Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (3)

Bohak


MALAM semakin tua. Cahaya bulan berwarna keemasan di langit lepas, menerobos lewat kisi-kisi dinding penjara. Bulatnya sudah tidak benjol lagi. Itu pertanda, usianya sudah memasuki hitungan keempat belas hari penuh.
Sementara dengkur napas para narapidana yang sudah terlelap sejak selepas isya, terdengar beragam. Seolah di sel tahanan berukuran satu setengah kali dua meter itu sedang diadakan latihan pernapasan bersama.
Namun pada malam berakhirnya masa penahanannya di rumah tahanan itu, Bohak tak dapat memejamkan mata. Padahal sejak tadi ia sudah menguap berkali-kali. Ada perasaan gembira setelah selama 15 tahun ia menjadi penghuni sel tahanan nomor 8B, karena besok, tanggal 17 Agustus, ia akan bebas menghirup udara segar lagi, di luar tembok penjara.
Karena itu, bermacam khayal indah berputar-putar di benaknya. Di lantai tahanan yang dingin, dengan berbantal lengannya sendiri, pikirannya melayang ke anak dan istrinya yang ia tinggalkan. Membayangkan nasib anak dan istrinya yang sangat menyayanginya selama ia menjalani proses hukum, ia jadi menangis sendiri. Ah, alangkah luhurnya sikap istriku.
Bahkan, selama di penjara, istri dan kedua anaknya selalu membesuknya. Dalam perjumpaan sesaat itulah, ia selalu mengutarakan berbagai persoalan dengan keluarganya. Barangkali, hal itu pulalah yang menyadarkan dirinya bahwa berpisah dengan keluarga sangat tidak menyenangkan. Ia kerapkali mendekap perasaan rindu terhadap anak dan istrinya. Hal ini pulalah yang membuat kepekaan sosialnya semakin menebal.
Selama mendekam di penjara, ia tidak pernah berbuat gaduh atau memberi "salam perkenalan" (menyiksa) kepada tahanan baru. Padahal namanya sangat disegani di lembaga pemasyarakatan itu.
Ia sudah bersumpah kepada dirinya sendiri, untuk tidak melakukan perbuatan buruk lagi, meski dalam bentuk apapun juga. Bahkan, jika ada sesama napi yang berbuat kasar terhadap "pendatang baru", sikap Bohak justru menjadi "pahlawan". Tak heran jika di antara sesama napi, Bohak dianggap sebagai narapidana yang dituakan.
''Ya Allah, ampuni dosa hamba-Mu ini. Setelah bebas dari hukuman ini, hamba berjanji pada diri sendiri, untuk tidak berbuat dosa lagi,'' ujar Bohak dalam doa terakhir sehabis salat tahajud.
Air matanya menggenang dan meluncur ke permukaan pipi. Ia mamasrahkan diri setulus-tulusnya kepada Sang Maha Pengampun. Cucuran air matanya benar-benar melumatkan keangkaramurkaan di dalam dirinya.
Tepat di usianya ke-42 tahun itu, Bohak benar-benar sadar. Sebab, selama ini, hampir separuh dari hidupnya, ia selalu tenggelam di dunia hitam. Jika tidak mencuri, ia merampok nasabah bank yang membawa uang jutaan rupiah. Modalnya cuma nekat dan senjata api rakitan.
Jika melawan, Bohak tidak segan-segan menembak atau melukai mangsanya. Pokoknya, di dunia hitam, nama Bohak dikenal sebagai perampok ganas dan sangat kejam.
Setelah terakhir ia merampok direktur sebuah perusahaan konstruksi di kotanya, ia tertangkap. Direktur tersebut ia tembak di bagian kepalanya. Karena itu hukuman yang harus dijalaninya di penjara semakin berat setelah sang direktur tewas dalam perjalanan ke rumah sakit.
Akibat aksinya, ia terpaksa harus mendekam selama 15 tahun setelah palu hakim berdentang menghantam meja hijau sebanyak tiga kali. Dia terhentak. Hantaman palu itu menggetarkan hatinya.
Perasaan takut dan bersalah pun menghimpit sanubarinya. Ia menangis di depan hakim. Dalam persidangan itu, ketika ditawarkan apakah Bohak akan naik banding, ia cuma menggeleng. Bahkan ritme tangisnya semakin mengguncang tubuhnya. Ia terhenyak ke lantai ruang sidang. Peci penutup kepalanya terjatuh di lantai. Jangankan berdiri, untuk mengambil peci itu pun Bohak tak mampu.
Padahal, seberat apapun persoalan yang ia hadapi selama ini, ia tetap tegar dan angkuh. Tak setitik air mata pun tumpah ke pipinya. Sikapnya yang angkuh itulah makin memberi kesan bahwa Bohak benar-benar penjahat kejam. Itulah gambaran 15 tahun lalu, ketika Bohak yang masih tegar dan angkuh itu, harus dipapah keluar dari ruang sidang.

***
Pukul 9.30 WIB, Bohak dipanggil Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) di kotanya. Ia harus menandatangani surat pembebasannya. Wajah Bohak tampak cerah. Terutama sorot cahaya matahari pagi yang membias dari kaca jendela ruang kerja Kalapas, memantul ke wajahnya.
''Anda tahu bahwa masa hukumanmu berakhir hari ini?'' tanya Kalapas. Raut wajah Kalapas yang berkumis tebal itu benar-benar berwibawa.
Bohak tak mampu menjawab. Ia hanya mampu menganggukkan kepala. Padahal, jika mengingat mentalnya dulu, dalam proses verbal di hadapan polisi, ia sanggup bertatap mata secara tajam dengan petugas. Sehingga wajahnya pernah pecah dan berdarah dihantam popor senjata, karena petugas yang memprosesnya merasa tersinggung dengan tatapan mata Bohak yang tidak bersahabat itu.
''Kok Anda melamun? Tidak ada kegembiraan menyambut hari pembebasanmu?'' suara Kalapas membuyarkan lamunannya.
''Oh, maaf Pak. Karena terlalu gembira, pikiran saya sejenak melayang ke anak istri saya, Pak,'' jawab Bohak sekenanya.
Kalapas tersenyum. ''Istrimu sudah menunggu di ruang besuk. Sudah sejak dua jam lalu ia menantikan kepulanganmu,'' ujar Kalapas.
''Terima kasih Pak.''
Kalapas hanya mengangguk. ''Saya berharap Anda tidak pernah masuk kesini lagi. Untuk itu, perbaiki sikap Anda di dalam hidup bermasyarakat. Tidak ada yang lebih berharga selain dari sebuah kebebasan dalam melaksanakan tanggung jawab hidup. Karena itu, berbuat baiklah sesama makhluk hidup.''
Nasihat Kalapas itu benar-benar menyentuh perasaan Bohak. Mau tak mau, air matanya menggenang di pelupuk mata. ''Saya akan mengingat segala nasihat Bapak,'' kata Bohak dengan suara tersendat menahan tangis.
''Nah, tanda tangani berkas pembebasanmu ini,'' ujar Kalapas sembari menyodorkan seberkas akta pembebasan Bohak.
Dengan tangan gemetar karena haru, Bohak segera menandatangani berkas pembebasannya. Saat itu, tepat di luar ruang kerja Kalapas, terdengar suara burung murai yang berkicau merdu. Bohak jadi teringat dengan sejumlah burung peliharaannya di rumah. "Ah, burung-burungku, apa kabar kalian." Demikian bisik hatinya.
''Silakan, sekarang Anda sudah bebas. Anda akan diantar oleh sipir kami.'' Kalapas menyodorkan tangannya. Bohak menyambut hangat. Selepas bersalaman, Bohak diantar dua orang sipir keluar dari penjara.
Di pintu depan, ia sudah dinantikan istri dan keluarganya. Dengan tangan terbuka, sang istri menyambut hari pembebasan Bohak. Lama sekali ia memeluk istrinya.
''Istriku, selepas ini, aku tidak ingin melakukan hal-hal yang merugikan orang lain lagi. Dengan sisa uang simpanan yang ada, aku akan membangun keluarga kita. Agar kedua anak kita itu kelak menjadi manusia-manusia terhormat,'' ujar Bohak berbisik di telinga istrinya.
''Semoga saja, Mas. Aku berharap pembebasanmu menjadi momentum bagi kemajuan keluarga kita,'' jawab istrinya yang sudah sejak tadi dihujani tangisan haru.
Begitu dramatik pertemuan antara suami-istri itu. Karena secara fisik, mereka telah dipisah oleh tembok penjara yang kokoh, selama 15 tahun. Karena itu, istrinya tak begitu saja melepas pelukannya. Segala kerinduan, keharuan, dan perasaan marah yang tertunda, dilampiaskannya lewat pelukan itu.
''Selama ini, kau benar-benar seorang bajingan yang tak bertanggung jawab, Mas,'' cetus istrinya dengan nada pelan dan tersedak oleh tangisan.
''Yah, aku memang bajingan yang tak bertanggung jawab. Tapi yakinlah, untuk ke depan, aku berjanji akan berusaha untuk mengangkat derajat keluarga kita,'' jawab Bohak. Ia tak tersinggung dengan ucapan istrinya yang cukup pedas di telinga. Karena ia sadar, istrinya punya hak untuk melampiaskan segala kekecewaan dan kemarahan yang mengendap selama ini.
''Ungkapkan segala kemarahanmu, agar segala himpitan batinmu selama ini dapat terbebas. Karena kebebasan dalam bentuk apapun, sangat bernilai bagi siapa saja. Aku menghargai itu, istriku.''
Sekarang, Bohak benar-benar paham arti kebebasan. Dengan kata lain, kebebasan bagi makhluk hidup, ibarat ikan tak dapat dipisah dari air.
Justru, selama di penjara, kebebasan Bohak dibelenggu oleh petak ruangan yang teramat membosankan. Ia berbaur dengan bermacam sikap para pelanggar hukum yang sadis dan sok jagoan. ''Hmm, aku muak sekali.''
Setibanya di rumah, semua burung peliharaannya ia lepas, termasuk burung nuri kesayangannya yang sudah pandai bicara itu.
''Pergilah burung-burungku. Kembalilah ke habitat kalian. Karena kalian berhak mengenyam kebebasan di dunia ini. Bebaslah!'' begitu suara Bohak saat melepas sejumlah burung peliharaannya.
''Bebaslah, bebaslah,'' terdengar suara cadel burung nuri kesayangannya, membeo suara tuannya sendiri. Satwa cantik berwarna-warni itu terbang ke ranting pohon jambu air. Seolah ia mengisyaratkan salam perpisahan kepada tuannya. Bohak tersenyum. Tak sadar tangannya melambai ke burung kesayangannya yang menghilang di rerimbunan daun.

Palembang, 25 Juni 2003

Tidak ada komentar: