Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (6)

Ki Dalang Kastono Citro



SUDAH hampir lima bulan ini Ki Dalang Kastono Citro tidak mendapat order ndalang. Padahal di kampung seberang, ketika ada mantenan (pesta perkawinan) hari Minggu kemarin, warga di sana menampilkan pergelaran wayang kulit dengan cerita Broto Yudho.
Mengapa selama ini dia tidak pernah memperoleh order ndalang lagi? Hm, padahal di seputaran lima kampung di wilayah desa transmigrasi itu, nama Ki Dalang Kastono Citro dikenal sebagai dalang paling hebat. Ketika ia mendalangi berbagai cerita wayang purwa, tuturannya begitu hidup, sehingga penggambaran karakter tokoh di dunia perwayangan seolah nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu orang-orang di seputaran wilayah transmigrasi begitu mengagumi dia sebagai dalang paling jempolan. Lantas, mengapa sudah sekian lama ini ia tidak pernah mendapat orderan lagi dari warga? Ah, aneh. Sampai di situ ia hanya menyerahkan hidup dan matinya kepada Gusti Allah. Barangkali di balik itu akan ada hikmahnya. Ya, pasti ada hikmahnya.
Kastono melemparkan pandangan matanya jauh ke hamparan sawahnya yang kerontang merana. Di sana-sini terlihat rusak. Kerusakan itu disebabkan kemarau panjang, sehingga padi yang ia tanam kering kekuningan. Padahal sebelumnya, padi yang ia semai itu tumbuh subur, dan seluas mata memandang seperti hamparan permadani hijau yang menyejukkan perasaan.
Memikirkan nasibnya yang kurang beruntung tahun ini, Kastono benar-benar sedih. Di atas rumah-rumahan reyot yang terbuat dari atap daun rumbia di tengah sawah, ia menumpahkan segala kegalauannya.
Apalagi beras simpanan di rumah untuk cadangan makan sehari-hari pun hampir tandas. Jika teringat itu, ia jadi gelisah. Kemarin, tengkulak kejam yang memberi pinjaman uang dan obat-obat pertanian sebelum ia panen, sudah memberi batas angsuran agar ia segera melunasi utang-utangnya yang sudah melilit pinggang.
Dengan apa Kastono akan membayar utangnya kepada tengkulak itu? Padi yang ia harapkan dapat dijual untuk membayar utang dan membeli baju sekolah anaknya, gagal dipanen. Pikirannya benar-benar sempit. Sedangkan kegelisahannya mengenai itu sangat menyiksa.
Duduk dan tidur-tiduran di gubug daun rumbia di atas dangau sawahnya seluas satu hektare itu diharapkan dapat memenangkan jiwanya, ternyata tidak sama sekali.
Padahal, seperti biasanya, jika angin siang begini berhembus sepoi-sepoi, mata Kastono akan segera terpejam seperti lampu teplok kehabisan minyak. Tapi karena kehidupannya sedang dilanda kesulitan, perasaan Kastono cenderung menjadi gelisah. Makanya siang itu ia tak dapat memjamkan matanya ketika angin berhembus sepoi-sepoi menyejukkan.
Dari celah dinding daun rumbia gubuknya, larik-larik cahaya matahari siang menerpa kulit wajahnya yang gelap. Kekelaman kulit wajah Kastono menggambarkan penderitaan hidupnya yang tak kunjung usai. Meski begitu, ia selalu berusaha untuk tegar menghadapi berbagai tantangan hidup yang bagaimana pun pahitnya.
‘’Lho, Bapak ngelamun?’’ suara Ninuk mengejutkan Kastono. Anak perempuannya yang masih duduk di kelas lima Es-De itu datang mengantarkan makan siang untuk Kastono. Tak terdengar langkah kecilnya ketika menghampiri bapaknya di rumah-rumahan itu. Secara sontak lelaki ini bangkit dan menyusut airmata dengan punggung lengannya.
‘’Wah, kamu Nduk. Kok tidak mengucapkan salam dulu pada Bapak,’’ ujar Kastono tersenyum. Tapi sisa airmatanya masih terlihat di pipi kiri.
‘’Lha, Bapak menangis. Ada apa?’’ tanya gadis kecil itu heran. Wajah Ninuk yang lugu makin menusuk perasaannya.
‘’Ah, ndak, Nuk. Kalau menguap, mata Bapak seringkali berair. Tadi Bapak diserang kantuk yang luar biasa, sehingga menguap berkali-kali,’’ ujar Kastono berbohong.
Alis mata Ninuk bertaut. Baru kali ini ia melihat Bapaknya mencucurkan airmata. Padahal, selama ini Ninuk selalu diajarkan untuk tidak cengeng menghadapi kenyataan hidup yang bagaimana pun pahitnya. Tapi siang ini, Bapaknya terlihat cengeng?. ‘’Wah ini pasti ada apa-apanya,’’ begitu hati Ninuk berbicara.
‘’Bapak lapar? Makanya Ninuk cepat-cepat ke sini agar Bapak bisa makan siang secepatnya’’. Ninuk membuka bungkusan nasi yang ia bawa. ‘’Nih, ibu masak nasi jagung. Ada sambal goreng dan sayur gori. Cepat makan, Pak. Mumpung masih hangat,’’ kata Ninuk. Karena rasa lapar sudah menghentak sejak tadi, Kastono segera melahap santap siang yang diantar anak gadisnya itu.

*****

Malam semakin larut. Kastono dan istrinya, Ajeng, masih duduk di beranda depan sembari menikmati cahaya purnama yang bersinar keemasan di cakrawala lepas.
Suara radio transistor Cawang dua band di ruang tamu pondoknya, masih berceloteh sejak sehabis Maghrib tadi. Tampaknya, suasana kejawen seperti di kampung halamannya, Wonogiri Solo, terasa kental dalam kehidupan sehari-hari mereka di wilayah transmigrasi ini. Terutama ketika para waranggono (sinden) melantunkan sejumlah tembang Jawa dalam cerita wayang kulit lewat siaran RRI stasiun Jakarta.
‘’Yang penting kita harus legowo (jiwa besar) menerima cobaan berat dari Gusti Allah, Jeng. Kakang sudah berusaha sebisanya agar kehidupan kita di trans ini menjadi lebih baik. Tapi ternyata padi kita gagal dipanen,’’ ujar Kastono. Untuk menghilangkan himpitan perasaan di dadanya, ia menghela napasnya.
‘’Saya ndak bisa ngomong apa-apa lagi, Kangmas. Kenyataan hidup kita memang begini. Biarlah. Segalanya kita serahkan saja ke Dia. Gusti Allah lebih tahu dari segalanya,’’ tukas Ajeng sembari membersihkan tepung ubi kayu untuk dibikin panganan tiwul.
Kastono begitu terharu terhadap sikap istrinya yang begitu nrimo. Ia bersyukur dianugerahi istri sebaik Ajeng.
‘’Kakang bangga dengan sikapmu yang begitu luhur, Dimas. Semoga kelak jasadmu tiwas dalam keharuman surgawi,’’ ujar Kastono.
Kemudian lelaki itu menyulut rokok klobot dari daun kawung yang ia bawa dari Jawa, pada saat mudik lebaran tahun lalu. Stok rokok itu masih tersisa satu kemasan. Entah, ia tidak mengerti, kok malam itu ia kepingin sekali merokok daun kawung.
Asap yang ia hembuskan mengaburkan situasi teras depan. Sedangkan aroma kemenyan dari asap rokok itu menyeruak ke seantero ruangan. Kalau tidak biasa dengan suasana seperti itu, orang pasti mengira bahwa serombongan lelembut atau dedemit sedang pesta pora di tempat itu.
‘’Nggo Kang. Saya istirahat dulu. Awakku capek sekali,’’ tukas Ajeng sembari membawa niru berisi tepung tapioka itu ke ruang dalam.
‘’Ya, duluanlah. Kakang masih betah di sini,’’ ujar Kastono sembari menghembuskan asap rokoknya. Ia tampak menikmati suasana itu.
Baru lima isapan, dari depan gubuknya datang dua orang laki-laki berpakaian hitam serta mengenakan ikatan blangkon di kepalanya. Yang satu setengah tua, dan yang satunya lagi masih muda dan gagah.
‘’Kulo nuwun. Pripun kabare sampeyan, Ki Dalang?’’. Orang tua itu menyapa dan bertanya tentang kabar Kastono yang sedang asyik menikmati rokok klobotnya.
‘’Waduh, baik-baik saja. Siapa, ya?’’.
‘’Saya, Ki Dalang. Masak sampeyan lupa’’.
Kastono mengamati laki-laki itu. Matanya yang agak kemarahan menyipit sesaat. ‘’Welah, Pak Sarmanto, rupanya. Saya ini agak pangling. Meski sudah tua, sampeyan itu masih nggaya waee. Saya mendapat kehormatan sekali malam ini. Sebab, di gubug reyot ini didatangi seorang saudagar getuk lindri. Suasana ini sangat menggembirakan saya’’ seru Kastono tertawa, sehingga giginya yang kuning kecokelatan akibat candu rokok itu mengobral keramahtamahannya.
Kedua lelaki itu segera bersalaman dan berpelukan akrab sekali. Maklum, mereka berdua adalah sahabat karib yang sudah lama tidak saling memberi kabar.
‘’Oo iya, ini kenalkan. Ia keponakanku yang baru datang dari Jawa. Ia seorang insinyur pertanian lulusan Universitas Gadjahmada Jogja. Namanya Joko Pitolo. Hari Minggu Legi pekan depan, dia akan saya nikahkan dengan Yayuk Wulandari, anaknya Pak Kades Partijo,’’ ujar Sarmanto.
Mata Kastono berbinar-binar mendapat kehormatan seperti itu. ‘’Alhamdulliah. Semoga sampeyan hidup bahagia dengan gadis itu, ya Le,’’.
‘’Terima kasih, Paklek,’’ ucap pemuda itu seraya membungkuk hormat serta mencium tangan Kastono.
Pak Sarmanto segera mengutarakan maksud kunjungannya. Selain ingin mengundang Kastono sekeluarga pada pesta pernikahan keponakannya nanti, ia juga diminta untuk jadi dalang pada pergelaran wayang kulit dengan lakon Arjuno Wiwoho.
’’Tapi saya minta, tokoh punakawan, terutama sosok petruk jangan dikeluarkan dalam pergelaran wayang itu,’’ kata Sarmanto.
‘’Lho, kok bisa begitu?’’ tanya Kastono seperti orang tolol.
‘’Iya, Ki Dalang. Itu merupakan pantangan bagi warga di sana. Kalau masih mbandel, akan terjadi peristiwa yang menakutkan,’’ ungkap Sarmanto sembari mengeluarkan uang panjar kepada Kastono.
Wah, aneh sekali. Sepanjang ia berkarir di dunia pedalangan, baru kali ini Kastono memperoleh permintaan yang ganjil seperti itu. Tapi tak apalah. Toh, ia juga butuh uang dari jerih payahnya sebagai dalang. Pokoknya, apa yang dipesan orang agar ia mendalangi pergelaran wayang kulit lakon Arjuno Wiwoho akan ia patuhi. Sepanjang menyangkut fulus, oke-oke saja. Yang penting duit, duit, dan duit. Titik!
Sepekan telah berlalu. Hari yang dinati-nantikan itu pun tiba. Suasana pesta pernikahan Joko Pitolo dengan Yayuk Wulandari begitu meriah. Sebelas pasang tenda berlapis plafon kain sutra putih yang menyekap suasana pesta, kental sekali dengan tradisi Jawa. Umbul-umbul dan anyaman daun janur yang menghiasi tiang tenda, kian memperindah tiap sudut ruangan. Sedangkan alunan gamelan pengiring wayang kulit, membuat perasaan siapa pun seperti berada di tanah Jawa.
Di pentas panggung wayang kulit, gemuruh penonton yang lebur dalam lakon Arjuno Wiwoho, benar-benar menyemarakkan suasana. Kemampuan Ki Dalang Oerip Kastono Citro yang menjadi dalang dalam cerita itu, mampu mempengaruhi jiwa penonton. Apalagi kemerduan suara waranggono (sinden) yang melantunkan tembang dari satu episode ke episode lain dalam cerita itu, seakan menghipnotis penonton dari komunitas Jawa di kampung enam, wilayah transmigrasi itu.
Durasi cerita yang dibawakan Ki Dalang Kastono Citro begitu hidup. Tak terasa, alur cerita yang ia tuturkan sudah hampir tuntas. Bahkan, untuk memperpanjang cerita agar selesai tepat menjelang Subuh, Kastono sudah melakukan improvisasi dialog dengan para pesinden dan penabuh musik gamelan. Tapi suasana malam terasa begitu panjang dan melelahkan.
Sekujur tubuh Ki Dalang Kastono berkeringat. Bahkan keringat yang keluar dari pori-porinya terasa tidak enak. Kadang-kadang dingin, tapi juga terasa sumuk (sumpek). Kastono sudah begitu capek. Kelelahan yang mendera membuat ia nyaris tak berdaya, sehingga ia sudah tidak konsentrasi lagi menghidupkan setiap tokoh wayang yang ada di atas kotak di belakang tubuhnya. Tapi malam tetap terasa panjang dan menyekap perasannya. Gila! Ia belum pernah mengalami hal aneh seperti sekarang.
Karena jengkel dengan situasi seperti itu, akhirnya Ki Dalang Kastono mengeluarkan tokoh punakawan, antara lain, semar, gareng, petruk, dan bagong . Ketika tokoh Petruk melakukan dialog-dialog lucu, orang-orang di sekeliling itu justru panik.
Tiba-tiba di cakrawala yang gelap, gemuruh halilintar membelah angkasa. Lintasan kilat menyambar kian-kemari. Pada pengujung lidah kilat yang menyambar tenda, terjadi ledakan dahsyat. Rona merah api serta-merta mengaburkan pandangan. Semua perangkat pesta dan orang-orang yang ada di sekitar tempat itu tiba-tiba sirna.
Hanya tinggal Ki Dalang Kastono sendiri yang duduk di atas kompleks makam tua dengan tubuh bergetar sembari memegang tulang belulang manusia. Padahal sebelum kejadian, tulang-tulang itu merupakan sosok wayang seperti seperangkat tokoh punakawan yang terdiri dari petruk, semar, gareng, dan bagong. Ia lantas melemparkan tulang lengan dan rusuk manusia yang ada di tangannya. Suasana yang tadinya dingin mencekam, tiba-tiba terasa begitu panas, menyengat kulit.
Kastono menyipitkan matanya ketika memandang ke langit lepas. ‘’Astaga’’. Ia kaget setengah mati. Ternyata cahaya matahari yang begitu terik menggigit kulit, menyorot tajam tepat pukul 12.00 tengah hari. Kastono seperti disambar petir. Dari surau di ujung kampung, suara azan Zuhur menyadarkan perasaan Ki Dalang Kastono Citro dari suasana buruk semalam suntuk. Ternyata, ia telah melakonkan cerita Arjuno Wiwoho di tengah ratusan arwah orang yang telah lama mati. Ia takut bukan main. Dengan langkah gontai, ia bergegas meninggalkan kompleks perkuburan tua di kampung itu. Dalam hatinya, ia memutuskan untuk berhenti menjadi dalang

Palembang, 4 April 2007

Tidak ada komentar: