Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (7)

Gadis Panggilan di Kelokan Jalan



Baru tiga kali ketemu gadis itu, aku merasa simpati pada sikapnya yang sederhana. Selain tidak banyak meminta, cara berpikirnya pun begitu dewasa. Suatu ketika, saat aku mengajaknya jalan-jalan di taman kota, ia lebih banyak bercerita tentang nasibnya. Padahal, siang itu aku mencoba menawarkan diri untuk mengajaknya ke rumah makan sederhana di pinggiran kota, tapi dengan cara halus ia menolak.
‘’Ndak usah, Mas. Saya masih kenyang. Pagi tadi, sebelum ke luar rumah, aku nyarap nasi liwet yang kubeli dengan Mbok Inem di dekat tempat tinggalku. Wah, banyak sekali aku makan Mas, karena sejak kemarin sore aku belum makan apa-apa,’’ ujar gadis itu dengan senyum terkembang. Dua dekikan memikat yang menghiasi kanan-kiri pipinya membuat senyumnya begitu mempesona. Ah, manis sekali gadis ini.
Namun sejauh ini, aku tidak berani bertanya siapa namanya. Apalagi ia pun tak pernah ingin mengetahui siapa aku. Jadi biarlah. Persahabatan seperti ini lebih murni daripada aku harus masuk ke lorong pribadinya yang tak perlu aku ketahui. Aku merasa lancang andaikan aku harus lebih banyak bertanya hana-hene mengenai dia.
Jadi biarlah bersahabat seperti ini. Pokoknya aku bahagia. Persetan dengan bisikan teman-teman yang memberitahuku tentang dia. Toh, aku tidak pernah berpikir macam-macam mengenai profesinya sebagai apa.
Apa ruginya berteman dengan seorang wanita seperti dia. Orang bisa saja memojokkan nasib seseorang. Menjelek-jelekan posisi orang lain. Padahal, ketika ditelusuri, apakah dirinya lebih terhormat dibanding nasib seorang wanita panggilan? Sedangkan dia sendiri sering nyelonong ke lokasi pelacuran? Ah, taik kucing. Sok suci!
Aku mengenal gadis itu bukan untuk dijadikan konsumsi seks liar. Justru dia bisa dijadikan teman ngobrol yang asyik tanpa harus diwarnai sikap saling curiga dan kurang ajar. Dari perbincangan kami selama tiga hari terakhir, aku banyak ide untuk menulis tentang nasib dan kehidupan orang lain. Bahkan, ide brilian yang aku dapati dari gadis itu, direspons pimpinan saat rapat proyeksi di redaksi. Itu artinya, gadis itu telah menguntungkan karir jurnalistikku.
Seperti artikel yang kutulis pada terbitan dua hari lalu tentang korban gusuran di Kecamatan Dawuh, ternyata sangat berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah. Akibat tulisan itu, perusahan pengembang yang bertanggung jawab dengan sekian banyak nasib korban gusuran, harus membayar ganti rugi sesuai yang diminta masyarakat. Akibatnya, para preman yang membacking perusahaan pengembang begitu benci ketika namaku disebut-sebut Sekwilcam Dawuh pada saat menghitung luas tanah warga yang harus diganti rugi oleh pengembang. Biar saja. Yang penting, sebagai seorang jurnalis, aku harus membela kebenaran yang kebetulan kebenaran itu berpihak pada kepentingan orang kecil di Kecamatan Dawuh. Persetan dengan preman dan pengembang yang seenaknya merampas tanah rakyat.

****

Gerimis masih mencucur ke bumi. Aku meninggikan kerah jaketku. Ih, cuaca dingin sekali. Dengan berlari kecil, tas hitam berisi block note, tape recorder kecil, serta kamera digital delapan megafixel di pundak, terpaksa kutenteng untuk menghindari curah gerimis yang cukup membasahi.
Jika tak ada urusan, rasanya malas keluar dalam cuaca seperti ini. Lebih baik nulis berita di kantor atau membuat tulisan apa saja. Tapi, seperti janjiku kemarin, aku harus menemui dia di kelokan jalan itu, karena seperti biasanya, aku memang seringkali ketemu dia di sana. Sedangkan sepeda motorku kuparkir sekitar seratus meter dari kelokan jalan itu. Biarlah, Arif (penjaga parkir di sana) selalu menjaga motorku dengan baiknya. Bahkan, seringkali aku mencoba membayar biaya parkir, Arif selalu menolak menerima uangku.
‘’Nggak usah, Mas. Anda sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Biarlah, kalau Mas Anton mau parkir di sini, silakan saja. Mas ndak perlu pusing memikirkan biayanya. Bagi saya, uang Mas Anton nggak laku,’’ ucap Arif tertawa.
Kalau sudah begitu, aku tak dapat berkata apa-apa. Namun aku sangat bersyukur, karena dimana-mana aku selalu disambut siapa pun dengan sikap yang bersahabat. Ah, terima kasih Tuhan!
Tak terasa, aku tiba di kelokan jalan. Dan seperti biasanya, aku menunggu dia di depan toko buku Pak Johari. Pemilik toko buku itu ramah dan sangat hafal melihat roman wajahku. ‘’Silakan duduk di meja baca, Nak,’’ ujar Pak Johari, sesaat setelah ia melihat bayanganku di luar tokonya. Wajahnya begitu ceria.
‘’Terima kasih, Pak. Biar saja. Saya menunggu di sudut tembok toko Bapak,’’ jawabku.
‘’Yah, sudah. Bapak masuk dulu, ya,’’ katanya.
Aku hanya mengangguk dan pandanganku segera kulayangkan ke segala arah. Tak kulihat bayangan gadis itu. Di tengah hujan rintik-rintik itu aku hanya melihat orang-orang berlari-lari kecil mencari tempat berteduh. Ah, kemana dia? Sudah lebih dari sejam aku menantikan dia di sini, tapi dia tak muncul juga. Padahal dia selalu datang tepat waktu jika berjanji.
Setelah lebih dari dua jam aku berdiri di sudut tembok toko Pak Johari, akhirnya aku tak tahan juga. Kejenuhan pun menyiksa perasaanku. Tanpa pamit kepada Pak Johari, aku segera hengkang dari sana. Setelah mengambil motor dari areal parkir, aku tancap gas ke Jalan Melati. Di sepanjang wilayah jalan inilah tanah kosong milik warga Kecamatan Dawuh dicaplok PT Bagus Kencana. Kabar terakhir yang kudengar, tanah itu akan dibuat komplek perumahan mewah. Hm, seenaknya saja mempermainkan nasib orang lain.
Aku memacu motorku secara perlahan. Jalan ini sepi sekali. Karena di kiri-kanan jalan masih terdapat banyak belukar. Apalagi saat cuaca tak bersahabat seperti sekarang, kawasan itu tak lebih seperti ruang luas tempat ‘’jin membuang anak’’. Wajar andaikan pihak berwajib sering mendapat laporan warga tentang penemuan mayat korban pembunuhan yang dibuang di sini.
Selagi aku tenggelam dalam pikiran sendiri, tiba-tiba dari kejauhan di depan sana, sebuah Nissan Terano hitam berkilat melemparkan sesosok tubuh ke jalan. Aku tak sempat mencermati plat nomor polisinya. Secara reflek aku segera mengejar mobil tersebut, tapi tak berhasil. Kecepatan lari mobil itu seperti kendaraan setan. Merasa tak menang melawan kecepatan mobil tersebut, aku segera kembali ke tempat tubuh yang tergetak di pinggir jalan tadi.
Sebelum kusentuh, aku mencermati tubuh itu. Ah, tubuh seorang wanita muda dan ia masih hidup. Perutnya yang kembang-kempis itu pertanda sosok tersebut masih bernapas. Untuk menyelamatkan jiwa wanita itu, aku segera menelpon ambulans dan melarikannya ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, aku segera mengurus administrasinya. Biaya perawatan wanita itu menjadi tanggung jawabku. Biarlah. Aku sangat iba melihat kondisinya.
Selama tiga bulan tugas di kota ini, aku belum memiliki induk semang, kecuali ibu pemilik rumah kostku yang begitu baik dan perhatian sekali. Ia seorang janda tua yang tidak memiliki anak. Maka, sepulang dari rumah sakit, kepada ibu kost aku ceritakan tentang nasib perempuan yang dilempar seseorang dari sebuah mobil jeep hitam di Jalan Melati. Ia masih hidup dan dirawat di rumah sakit.
‘’Ooo. Jadi wanita tersebut dilempar begitu saja di jalan yang sepi itu?’’.
‘’Iya, Bu,’’ jawabku.
‘’Kurang ajar. Semoga kualat orang itu. Seperti membuang kain lap kotor saja. Ee.., wanita itu masih muda atau tua seperti ibu?’’.
‘’Saya belum sempat mencermatinya, Bu. Tapi tampaknya ia masih muda’’.
‘’Kamu belum dapat laporan dari rumah sakit mengenai identitasnya?’’.
‘’Belum’’.
‘’Yah. Kalau dia sudah sembuh dan tidak ada seorang pun yang mengakuinya sebagai keluarga, bawa saja ke sini. Biar ibu yang merawatnya. Kasihan, nak. Anggap saja kita berbuat amal,’’ ujarnya. Aku semakin kagum dengan kemuliaan hati ibu kostku ini.


****

Dua minggu setelah dirawat di rumah sakit, kondisi wanita itu mulai membaik. Merah lebam di wajah dan sekujur tubuhnya sudah hilang. Dokter yang merawatnya mengatakan, keadaan wanita muda itu sudah membaik dan hanya menunggu pemulihan saja.
‘’Saya boleh melihatnya, dokter?’’
‘’Kenapa tidak. Silakan’’.
Aku segera membuka pintu kamar tempat wanita itu dirawat. Pintu itu kudorong pelan sekali, agar wanita itu tidak terkejut. Namun betapa kagetnya aku, ternyata wanita yang kutolong ini adalah gadis yang beberapa hari ini aku cari-cari. Secara reflek ia bangkit dari tempat tidur dan seraya memelukku. Perasaanku bergetar. Kubiarkan ia menangis dalam pelukanku. Sedangkan aku sendiri melampiaskan kerinduanku kepadanya. Apakah aku menyintainya? Ah..
Pertemuanku dengan dia benar-benar dramatis. Setelah perasaanya reda, gadis itu menceritakan peritiwa pahit yang menyekap sepanjang kehidupannya.
‘’Kalau ayah angkatku sedang tidak punya duit, aku selalu ia jual kepada temannya yang menyiksa dan melemparkan aku ke jalan beberapa hari lalu, Mas,’’ ungkapnya dengan airmata terurai.
Mendengar itu, secara spontan perasaan marah membakar emosiku. ‘’Siapa ayah angkat dan laki-laki yang telah menistaimu itu?’’.
Gadis itu tidak segera menjawab. Ia mencoba menghimpun perasaannya. ‘’Laki-laki itu seorang Kepala Dinas PU di kota ini. Aku minta bayar mahal setelah dia menikmati kehangatan tubuhku di hotel. Apalagi aku tahu persis bahwa dia terlibat dalam proyek jalan fiktif senilai Rp 16 miliar. Karena itu dia sering mengancam dan mencoba membunuhku, Mas’’.
‘’Darimana adik mengetahui adanya proyek jalan fiktif yang melibatkan kepala dinas tersebut?’’.
‘’Tak sengaja, ketika ia mengajakku makan di sebuah restoran lesehan, ia kelepasan omongan kepada pimpronya mengenai itu. Bahkan, ketika ia mengajakku tidur di hotel, aku menyembunyikan beberapa fotokopi arsif penting mengenai itu ke dalam tasku’’.
Atas pernyataan gadis itu, aku mencoba mengembangkan kasus percobaan pembunuhan terhadap gadis tersebut, serta membongkar proyek fiktif yang melibatkan kepala dinas itu.
Setelah tiga kali berita itu naik ke permukaan, masyarakat heboh. Sejumlah LSM berunjuk rasa. KPK, kejaksaan, serta pihak kepolisian melakukan pemeriksaan kepada kepala dinas itu. Untuk sementara waktu, dia dan orang-orang yang terlibat dalam proyek fiktif tersebut, dijebloskan ke penjara.
Di kamar kostku yang cukup luas, gadis itu mengucapkan terima kasih. Ia menciumku dan menggelutiku begitu hangat. Birahiku terpancing. Tapi setelah aku melihat tanda hitam di paha kirinya tatkala ia telanjang, tiba-tiba aku tersentak. Gila! Gadis itu segera kusuruh memakai bajunya kembali.
‘’Siapa namamu, Dik?’’.
‘’Kenapa. Mas tidak suka karena aku seorang pelacur?’’.
‘’Bukan begitu. Tanda hitam di paha kirimu mengingatkan aku terhadap seseorang yang selama ini aku cari-cari. Ia begitu kukasihi’’.
‘’Pacarmu, Mas?’’.
‘’Ee, namamu Parmi, kan?’’ aku balik bertanya.
‘’Kok, Mas tahu namaku?’’.
‘’Ya. Kau pasti anaknya Pak Suntoro?’’.
‘’Kau sendiri siapa, Mas?’’.
‘’Aku Anton’’.
‘’Mas Anton..Suntoro?’’.
Pertemuan itu benar-benar dramatis. Aku seperti terpatok di lantai rumah. Kepalaku tak mampu mengangguk. Sementara airmataku berurai ke pipi. Mengetahui keadaan kami, Parmi segera memelukku erat-erat. Saat itu kami saling bertangisan berbagi perasaan. Yah, gadis itu adalah adik kandungku sendiri.
Dulu, saat kami terpisah, ayahku ditangkap polisi karena kedapatan mencuri kabel telpon yang baru dipasang di bawah tanah dekat stasiun kereta api. Saat itu, kondisi ibuku benar-benar sekarat karena ia mengidap penyakit leukemia. Karena itulah ayah membutuhkan banyak biaya buat pengobatan ibu. Sementara ayah tidak punya pekerjaan tetap. Meski sudah diusahakan, akhirnya kehidupan ibu harus takluk kepada Sang Ajal. Ia meninggal dengan kondisi tubuh menyedihkan. Saat ibu wafat, aku berusia sembilan tahun. Sedangkan Parmi baru berumur enam tahun. Karena keadaan, kami terpisah. Parmi diangkat anak oleh Pak Pardito, seorang pengusaha kayu. Aku sendiri ikut Pak Darmijo, seorang guru sekolah dasar yang sederhana. Karena didikan dialah aku menjadi seorang sarjana dan bekerja sebagai wartawan. Sayangnya, tiga bulan sebelum aku meraih gelar sarjana, Pak Darmijo meninggal dunia karena serangan jantung. Sedangkan istrinya sudah lebih dulu menghadap Yang Mahakuasa.
‘’Pak Parditolah yang membuat aku menjadi pelacur seperti yang kau lihat sekarang, Mas. Ketika usahanya gulung tikar karena ribuan kubik kayunya disita polisi, ia terlibat utang dengan sesama pengusaha. Kecuali rumah yang ditinggalinya sekarang, segala aset milik Pak Pardito disita. Suatu malam, aku diperkosa dan seringkali dijualnya kepada teman-temannya yang punya duit. Batinku menjerit, tapi aku tak kuasa melawan orang yang telah membesarkanku, Mas,’’ ungkap Parmi dengan suara bergetar menahan kepedihan hatinya.
Mendengar itu dadaku terasa akan pecah. Entah, kemarahan ini harus aku lampiaskan kepada siapa. Yang pasti, kenistaan yang melanda adikku membuat kemarahanku dikobari api. Bangsat! (*)

3 Maret 2007

Tidak ada komentar: