menjadi agak seram. Namun ia mencoba menepiskan rasa takut dalam hatinya.
Malam kian larut. Sekitar satu kilometer dari kamp tempat ia mondok, terdengar suara mesin aspal curah bergemerasak serta sorak-sorai teman-temannya yang sedang bekerja menyelesaikan pengaspalan jalan yang kemarin malam belum tuntas seluruhnya. Karena itu ia tak dapat memejamkan mata. Lewat jendela terval, pandangannya diarahkan ke langit lepas. Di cakrawala, bulan bersinar separuh bayang. Dari balik gugusan awan, samar-samar terlihat awan putih kehitaman berarak ke arah utara. Dalam buntalan awan yang bergerombol, Bahar seolah melihat wajah istrinya yang tengah hamil tua menatap dan senyum ke arahnya. Ia benar-benar rindu kepada Narti dan anaknya. Harus ia akui, selama 30 hari di hutan, kerinduan itu sudah begitu menumpuk.
‘’Kenapa, Mas Bahar rindu kepada Mbak Narti dan anak semata wayang di rumah?’’ tiba-tiba suara Hasan membuyarkan perasaan rindunya pada anak dan istrinya di kampung.
Karena itu ia cukup kaget mendengar suara teman akrabnya ini. Yang ia ketahui, saat itu Hasan tengah mengontrol pekerjaan teman-temannya di front utara. Kok, secara tiba-tiba ia ada di kamp? Naik kendaraan apa dia sehingga tiba di kamp tanpa ia ketahui sama sekali? Hm, aneh.
‘’Lho, Mas Hasan tidak melakukan pengontrolan ke front utara?’’ tanya Bahar dengan kening berkerut.
‘’Ndak masalah. Untuk sementara tugas pengontrolan saya percayakan kepada Pak Prawiro. Ia juga orang lama yang bisa dipercaya’’.
Bahar hanya mengangguk. Kemudian ia minta sebatang rokok, karena kebetulan Hasan sedang menyulut rokok kretek di bibirnya.
‘’Saya melihat sikap Mas Bahar, tampaknya sedang dilanda kerinduan terhadap Mbak Narti dan anak di rumah,’’ tukas Hasan seraya menghirup asap rokoknya dalam-dalam.
‘’Secara jujur, ia San,’’ jawab Bahar.
‘’Nah, kejujuran itulah yang aku suka dari anda. Besok Mas Bahar punya rencana pulang ke kampung?’’.
‘’Lha, tapi pekerjaan kita belum rampung, kan’’.
‘’Tak masalah. Esok pagi, direktur keuangan datang ke lokasi kerja kita. Mas Bahar boleh mengambil gaji dan insentif uang lembur. Saya perkirakan selama sebulan ini anda mendapat total upah sebesar Rp 8 juta’’.
‘’Wah, alangkah besarnya Mas Hasan,’’ sergah Bahar kaget setengah mati. Masakan kerja baru sebulan sudah memperoleh uang gaji sebanyak itu. Rasanya tidak masuk akal.
‘’Itu bukan perkara masuk akal atau tidak. Kami menilai, anda termasuk pekerja yang kreatif dan menguntungkan perusahaan. Jadi wajar andaikata perusahan ini memberi gaji dan insentif yang sesuai dengan keahlian Mas Bahar,’’ kata Hasan.
Bahar mengucapkan rasa syukur yang dalam ke hadirat Sang Pemberi Rezeki. Dalam salat tahajud dari dua pertiga malam itu, doa syukur dan lafal dzikir meluncur dari bibirnya yang kebiru-biruan akibat candu rokok.
Paginya, setelah ia menerima uang sebesar Rp 8 juta, ia mohon izin kepada direktur keuangan untuk menengok istrinya yang sedang hamil tua.
‘’Silakan Pak Bahar. Saya sudah memberikan rekomendasi untuk anda lewat kewenangan Pak Hasan,’’ kata direktur keuangan itu dengan wajah ceria. Kumis tipis di atas bibirnya, menambah ketampanan Pak Direktur tersebut.
Bahar benar-benar gembira. Sebelum meninggalkan ruang kerja direktur keuangan, ia menyalami pimpinannya. Rasa hormat serta rendah hati pribadi Bahar itulah yang membuat dia cepat memperoleh tempat di hati teman-teman sekerjanya.
Di kamp, ia sudah ditunggu Hasan. ‘’Mas Bahar boleh langsung pulang ke kampung. Saya akan mengantar anda hingga ke batas kelokan jalan aspal baru dengan motor dinas. Setelah itu anda boleh meneruskan perjalanan hingga ke ujung jalan aspal yang kita kerjakan. Di sana banyak kendaraan umum yang lewat. Mas Bahar bisa naik kendaraan umum di sana. Ingat, selama Mas Bahar berjalan untuk mencapai ujung jalan aspal ini, anda tidak diperkenan menoleh ke belakang,’’ begitu Hasan memberi nasihat.
‘’Kenapa, San?’’.
‘’Itu pantangan bagi masyarakat yang hidup di daerah ini,’’ jawab Hasan dengan mimik serius.
Sementara itu, laju motor yang dikendari Hasan meluncur cepat. Setelah Hasan menurunkan sahabatnya itu di kelokan jalan aspal baru, Bahar diingatkan kembali untuk tidak melanggar pantangan yang sudah disebutkan tadi.
Bahar pun patuh terhadap pantangan itu. Setelah tiba di antara ruas jalan lama dengan ujung jalan aspal baru, ia pun menoleh ke belakang. Astaghfirullah. Bahar kaget setengah mati, karena jalan yang sudah ia lalui tadi tiba-tiba hilang tak berbekas.
Yang ia lihat hanyalah kerimbunan semak belukar dan pepohanan meranti yang belum terjamah para perambah hutan. Ia mengucek-ucek matanya. Apakah ia tengah bermimpi? Kemudian Bahar mencubit kulit lengannya. ‘’Ah, aku ini tidak sedang bermimpi. Ya, Allah. ini fakta. Wah, kondisi seperti ini bisa membuat aku gila,’’ celotehnya seperti berbicara dengan diri sendiri.
Ketika kesadarannya penuh, ia segera membuka tasnya untuk melihat apakah uang gaji yang ia peroleh dari PT Mengkudu Hijau tidak raib seperti jalan aspal baru yang ia lalui tadi. Bahar pun kembali dikejutkan oleh situasi yang tak masuk akal. Bukan saja uang itu masih utuh, tapi jumlahnya pun bertambah menjadi Rp 10 juta.
Setelah ia mengingat-ingat tentang masa lalu sahabatnya Hasan, ternyata ia baru sadar bahwa teman karibnya itu tewas lima tahun lalu, karena tertimpa tiang listrik bertegangan tinggi yang roboh akibat angin kencang. Bulu romanya merinding.
Wuih, nasib Hasan memang naas. Tapi jauh sebelum ia meninggal, Hasan dan Bahar pernah membuat kesepakatan dengan cara ikrar darah di pergelangan tangan mereka. Barangkali ikrar itulah yang menyebabkan Hasan masih berusaha membantu kesulitan Bahar setelah dagangannya pailit akibat harga BBM membumbung tinggi. Masya Allah!

6 Maret 2007

Tidak ada komentar: