Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (8)

Racun



Sejak menderita disentri, bobot tubuh Soleh merosot tajam. Wajahnya pucat dan menyiratkan penderitaan yang disembunyikan. Kalau bisa, orang lain, termasuk istrinya sendiri, tak perlu tahu mengenai penyakit yang ia derita. Biarlah ia sendiri yang menanggung semua penderitaannya. Kalau anak dan istrinya tahu mengenai penyakitnya, mereka bakal ikut-ikutan susah. Apalagi sepeser pun ia sudah tidak punya lagi uang simpanan
Tapi dengan sikapnya yang seperti itu, istrinya jadi tidak ambil pusing. Bahkan, tuntutan kebutuhan rumah tangganya pun kian membebani pikiran dan perasaannya. Akibatnya, kondisi kesehatan Soleh kian terpuruk.
Akibat dari suasana yang tidak bersahabat seperti itu, kondisi kesehatannya kian terpuruk. Setiap kali buang air, kotorannya berbaur dengan cairan darah berlendir yang begitu parah. Ketika jongkok di toilet, perihnya bukan main. Kalau bisa menangis, Soleh ingin meraung-raung mengungkapkan penderitaannya. Tapi kepada siapa?
Buktinya, sudah genap tiga bulan ia mengidap disentri, ia merasa, tak seorang pun yang peduli dan menyatakan prihatin atas nasibnya. Justru, dengan keadaan seperti itu, istrinya menganggap Soleh pemalas dan sudah tidak peduli lagi dengan tanggung jawabnya untuk menafkahi dan membiayai kebutuhan keluarga. Dampak dari tekanan psikis yang dideritanya, hingga sekarang disentrinya tak kunjung sembuh, meski sudah beberapa kali digempur dengan obat dokter dan minum ramuan tradisional.
Padahal dia sudah beberapa kali pergi ke dokter. Dan, sejumlah resep dengan harga obat yang tak masuk akal pun, telah menguras isi sakunya. Tapi semua itu seolah sia-sia saja. Penyakit berak darah itu masih betah mencengkeram kesehatannya. Apakah dia akan mati karena penyakit itu?
‘’Ya Allah, jangan Kau siksa aku lebih lama lagi. Aku sudah tidak tahan dengan penyakit ini. Kalau Engkau ingin mengambil nyawaku, ambillah. Aku ikhlas, Tuhanku,’’ keluhnya di ranjang dengan perasaan putus asa. Airmatanya kembali meleleh ke pipi. Entah, sudah berapa kali ia menangis karena menanggung rasa perih yang melilit perut dan duburnya.
Akibat menebus resep obat dari dokter itulah modal usahanya amblas. Ia sudah tidak punya modal lagi untuk mengambil barang dagangan (ikan laut) dari agen yang biasa memberinya peluang berusaha. Sedangkan lima koli ikan segar (sekitar 300 Kg) yang diambilnya dua bulan lalu pun, belum ia setor ke agen.
Dengan kondisi seperti itu, istri dan anaknya benar-benar menderita dan merasa diabaikan laki-laki ini. Bahkan, Rodiah (istrinya) menggerutu berkali-kali, karena anaknya minta uang SPP. Kemarin, dia disuruh pulang oleh guru kelasnya lantaran sudah dua bulan belum membayar uang sekolah.
‘’Titin malu sekali, Mak. Soal uang SPP yang belum dibayar, membuat teman-teman di sekolah selalu mengolok-olok Titin dengan kata-kata yang menyakitkan hati, Mak,’’ ujar anaknya pulang dari sekolah dengan airmata meleleh ke pipi.
Tak tahan dengan kondisi seperti itu, Rodiah harus pulang ke rumah orang tuanya. Ia mengajak kedua anaknya. ‘’Daripada melok Kak Soleh yang berbulan-bulan seperti ini, lebih baik aku pulang dulu ke orangtuaku. Aku stres dengan keadaan begini. Apakah kita akan terus-terusan menderita seperti ini, Kak?’’ begitu istrinya menggerutu dengan airmata bercucuran. Ia segera mengemasi baju dalam buntalan kain sarung.
‘’Terserah, Kak Soleh mau apa. Untuk sementara, aku dan anak-anak akan pulang dulu ke rumah Abah’’. Rodiah bergegas ke luar rumah. Sementara Soleh bungkam dengan roman wajah tak karuan. Ia tidak mampu mencegah kepergian istrinya. Ia sadar bahwa sudah dua bulan ia tidak dagang ikan di pasar 16 Ilir. Selain sakit, ia sudah tidak punya modal lagi. Sedangkan utangnya di agen sudah melilit pinggang.
Dengan kondisi sesulit itu, apakah ia dapat memberi nafkah untuk dua anak dan istrinya? Selain itu, kontrakan rumahnya untuk tahun ini belum dibayar. Pemilik rumah sudah menanyakan itu dengan kata-kata ketus dan tak berperasaan sama sekali.
Ya Allah, betapa beratnya cobaan ini. Mau tak mau, Soleh hanya bisa menangis tanpa suara di tempat tidurnya sendirian. Tanpa istri dan anak-anaknya di rumah, perasaannya begitu rawan. Kesepian begitu panjang dan menyiksa. Kalau begini ia bisa gila. Oh Tuhan..
Setelah dua jam istrinya pergi, Soleh bangkit dari tempat tidur. Biasanya ia akan buru-buru ke toilet. Tapi ternyata tidak. Perutnya ia ikat dengan kain sampang putih untuk mengurangi lilitan rasa sakitnya. Dengan berjalan gontai ia keluar dan mengunci pintu depan.
‘’Mau kemana Dik Soleh. Sudah beberapa hari terakhir saya tidak melihat anda. Sibuk?’’ tanya ustadz Rahmat, tetangga sebelah rumahnya. Soleh agak kaget mendengar sapaan itu.
‘’Oo, Pak Ustadz. Saya mau ke pasar, Pak,’’ jawab Soleh sembari menyembunyikan rasa sakit.
Meski begitu, Ustadz Rahmat bisa memmbaca keadaan laki-laki ini. Selain pucat, kondisi Soleh tidak seperti biasanya. Ia kelihatan kurus, kuyu, dan lesu.
‘’Dik Soleh sakit?’’.
‘’Tidak, Pak. Saya hanya kurang tidur,’’ ujar Soleh mencoba berbohong.
Ustadz bersorban putih ini tersenyum. Ia bisa membaca bagaimana stamina tetangganya ini. ‘’Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu. Nanti, kalau Dik Soleh perlu bantuan, jangan sungkan-sungkan. Bicara saja ke saya, ya. Saya mau buru-buru ke Masjid Al Jannah, mau ngisi ceramah di sana. Saya doakan agar Dik Soleh selalu sehat-sehat saja. Assalamualaikum,’’ tukas Ustadz Rahmat tersenyum. Ia berjalan lain arah dengan langkah Soleh.
‘’Terima kasih, Pak Ustadz’’. Soleh segara bergegas ke Pasar 16 Ilir. Ia ingin melihat keadaan pasar, apakah ia bisa mencarter sisa dagangan kawan-kawannya untuk dijual kembali. ‘’Dapat untung sedikit tak apalah. Yang penting aku harus mencoba berusaha dari bawah lagi. Kalau bisa istri dan anak-anakku pulang lagi ke rumah,’’ begitu tekadnya.

****

Lama juga Soleh berdiri di atas jajaran kotak iwak (peti es) tempat pedagang menyimpan ikan laut dagangannya. Jika disimpan di peti itu, kesegaran ikan laut dagangan mereka akan terjaga dan dapat bertahan hingga beberapa hari.
Hidung Soleh sudah terbiasa dengan aroma pasar yang busuk menyengat. Bagi dia, aroma itu tak lebih dari ‘’keharuman syurga’’ yang memberi berkah bagi kehidupan keluarganya.
Tapi hari ini barang dagangan sedang kosong. Peti-peti es milik pedagang ikan di sana terlihat melompong.
‘’Sedang angin barat. Jadi nelayan tak berani melaut. Makanya, barang dagangan hari ini kosong, Leh. Lagi pula ada agen yang punya simpanan beberapa kilogram ikan tenggiri, mahalnya minta ampun,’’ kata Ujang Ompong ketika melihat Soleh berdiri di atas peti es ikan miliknya.
‘’Pantas saja tak ada teman-teman lainnya’’.
‘’Yah, mereka sudah pulang sejak tadi. Kok kau kelihan kurus dan pucat. Kau sakit?
‘’Iya, Jang. Sudah tiga bulan ini aku kena disentri’’.
‘’Pantas saja dalam beberapa minggu terakhir aku tidak melihat kamu. Tidak ke dokter?’’.
‘’Wah, aku sudah tiga kali berobat ke dokter, Jang. Bahkan, segala ramuan tradisional sudah aku minum, tapi belum sembuh juga’’.
Ujang mengangguk sembari mengingat-ingat ramuan apa yang pernah ia ketahui untuk membantu Soleh. ‘’Oo, aku baru ingat. Coba kau minum air sagu dicampur gula merah. Obat tradisionalini bagus kau minum setiap pagi,’’ tukas Ujang dengan mimik serius.
Meski menganggukan kepala, tapi Soleh tak bereaksi dengan anjuaran temannya. Tampaknya ia sudah tidak berminat lagi merespons obat tradisional seperti itu, karena sudah banyak anjuran serupa yang ia turuti, tapi penyakitnya tak kunjung sembuh juga.
Sementara Ujang asyik melayani pembeli ikan, Soleh kembali hanyut dengan lamunannya. Ia kecewa terhadap nasib buruknya. Di saat kondisinya sakit seperti ini, barang dagangan sedang kosong. Karena semangat untuk mengais rejeki itulah rasa perih yang menghentak sejak tadi tak ia hiraukan. Hanya dari gambaran raut wajahnya saja rasa sakit itu ia tahan-tahan. Harapannya, kalau Ujang masih banyak stok barang ia akan mencarternya. Siapa tahu dengan cara itu ia memperoleh sedikit untung untuk mengatasi kesulitannya. Ternyata harapan itu sia-sia setelah ia melihat di pasar, barang dagang temannya sedang kosong.
Saat kondisinya sedang labil, tiba-tiba seorang pejual racun tikus botolan lewat. ‘’Racun, racun. Racun tikus, nyamuk, dan kepinding (kutu busuk), dalam sekejap akan binasa,’’ seru penjual racun tikus itu.
‘’Mang, berapa sebotol racun tikus ini?’’ tanya Soleh.
‘’Wah, murah saja, Pak. Hanya Rp 2.000. Tapi kualitasnya ampuh sekali. Anda boleh coba,’’ kata penjual racun tikus itu. Maksud ‘’coba’’ menurut penjual itu adalah menjajalnya untuk membunuh tikus.
Soleh mengamati botol racun tikus tersebut. Lama sekali ia menatap cairan hitam kecoklatan dalam botol itu. Hm, kemasannya tidak ditutup lapisan seng. Pada mulutnya hanya tertutup dengan sempalan gabus diselimuti lapisan lilin merah.
‘’Lho, bapak jadi membeli racun ini?’’ penjual racun itu bertanya. ‘’Saya akan mengedarkan dagangan ini ke tempat lain,’’ ujarnya.
Soleh tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tapi senyumnya sulit ditafsir. Tiba-tiba, tanpa ekspresi Soleh menenggak cairan berbahaya dari botol tersebut. Penjual racun itu kaget. Ia panik setengah mati melihat Soleh minum racun dagangannya.
‘’Tolong, bapak ini minum racun saya,’’ begitu penjual racun itu berteriak panik. Ia segera meninggalkan barang dagangannya dan langsung lari ke pos polisi di muara Pasar 16 Ilir.
Serta-merta, para pedagang di sekitar kejadian heboh melihat tubuh Soleh yang tergolek di atas peti es ikan laut milik Ujang Ompong. Tubuhnya berkelojotan. Dari mulutnya keluar busa. Sedangkan botol racun itu jatuh ke lantai pasar dan pecah berhamburan bersama cairan racun tikus yang menebarkan aroma menyengat.
Tak lama kemudian polisi dan penjual racun itu tiba di tempat kejadian. Tubuh Soleh diangkut ke mobil dinas patroli polisi dan segera dilarikan ke rumah sakit.
Dalam kondisi hiruk-pikuk begitu, Soleh membuka matanya. Ia heran, tubuhnya begitu ringan. Seluruh persediannya seolah diselusupi gas helium yang ringan dan dapat menerbangkannya ke udara.
Lambat-lambat tubuhnya yang ringan membumbung dari mobil patroli polisi yang meraung-raung membawa dirinya. Ia begitu kaget. Dari ketinggian, tatkala memandang ke bawah, ia melihat tubuhnya tergeletak di bangku belakang dengan alas kertas koran. Ia menjerit sekuat-kuatnya ke arah dua polisi yang duduk di sebelah tubuhnya. Tapi sia-sia.
Bahkan, tubuhnya kian jauh membumbung, dan mobil patroli polisi itu semakin mengecil dari pandangannya dan akhirnya hilang di balik gedung sebuah hotel. Sedangkan di udara lepas, Soleh menangis. Ia rindu keadaan sehari-hari. Kagen dengan istri dan dua anaknya.
Dalam pengembarannya di negeri kamuflase, ia banyak melihat hal-hal yang menggambarkan kebaikan dan keburukan. Ia ngeri menghadapi itu. Apakah ia telah mati? Apa yang menyebabkan dia jadi seperti sekarang? Mengingat itu, ia menangis meraung-raung seperti anak kecil, agar suaranya didengar semua orang, terutama didengar istri dan dua anaknya. Tapi tak ada gunanya. Ia tetap berada dalam suasana asing yang menyekapnya dalam kesendirian.
Entah, sudah beberapa hari ia tersekap di dunia kamuflase. Yang jelas, ia berada dalam kondisi yang tidak ada daya sama sekali. Padahal, untuk membebaskan diri dari cengkaraman itu, semua kekuatannya sudah ia kerahkan. Tapi sia-sia. Ia pun pasrah.
Saat kerawanan itu memcapai puncaknya, Soleh kaget setengah mati. Suara istrinya yang tengah membacakan surat Yassien itu secara tiba-tiba membuka pintu kesendiriannya. Dengan kecepatan tak terhingga, tubuhnya jatuh dari ketinggian dan menimpa jasad yang mirip dirinya. Soleh menjerit. Orang-orang di sekitarnya begitu bersyukur.
‘’Alhamdulilah. Kesadaran Pak Soleh sudah kembali, Bu,’’ kata dokter sembari melihat monitor detak jantung dan memperlancar tetesan cairan di selang infus.
Istri Soleh bersyukur. Ia memanjatkan doa bagi kesembuhan suaminya. Seminggu diopname di rumah sakit, akhirnya kondisi Soleh pun pulih setelah mengalami masa kritis selama tiga hari. Selama tidak sadarkan diri, keluarganya sudah ikhlas jika bapak dua anak ini dipanggil Sang Pencipta.
Bahkan, lantunan surat Yassin di rumahnya sudah dibacakan istri dan orang kampungnya berkali-kali. Ternyata, ajal belum menjemputnya. Setelah kondisinya pulih, disentrinya pun sirna. (*)

Tidak ada komentar: