Jumat, 22 Februari 2008

Cerpen (2)

PAK HAJI DOBLANG


SEJAK dua tahun terakhir, aku kurang simpatik dengan sikap Pak Haji Doblang. Selain angkuh, ia juga kurang menghargai orang lain. Mentang-mentang orang kaya dan punya rumah mentereng, seolah ia tidak butuh adanya kehadiran orang lain.
Ketidaksukaanku terhadap sikap Pak Haji Doblang semakin tajam, tatkala aku melihat sendiri, ia mengusir seorang pengemis dan menghardiknya pergi. Bahkan, dengan tongkatnya ia mengancam akan memukul pengemis tua yang tampak kelaparan itu.
''Pergi sana. Aku sudah berkali-kali memberi uang kepada sekian banyak pengemis. Karena itu, sebelum kesabaranku hilang, aku harap kau hengkang dari sini!'' begitu hardik Haji Doblang dengan mimik marah. Roman mukanya merah padam.
Sedangkan tongkat yang ada di tangannya nyaris mengenai tubuh sang pengemis. Dengan tubuh gemetar, pengemis itu tampak pasrah. Kalau Haji Doblang memukul dengan tongkat yang dipegangnya, sang pengemis, pasti tak mampu mengelak.
Ya Allah, alangkah kejinya sikap Haji Doblang. Terhadap orang miskin yang butuh pertolongan, ia bersikap kasar. Begitukah sikap orang kaya yang sudah pergi ke tanah suci? Pertanyaan ini mengusik sanubariku. Namun dari lubuk sanubari itu pula ada jawaban bahwa tidak semua orang kaya bersikap seperti Haji Doblang.
Airmataku meleleh melihat keadaan pengemis itu. Dengan tubuh lunglai dan rasa takut yang menggigit perasaan, pengemis itu berlalu dari pelataran rumah Haji Doblang.
Aku merogoh saku celana. Ah, uangku tinggal dua ribu rupiah lagi. Padahal, uang itu sudah kucadangkan untuk ongkos oplet ke tempat aku bekerja. Tapi, ah, lebih baik aku berikan saja ke pengemis itu. Karena ia lebih membutuhkan uang tersebut daripada aku sendiri.
Namun aku kaget setengah mati, setelah melihat ke arah kepergian sang pengemis, ternyata ia sudah tidak ada di tempat. Padahal, aku perkirakan, luas lapangan rumah Haji Doblang, sekitar enam ratus meter persegi. Sedangkan langkah pengemis itu lambat dan tertatih. Wah, alangkah cepatnya pengemis itu menghilang. Aneh!

**
Selepas salat dzuhur di mesjid yang biasa kusinggahi, aku menyandarkan tubuh ke dinding berporselen putih. Para jemaah salat sudah banyak yang meninggalkan ruangan. Hanya aku sendiri masih betah duduk di sana. Apalagi siang itu cuaca sangat panas. Sedang di dalam mesjid, udaranya begitu sejuk, sehingga aku malas keluar dari ruang salat.
Di ruang itu, pikiranku agak tenteram. Namun peristiwa pagi tadi tetap mengusik perasaanku. Padahal aku sudah berusaha keras untuk melupakannya. Tapi karena sikap Haji Doblang yang kasar dan sombong telah melukai perasaan orang miskin, gejolak perasaanku tak mudah melupakan peristiwa itu.
Hmm, Pak Haji Doblang, pengusaha kayu yang bertubuh tambun itu, tidak sadar kalau harta yang berlimpah miliknya akan melaknat dirinya sendiri jika kelak ia datang menghadap Sang Mahakaya.
Padahal, sekian persen dari harta yang ia miliki itu ada milik orang lain. Apalagi kayu-kayu yang ia jual ke pasar bebas di ibukota adalah hasil tebangan liar anak kapaknya di hutan-hutan lindung. Ini juga yang mengotori sekian banyak kekayaannya. Ih, sikapnya benar-benar kelewatan!
Karena udara di ruang mesjid begitu sejuk, rasa kantuk tiba-tiba menyerang begitu hebat. Mulutku menguap berkali-kali.
''Assalamu'alaikum, anak muda. Dari getaran energimu, aku merasa bahwa perasaanmu saat ini sedang berduka,'' ujar seseorang seraya mengumbar senyum bersahabat. Ia segera menjulurkan tangannya untuk menyalami aku. Aku segera menyambutnya dengan senyuman.
''Wa'alaikumsalam,'' jawabku.
''Kau menyimpan rasa tidak suka terhadap seseorang, anak muda?'' tanyanya.
''Betul. Kok, Anda tahu kalau di hatiku saat ini sedang ada rasa marah terhadap seseorang?''. Ia tertawa. Dan, aku segera memperbaiki posisi duduk.
''Rasa marah yang ada di dalam dirimu itu jangan kau bawa ke alam tidur. Akibatnya dapat menjelma menjadi mimpi buruk di dalam kehidupanmu sehari-hari. Bahkan, apabila kau pertajam rasa marahmu ke orang yang bersangkutan, dirimu akan berdosa. Itu artinya, sikapmu tidak lebih baik dari dia,'' tukas orang itu.
''Lantas, apa yang harus aku lakukan agar kebencianku terhadap sikap seseorang itu dapat dibersihkan?''.
''Pertanyaan yang cantik. Sesungguhnya, nilai-nilai kebencian di dalam diri seseorang akan muncul apabila ia mengalami atau menyaksikan ketidakadilan yang terjadi di depan matanya. Tetapi, jika kita ikut membenci ketidakadilan itu, berarti nilai kita tidak jauh beda dengan orang yang berbuat ketidakadilan tersebut''.
Alisku jadi bertaut, karena aku tidak mengerti apa yang dikemukakan orang itu. ''Kok aku jadi bingung?''.
''Wajar. Karena kau belum memahami sebab dan akibat yang terjadi dalam setiap perilaku hidup seseorang''.
''Misalnya?''.
''Yah, misalnya kau membenci sikap seseorang, seperti Pak Haji Doblang yang angkuh dan terkesan tidak membutuhkan kehadiran orang lain di lingkungannya itu,'' kata orang itu sembari membuka peci putihnya, serta menggaruk-garuk rambutnya yang keperakan.
Aku terbelalak. ''Kau mengenal Pak Haji Doblang?''.
Dia tertawa. ''Aku hanya mengetahui siapa Haji Doblang dan ada persoalan apa antara kau dan dia, dari kekuatan energimu sendiri'' tukas orang itu. Aku semakin tidak mengerti.
''Nah, bingungkan?''.
''Yah, bingung sekali,'' jawabku seperti seorang bocah yang baru belajar hitungan aritmatika.
''Anak muda, hakikat ke-haji-an yang disandang seseorang, belum tentu mencerminkan kebersihan dan kewelasasihan hatinya. Sebab, gelar haji yang ia peroleh, hanya dipahami sebatas predikat diri sepulang dari tanah suci. Pandangan semacam ini memang sangat sempit. Karena itu mereka tidak mampu memasuki nilai-nilai yang terkandung di dalam substansinya, sebagai haji mabrur,'' kata orang itu.
Orang itu kemudian menjabarkan bahwa hakikat haji itu adalah penyucian diri lahir batin bagi seorang muslim. Gelar seorang muslim tertinggi yang ia peroleh setelah selama empat puluh hari menyerahkan diri ke hadirat Allah SWT di tanah suci, ia 'berjanji' untuk memperbaiki serta meningkatkan kualitas kepribadiannya (iman). Jika 'janji' itu menitik ke dalam hati nuraninya, maka nilai ke-haji-annya akan menjadi rahmatan lil 'alamin bagi kehidupan ini.
''Lalu, bagaimana dengan sikap Pak Haji Doblang?'' tanyaku.
''Itulah cermin dari nilai haji yang tidak menitik ke relung hati nuraninya. Dengan begitu, predikat hajinya ibarat sehelai baju yang dikenakan ke tubuh. Jika bajunya dibuka, maka akan terlihat gambaran panau dan penyakit kulit yang ada di tubuhnya''.
''Aku mengerti. Ternyata ke-haji-an Pak Haji Doblang
hanya predikat sampiran yang tidak sampai ke nilai makna. Kok, Bapak tahu persis kegalauanku terhadap Haji Doblang?''
Orang itu tertawa. ''Karena pengemis yang dia usir itu adalah aku sendiri,'' jawab orang itu sembari mengusap wajahku.
Aku kaget setengah mati. ''Astaghfirullah''. Bayangan orang itu segera hilang pada saat posisiku berada pada tingkat sadar dan tertidur.

Palembang, 23 Juni 2003

Tidak ada komentar: