Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (9)

Kim Hok Lay



NAMA itu menjadi buah bibir masyarakat. Dia seorang pengusaha muda. Parlente, ganteng, dan mempunyai rasa sosial yang BEGITU tinggi di masyarakat. Tak heran, ketika di daerah ini terjadi musibah kebakaran atau kejadian apapun yang mengorbankan masyarakat, Kim Hok Lay tampil duluan dengan memberi santunan bernilai ratusan juta ke para korban.
Seperti terhadap korban Tsunami di Aceh, bantuan Kim benar-benar membelalakkan mata semua orang. Selain uang, Kim juga membantu masyarakat Aceh dalam bentuk natura (baju baru, obat-obatan, dan makanan) yang disuplai lewat kapal laut yang ia sewa melalui pengusaha di Medan.
Namun akhir-akhir ini nama itu menjadi ‘sumbang’ ketika orang-orang membaca kiprah pengusaha muda itu di koran lokal dan surat-surat kabar nasional. Pokoknya santer. Nama Kim Hok Lay disebut-sebut sebagai pembobol bank pemerintah di kota ini.
‘’Ah, aku tidak percaya,’’ tukas Parjan.
‘’Masalahnya bukan percaya atau tidak, tapi berita di koran pagi ini membeberkan tentang dia yang telah membobol Bank Cempedak senilai 125 triliun,’’ sergah Tarsak memperlihatkan koran yang dibacanya.
‘’Wah, aku benar-benar tidak percaya’’.
‘’Sama. Aku pun begitu. Tapi bukti koran ini menyebutkan tentang kiprahnya sebagai pembobol bank’’.
‘’Iya juga, ya’’.
‘’Iya. Kalau selama ini Kim Hok Lay bersikap baik kepada masyarakat, barangkali itu hanya sekadar kompensasi kepribadiannya untuk menutupi watak aslinya’’.
‘’Maksudmu?’’.
‘’Kebaikan yang diumbar hanya untuk tujuan tertentu’’.
‘’Hmm, masuk akal juga’’.
‘’Nah, akibat dari kejahatan intelektualnya, negara dirugikan 125 triliun’’.
‘’Jadi, bagaimana cara Kim Hok Lay melakukan pembobolan uang negara sebesar itu?’’.
‘’Saya pikir, sebelumnya dia mengajukan sejumlah proyek fiktif yang masuk akal kepada pihak Bank Cempedak. Iming-iming proyek besar ini dapat memberi keuntungan sangat besar, baik kepada pihak bank, maupun keuntungan bagi Kim Hok Lay sendiri. Tentu saja, untuk mencairkan uang dari bank tersebut, Kim harus bekerja sama dengan oknum orang dalam. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia dapat menggondol uang haram sebanyak itu,’’ ujar dia mencoba memprediksi persoalan itu.
‘’Wah, benar-benar luar biasa. Lantas, sekarang dia kabur?’’.
‘’Maka itu, kalau ingin tahu kasusnya secara menyeluruh, kau mesti baca koran. Jangan cuma mendengar cerita dari orang lain. Akibatnya bisa dibodoh-bodohi orang lain’’.


****

Kontroversi nama baik Kim Hok Lay menjadi perbincangan yang tidak pernah putus di masyarakat. Di satu sisi, masyarakat yang pernah merasakan bantuan Kim, akan mati-matian membela pengusaha muda itu. Tapi bagi kalangan lain, Kim dianggap sebagai penjahat (koruptor) kelas kakap yang pantas dijebloskan ke penjara.
‘’Dia pantas dikerangkeng di Nusa Kambangan. Gara-gara si pembobol bank, rakyat jadi sengsara,’’ ujar seseorang dengan emosi tinggi.
‘’Weh, berita itu kan belum final. Artinya, apakah dia itu koruptor atau bukan, yang menentukan secara yuridis adalah pengadilan. Kalau Pak Kim sudah diadili, baru dapat dikatakan bahwa dia itu koruptor -- pembobol Bank Cempedak,’’ jawab yang lainnya.
‘’Lha, seorang wartawan, menulis berita sesuai fakta dan data yang akurat. Mereka investigasi ke lapangan, dengan mewawancarai pihak-pihak terkait dalam persoalan itu. Jadi kalau sementara orang menuding Kim Hok Lay sebagai koruptor kakap, itulah kabar terbaru yang patut kita benarkan untuk saat ini’’.
‘’Tapi yang memutuskan bersalah atau tidak, itu hak pengadilan kan’’.
‘’Tidak salah. Di negeri ini asas praduga tak bersalah kita junjung tinggi. Tapi dari data dan persoalan yang berkembang, ada dugaan Kim Hok Lay dapat dijadikan tersangka dalam kasus tersebut. Apalagi dikabarkan dia menghilang tanpa diketahui kemana ia pergi. Ingat kasus Adrian Woworuntu?’’.
‘’Iya’’.
‘’Nah, tokoh yang satu ini pernah dinyatakan kabur ke Amerika setelah didakwa sebagai pembobol Bank BNI. Kalau dia tidak bersalah, mengapa harus lari dari kenyataan itu? Begitu juga dengan Kim Hok Lay. Kalau dia tidak merasa membobol Bank Cempedak, mengapa harus menghilang? Mestinya ia harus mengklarifikasi nama baiknya ke Polda setelah tindak kejahatannya dibeber di surat-surat kabar’’.
‘’Lantas?’’
‘’Ya, dengan menghilangnya Kim, dugaan orang pasti mengarah ke dia. Meski belum pasti, tapi orang-orang pasti memvonis dia sebagai pembobol uang rakyat. Begitu kan?’’.
‘’He’eh’’.
‘’Nah, itulah hukum sebab akibat. Kalau yang diperbuat itu nilainya baik, maka imbasnya pun akan baik. Tapi kalau buruk, maka dampaknya pasti menyengsarakan orang banyak. Begitu pun kasus Kim Hok Lay’’.
Yang lain hanya diam. Mereka cuma menganggukkan kepala tanpa komentar apa-apa. Bahkan, untuk memahami kasus Kim Hok Lay, mereka harus membaca koran itu berkali-kali.

****
Setelah menonton berita siang di televisi swasta, perasaan Gendon terguncang. Ia begitu gelisah. Karena Kim Hok Lay --big boss PT Siang Malam-- dinyatakan menghilang terkait kasus pembobolan Bank Cempedak.
PT Siang Malam adalah perusahaan kayu lapis tempat Gendon bekerja. Apakah setelah Kim menghilang perusahaannya akan tutup? Itulah yang menggelisahkan perasaan anak muda itu.
‘’Mak, Pak Kim menghilang. Ia dinyatakan terlibat dalam kasus pembobolan Bank Cempedak,’’ kata Gendon.
‘’Lha, jadi bagaimana, Ndon?’’ tanya Mak Katiyem.
‘’Saya ndak tau, Mak. Saya khawatir perusahaan tempat saya bekerja akan tutup kalau Pak Kim tidak ada,’’ jawab Gendon.
Mak Katiyem tak dapat bicara apa-apa mendengar informasi anaknya. Pikirannya menerawang jauh ketika pertama kali ia mengenal Kim Hok Lay.
Dua tahun lalu, pada saat Mak Katiyem berusaha meminjam uang kepada seseorang, secara kebetulan ia ketemu dengan Kim Hok Lay.
‘’Untuk apa Mak meminjam ‘uang panas’ sebesar Rp 4 juta?’’ tanya Kim Hok Lay ketika itu.
‘’Saya mau membiayai pemagaran tanah kosong peninggalan mediang suami saya,’’ jawab Mak Katiyem.
‘’Luasnya?’’
‘’Kalau ndak salah, sekitar lima hektare’’.
‘’Wah, uang segitu tidak cukup untuk membangun pagar tanah seluas itu. Lagi pula, Mak tahu nggak orang yang mau dipinjami uangnya itu seorang lintah darat?’’
‘’Nggak, tuh’’.
‘’Kalau Mak jadi pinjam duit ke dia, nanti susah sendiri’’.
‘’Lho, kenapa?’’
‘’Yah, selain bunganya besar, pinjaman dasarnya tidak pernah habis-habis, meskipun sudah bertahun-tahun Mak bayar secara mencicil,’’ kata Kim Hok Lay menghantu-hantui orang tua itu.
‘’Jadi bagaimana, ya?’’
‘’Begini. Mak punya anak laki-laki dewasa yang belum bekerja?’’
‘’Ya ada. Anakku hanya semata wayang. Ia sudah tiga tahun tamat ES-EM-A. Dan, sampai sekarang dia belum bekerja. Dulu, sebelum meninggal, suami saya anggota veteran. Harta yang ditinggalnya cuma tanah itulah,’’ beber Mak Katiyem.
‘’Di mana lokasi tanah itu, Mak?’’
‘’Di Jalan Batu Megalit’’.
Wah, ternyata tanah orang tua ini berada di kawasan elit. Kim Hok Lay tersenyum penuh arti.
‘’Mak mau mendengar saran saya?’’
‘’Apa itu?’’
‘’Begini, mak. Saya ini seorang pengusaha kayu lapis. Saya perlu tambahan modal’’.
‘’Lantas, apa hubungannya dengan saya? ‘’
‘’Anak mak kan belum bekerja’’.
‘’He’eh’’.
‘’Saya mau ngajak dia bekerja di perusahaan saya. Bila perlu saya posisikan dia sebagai kepala gudang dengan gaji yang lumayan. Bagaimana?’’.
‘’Ya, saya setuju saja,’’ jawab Mak Katiyem dengan mata berbinar.
‘’Tapi saya juga perlu bantuan Mak’’.
‘’Apa yang dapat saya bantu?’’
‘’Saya perlu tambahan modal. Nah, bagaimana kalau sertifikat tanah Mak kita agunkan ke bank. Uangnya untuk memagar tanah Mak, selebihnya kita modalkan buat usaha kayu lapis. Selain anak Mak dapat bekerja di perusahaan saya, Mak pun akan saya bagi bonus tahunan jika laba perusahaan kita diperoleh sesuai target. Mak setuju?’’
Mak Katiyem tidak buru-buru menjawab. Tapi karena tawaran Kim Hok Lay begitu menjanjikan, akhirnya Mak Katiyem menganggukkan kepala.
‘’Kalau Mak setuju, besok sertifikatnya segera kita agunkan. Dan, mulai hari ini anak Mak saya catat sebagai karyawan PT Siang Malam,’’ ujar Kim Hok Lay.
Sampai di situ lamunan Mak Katiyem buyar. Ia dan anaknya Gendon begitu kaget mendengar di halaman rumahnya datang beberapa orang berpakaian seragam polisi. Selain itu, datang pula satu regu petugas polisi pamongpraja, dua tentara, lima petugas Bank Cempedak, dan dua orang juru sita dari Pengadilan. Sedangkan di pinggir Jalan Batu Megalit terdapat satu unit ekskavator, mobil polisi, mobil bank, dan kendaraan petugas transtib.
‘’Lha, ada apa bapak-bapak ini datang kemari?’’ tanya Mak Katiyem seperti orang bodoh. Alisnya yang mulai putih itu bertaut.
‘’Kami petugas Bank Cempedak. Kedatangan kami ke sini akan menyita tanah serta bangunan yang ibu tempati,’’ jawab petugas bank dengan wajah angker.
‘’Lho, inikan tanah dan rumah saya. Kenapa saudara mau menyita harta benda kami?’’.
‘’Sekarang sudah menjadi milik Bank Cempedak’’.
‘’Kok bisa begitu. Apa dasar hukumnya?’’.
‘’Ya. Dua tahun lalu, ibu penah meminjam uang kepada bank kami dengan agunan sertifikat tanah ini. Tapi karena ibu tidak pernah melunasi pembayaran pinjaman serta bunganya selama transaksi dilakukan, maka dengan terpaksa kami harus menyita tanah dan bangunan rumah ini,’’ kata petugas bank itu.
‘’Lho, yang meminjam uang di bank itukan Kim Hok Lay. Bukannya saya. Lantas mengapa saya yang harus bertanggung jawab mengenai itu?’’.
‘’Dalam berkas pinjaman di bank kami, Sdr Kim Hok Lay dinyatakan sebagai perantara. Maka itu sanksi dan tanggung jawabnya langsung ke ibu sendiri sebagai peminjam. Karena di surat transaksi peminjaman itu dibubuhi tanda tangan ibu’’.
‘’Ah, ndak bisa. Saya tidak pernah dan tak merasa menandatangani surat itu. Apalagi menerima uang pinjaman dari bank. Ini gila. Pokoknya, sampai mati pun saya tidak akan keluar dari rumah ini. Saya akan pertahankan tanah dan rumah warisan mendiang suami saya. Apalagi sebelum itu saya tidak pernah diberi tahu oleh pihak bank mengenai persoalan sebenarnya’’.
‘’Sudah. Untuk ibu ketahui, sudah tiga kali surat peringatan tentang pinjaman yang belum dilunasi itu dilayangkan lewat Sdr Kim Hok Lay. Bahkan, perintah penyitaan pun sudah kami beritahukan minggu pekan lalu melalui Sdr Kim. Ini ada surat tindasan mengenai itu,’’ ujar petugas bank tersebut sembari memperlihatkan berkas utang-piutang dan eksekusi penyitaan dari map plastik yang ia kempit di ketiaknya.
‘’Weeh, taik. Dasar hukum macam apa itu. Itu namanya tidak adil. Terserah. Hidup atau mati, saya akan tetap bertahan di sini. Jika bapak-bapak berani mengusik satu patahan jarum pun yang ada di sini, jangan salahkan saya jika berbuat kasar kepada anda sekalian,’’ begitu ancam Mak Katiyem dengan nada tinggi. Orang tua itu mengambil pacul yang terletak di kiri pintu masuk rumahnya.
Melihat itu, seorang polisi maju ke depan. ‘’Ibu, sebelum kami lakukan dengan cara paksa, sebaiknya ibu berkemas-kemas dan keluar secara baik-baik dari bangunan ini. Kalau ibu tidak mematuhinya, kami terpaksa bertindak tegas,’’ hardik polisi itu dengan mimik garang.
Melihat kondisi ibunya dalam tekanan petugas, Gendon marah. Ia masuk ke rumahnya dan keluar dengan sebilah parang terhunus. Dengan cara membabi-buta Gendon menyabetkan parang itu ke arah petugas. Karena merasa terancam, petugas itu mencabut pistol dan segera membidikkan ke kaki kiri pemuda itu. Letusan senjata api membelah udara. Gendon tersungkur dan kakinya berlumuran darah. Parang berkilat yang ada di tangannya direbut petugas.
Melihat anaknya jatuh berlumuran darah, Mak Katiyem menjerit histeris lalu terkulai ke bumi. Orang tua itu pingsan di pelukan petugas. Sementara ekskavator yang ‘bertangan besi’ segera dioperasikan untuk merobohkan bangunan rumah Mak Katiyem. Di sisi lain, dengan tangan diborgol, Gendon segera dilarikan ke rumah sakit.
Sementara Mak Katiyem belum siuman, rumah tempat tinggalnya sudah rata dengan tanah. Sedangkan perabot rumah tangga dan sejumlah penghargaan berupa medali dan piagam milik mendiang suaminya sebagai pejuang kemerdekaan, berserak tanpa daya. Papan penyegelan pun segera ditancapkan di atas tanah itu.

Catatan: Nama tokoh dan cerita ini hanya rekaan semata.

Tidak ada komentar: